Guna mengantisipasi kekeringan saat musim kemarau datang, Pemerintah Kelurahan Watusigar Kapanewon Ngawen memprakarsai kegiatan “Gugur Gunung Nandur Resan”. Kegiatan utama yang akan digelar pada 23-24 Januari 2021 mendatang berupa penanaman pohon pada daerah tangkapan air di wilayah desa tersebut. Dengan penanaman aneka pohon, utamanya jenis pohon yang “ramah” menyimpan air tanah diharapkan menjadi upaya konservasi air tanah, sehingga kesulitan air bersih saat memasuki musim kemarau dapat terantisipasi.
Carik Desa Watusigar Karsimin (41) menerangkan, bahwa ada 3 – 4 dusun yang mengalami kesulitan air bersih setiap musim kemarau. Kesulitan air bersih ini disebabkan karena mengeringnya sumur-sumur dangkal masyarakat termasuk sumur pompa yang dibangun SPAMDUS. Para tokoh masyarakat Desa Watusigar menengarai, mengeringnya sumur-sumur pompa ini karena kandungan air tanah saat kemarau menurun drastis, akibat semakin berkurangnya pepohonan yang mampu menyimpan cadangan air tanah.
“Saat ini setiap tahun begitu memasuki musim kemarau sudah pasti 4 dusun di sebelah selatan Kali Oya tadi pasti kesulitan air bersih. Sumur dangkal milik masyarakat asat airnya, begitu pula sumur bor dalam yang dikelola SPAMDUS juga kering. Kami sesungguhnya malu, karena daerah kami dilalui Sungai Oya, tetapi terpaksa sering minta dropping air saat kemarau,” jelas Karsimin kepada KH Group, Rabu (30/12/20).
Desa Watusigar dengan luas wilayah 2500 ha merupakan desa di ujung selatan dari Kapanewon Ngawen Kabupaten Gunungkidul. Wilayah yang terbagi ke dalam 12 padukuhan (dusun) ini terbelah Sungai Oya yang membujur dari timur ke barat di tengah-tengah wilayahnya. Meski dilewati Sungai Oya yang merupakan sungai terbesar di Gunungkidul, kesulitan air saat kemarau masih mendera wilayah desa ini.
Carik Karsimin mengungkapkan temuan dan kesadaran warga yang menarik. Pemicu berkurangnya cadangan air tanah saat kemarau adalah karena telah berkurangnya vegetasi aneka pohon yang mampu menahan air dalam tanah. Menurutnya, itulah biang kerok keringnya air di beberapa sendang juga sumur-sumur milik masyarakat, termasuk sumur bor dalam yang dikelola SPAMDUS sekalipun.
“Dulu sendang-sendang di desa kami masih melimpah airnya, seperti: Sendang Banyuripan, Sendang Domas, dan Sedang Josopuro. Tapi sekarang, begitu 2 bulan kemarau sudah kering. Salah satu sebabnya, karena pohon-pohon yang menahan air seperti trembesi, beringin, bulu, jambu, dan lainnya sudah sangat berkurang. Ada pula yang sengaja membabat pohon-pohon resan dengan berbagai alasan,” papar Karsimin.
“Kemudian, kalau mau jujur mengakui, saat ini warga juga selalu berhitung untungnya apa setiap menanam pohon, sehingga tanaman-tanaman produksi ekonomi, seperti jati, sengon, akasia yang lebih suka ditanamnya. Tidak salah, tetapi di sisi lain, sangat berkurang jumlah tanaman yang mampu menjaga air tanah,” imbuhnya.
Berangkat dari kesadaran bersama tersebut, tumbuh prakarsa untuk berswadaya melakukan gerakan konservasi sumber daya air dengan menanam pohon, utamanya jenis pohon yang mampu menyimpan air hujan menjadi cadangan air dalam tanah. Untuk kegiatan yang akan dilaksanakan pada pertengahan Januari mendatang, Karsimin bersama Lurah dan pamong desa telah berkomitmen menggerakan 11 kelompok SPAMDUS dan merangkul semua komponen warga untuk menjadi tenaga inti gerakan penghijauan.
“Kami sudah mendata, dari desa ada sekitar 250 orang yang akan terlibat langsung. Ada dari 11 kelompok SPAMDUS, para tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta pokdarwis. Kami juga melibatkan siswa dan guru PAUD dan TK di desa kami. Pusat kegiatan nanti di calon rest area Pokdarwis di utara Jembatan Kembar Jalan Raya Watusigar. Namun untuk pelaksanaan kegiatan penanaman pohon, kami bagi dalam kelompok tersebar di seluruh wilayah desa. Karena menjaga protokol COVID-19, tidak akan ada kerumunan besar. Jadi kegiatan ini tetap aman dilaksanakan,” beber Karsimin.
Prakarsa gerakan gugur gunung menanam pohon untuk konservasi air ini berawal dari keresahan dan obrolan para pamong dan tokoh desa tentang mengeringnya sumber-sumber air komunal di Desa Watusigar. Selain Carik Karsimin, beberapa tokoh yang berinisiatif untuk mewujudkan gerakan ini antara lain: Ulu-ulu (Kaur Kemakmuran) Wahyudi (29), Rahmat Darmaji (40) dari pengurus Pokdarwis, dan Lurah Watusigar Giman (64) selaku sesepuh yang tetap bersemangat mengajak kaum muda kembali sadar pentingnya gerakan konservasi lingkungan.
Untuk pelaksanaan kegiatan ini, dari pihak Pemerintah Kalurahan juga telah mencukupkan kebutuhan acara dari Anggaran Dana Desa yang telah dipersiapkan. Sementara untuk penyediaan bibit, pihak desa sudah menyiapkan 500 bibit berbagai jenis tanaman konservasi dan tanaman buah. Target penanaman pohon pada rencana kegiatan ini sebanyak 2.000 pohon. Karsimin yakin, target ini bakal terpenuhi, karena sudah ada komitmen dari para mitra pegiat konservasi lingkungan yang siap membawa bibit pada hari-H kegiatan.
“Sudah ada komitmen dari rekan-rekan pegiat konservasi lingkungan. Dari Gunungkidul ada beberapa mitra, seperti: Komunitas Resan Gunungkidul, Resan Blues, PPA Gunungkidul, Imaji, Jerami, dan lain-lainnya. Kami semakin bertambah semangat, karena ada beberapa komunitas dari Surakarta, Kediri Jatim dan sekitarnya yang akan bergabung sekaligus membawa bibit dari sana. Beberapa waktu lalu, rekan-rekan komunitas dari Kediri Jawa Timur ini bahkan sudah survei awal ke desa kami,” ungkap Karsimin.
“Untuk acara ini, kami juga akan mengundang Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul. Kami sangat berharap dari DLH dan Pemerintah Kabupaten dapat mendukung tindak lanjut kegiatan swadaya masyarakat ini. Menurut kami, solusi pemenuhan air bersih di musim kemarau untuk desa kami dan tentunya di wilayah lain di Gunungkidul dimulai dari kegiatan penghijauan, konservasi air tanah, sekaligus konservasi tanah. Kami tidak perlu muluk-muluk berharap, untuk desa kami setidaknya DLH Kabupaten bersedia menyediakan bibit tanaman konservasi atau tanaman buah guna persiapan tambal-sulam tahun-tahun berikutnya yang kami perlukan,” pungkas Karsimin.
Karsimin dan rekan-rekannya di Desa Watusigar menyadari, upaya konservasi air tanah melalui gerakan penamanan pohon ini merupakan pekerjaan besar. Dampaknya tidak akan terlihat dan terasakan langsung dalam hitungan 1 sampai 5 tahun, tetapi dalam jangka panjang. Karena itu, ia dan rekan-rekannya tak lupa melibatkan para murid dan guru PAUD dan TK di desanya, juga para tokoh masyarakat dan tokoh agama. Tujuannya satu, perubahan perilaku pikir, kesadaran pemahanan, dan sikap nyata mencintai alam itu perlu terus dipupuk dan dibina lintas generasi, lintas sektor, dan lintas komunitas. (Tugi).
***