Agak Pilkada

Simbol kreatif jaringan WiFi. Foto: Iwan.

“Hape aja ndak punya, apalagi kuota!” Begitu ungkapan bernada kesal di status Facebook yang memelekkan mataku selain bau kopi, pagi ini.

Tafsiranku sederhana, pengunggah status itu protes pada Pak Mentri terkait proses pendidikan via daring. Unggahan status itu terasa seperti pekik seorang pejuang yang berpihak pada wong cilik, gitu lah.

Bacaan Lainnya

Jelas kita tahu, pada masa ini teknologi komunikasi menjadi kebutuhan level tinggi. Hape dan data internet jadi penopang proses belajar sepaket. Tapi kenyataannya tak semua kuat beli salah satu atau keduanya, apalagi data yang setiap hari terpotong sendiri tanpa aba-aba.

Protes itu terkesan mengamini deretan pertanyaan, hidup kok terasa semakin kepepet ya? Ini yg diuntungkan dan dibuntungkan siapa? Kenapa ada yg tidak punya hape di zaman tsunami informasi ini? Apa benar ndak mampu beli? Alternatif apa yang ditawarkan sekolah? Tetangga yang kaya apa diam saja? Penggemar trend gawai baru, hape bekasnya di mana?

Kemarin, saya ketemu pak Bambang, seorang tetangga di Negeri Kahyangan kami. Ia punya anak SMK, sebut saja Nadiem. Kami berbincang ngalor-ngidul, dan tiba-tiba temanya sampai pada tugas-tugas sekolah anaknya. Dia menyebut kalau Nadiem memilih beli paket data sendiri, jadinya boros, padahal ada tetangga yang menawarkan akses internet via jaringan koneksi WiFi.

“Bayar rong ewu wonten ngriku, pun sakarepe!” Dia menceritakan tetangganya yang buka usaha jasa bagi-bagi koneksi data berbayar dua ribu rupiah saja. Setiap hari ramai, puluhan anak-anak sekolah berkumpul memanfaatkannya. Dari sisi usaha ya pasti banyak untungnya.

Kembali ke unggahan status, “Hape aja ndak punya, apalagi kuota!” lalu solusinya gimana?

Karena tulisan ini agak pilkada, ha ya jangan tanya saya, wong yg mau jadi bupati bukan saya. Rencananya, sebagai pemilih, saya mau menyoblos cabup dan cawabub yang memakai masker dan ndak epet-epetan saat foto bersama.

Ndak ada hubungannya kan?

Facebook Comments Box

Pos terkait