Buku “Bebrayan Agung” Upacara Nyadran Kulawangsa Gunungkidul ini diterbitkan oleh Bidang Pelestarian, Warisan dan Nilai Budaya, Disbud Kabupaten Gunungkidul.
Kesan menyeramkan muncul saat melihat sampul. Bagaimana tidak? Warna dominan hitam bergambar kain mori berjejalan menjuntai. Di antaranya terdapat kain yang masih baru. Setelah membuka dan membaca beberapa lembar, gambar sampul tersebut merupakan kain mori di cungkup atau gubuk Petilasan Mbah Jobeh di Desa Petir, Rongkop. Tak lain merupakan tempat Upacara Sadranan Mbah Jobeh, satu di antara tiga upacara Nyadran yang diulas mendalam oleh penulis.
Penulis benar-benar hadir di tengah upacara sakral ini. Mengikuti tahapan demi tahapan ritual yang bertujuan ngluwari atau ngesahi kata-kata dan nadar dengan pengorbanan uang dan hewan peliharaan melalui perantara juru kunci itu. Beberapa foto saya temui di buku diambil pada malam hari. Dalam uraian, Nyadran memang dimulai dini hari. Hiiii…
Ujar Nyadran dari ratusan orang beragam, diantaranya soal pertanian, “Niki pari kula gaga, nek panen ngguh kula sadranke limang ewu” kata salah satu warga yang ikut nyadran.
Dua upacara suci lain yang dibahas yakni Nyadran Dalam Grebeg Rasul Ngenep, Semanu dan Nyadran Gedong Pulungsari, Semin.
Setiap upacara yang ditulis memiliki daya tarik bagi saya pribadi. Misalnya penggalan kisah yang melatarbelakangi Nyadran Dalam Grebeg Rasul Ngenep, yakni riwayat kaum bawah atau rakyat biasa yang direfleksikan seorang begundhal jaran. Ki Mentataruna berani mengikuti sayembara keraton (membendung kali) dan terbukti berhasil. Ya, siapapun berhak meraih prestasi besar. Ki Mentataruna pun dihadiahi pusaka keraton diantaranya Tombak Karawelang, dan Naga Sasra Sabuk Inten serta Bende Kyai Murong.
Lantas, Nyadran di Pasareyan Gedong Pulungsari lebih menarik minat saya untuk membca. Sebab, juru kuncinya perempuan, Bu Sawiyem diceritakan menjadi perantara antara leluhur makhluk dunia lain, yakni Eyang Mbok Mas untuk menyampaikan suatu hal kepada masyarakat sekitar. Momentum-momentum tertentu, Eyang Mbok Mas ini bisa dihadirkan ‘nglenggahi’ Bu Sawiyem. Nah penasaran kan? Hehe…
Masing-masing upacara memiliki cerita latar belakang berbeda. Namun ketiganya merupakan wujud bebrayan agung, laku hidup manusia berdampingan dengan segala unsur alam raya. Manusia dan alam raya merupakan saudara yang tak dapat dipisahkan.
Jempol deh buat Disbud khusunya para penulis, Pak Agus Mantara dkk.
Sedulur semua jangan tanya beli bukunya di mana ya, saya ndak bisa jawab. Haaaaa..