Angka Menyentuh Manusia?

Prosesi pemakaman warga pada malam hari di masa pandemi Covid19. Foto: Iwan.

SEPUTARGK.ID – “Haa, sejuta lebih?” Rasa-rasanya pertanyaan ini belum saya dengar sampai detik ini. Ya, mungkin saya kudet alias kurang up-date. Ok, ndak apa-apa, tapi telinga saya memang belum kemasukan alunan tanya seperti itu. Hehehe yang hampir tiap hari terdengar di telinga itu, alunan Pasto, semut merah yang berbaris di dinding seakan penuh tanya sedang apa di sini?

Tiga hari lalu, tepatnya Selasa, 26 Januari 2021, kasus virus corona di Indonesia tembus 1.012.350 orang. Hal ini diberitakan di banyak media, klik saja misalnya media on-line https://www.kompas.com/…/tembus-lebih-dari-1-juta-kasus…. Momen tembusnya deretan tujuh angka pada pageblug ini, menurut saya, terdengar biasa-biasa saja. Tidak wow gitu, lho. Hal ini bukan berarti pembaca atau pendengarnya lalu disebut orang yang hobinya mengecilkan kata “juta.” Tentu saja bukan!

Bacaan Lainnya

Maksud saya begini. Berita mengenai pageblug yang menggunakan angka-angka sudah memborbardir setiap hari di media-media. Info covid tersaji di IG, FB, atau media pemerintah yang bisa diakses dengan sekali klik dan telah memajang data di setiap daerah. Sudah begitu gamblangnya, bahkan ada juga data yang up-date disuguhkan sampai level kalurahan. Setiap hari dipajang angka penambahan yang mencapai puluhan ribu orang lebih di level nasional. Begitu pula di Negeri Kahyangan, angka penambahan yang rata-rata puluhan kurasa sudah diunggah terang-benderang.

Saya menduga ketidakkagetan itu bukan karena orang sudah tidak peka namun angka itu terasa jadi sekadar data statistik saja. Setidaknya itu yang kurasa.

Hal berbeda terjadi ketika saya melihat tayangannya MataNadjwa-nya Mbak Nadjwa Shihab di Narasi TV. Tayangan terlihat sangat menarik dikemas dengan judul “Cerita Pilu di Ruang ICU.” Kisah-kisah pilu yang diunggah disajikan menggugah misalnya kisah ibu Ana dalam kondisi pakai tabung oksigen yang nekad nyetir mencari rumah sakit, mas Bowo yang merasakan 10 hari merasakan sesaknya tenggorokan dipasang ventilator, atau mbak Evi yang harus merelakan ayah mertuanya tiada karena tak mendapat penanganan ruang ICU.

Kurasa, kisah di atas lebih menyentuh manusia melalui pengalaman otentik sesamanya. Kini puluhan pengalaman bisa dicari untuk menggugah afeksi. Saya pun menemukan beberapa kisah itu, misalnya pengalaman yang haru dan kehilangan Mbakyu di Dumai, Riau yang ketika ibu meninggal terpaksa tidak bisa datang ke Negeri Kahyangan. Ia harus menerima kenyataan tak memenuhi syarat utk terbang, melewati dua rapid test dan hasilnya mengecewakan.

Bahkan kami lalu terkurung dalam suasana Natal yang galau. Bagaimana tidak? Ia kemudian dinyatakan positif bahkan seorang ponakan pun demikian. Jelas kami kurang tidur dan badan gemetaran sepanjang minggu itu.

Begitu pula cerita seminggu yang lalu, seorang tetangga yang harus dimakamkan pada tengah malam. Di sisi lain, ada kisah lucu pada awal pandemi. Tentang mas Is, seorang saudara yang di-rapid test bersama puluhan teman sekantornya. Nah, ketika tiba pengumuman siapa yang reaktif, tiba-tiba namanya disebut. Sontak teman-temannya yang duduk di kiri dan kanannya bergeser pelan.

Haru, sedih, namun ada juga yang lucu dan menggugah. Mestinya data “jutaan” itu juga menyentuh rasa. Terserah kita lihat dengan sudut pandang mana: angka atau kisah manusianya. ***

Facebook Comments Box

Pos terkait