Belajar Di Rumah Apa Membikin Anak Jadi Bodoh?

Belajar di rumah dengan dukungan media dalam jaringan. Foto: cnnindonesia.

SEPUTARGK.ID – Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan RI, dr. Fidiansjah mengatakan, sebanyak 32 persen siswa tidak memiliki akses untuk proses belajar di rumah selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya meminimalisir penyebaran COVID-19.

“Selama proses belajar yang ada di dalam masa PSBB ini, hanya sekitar 68 persen siswa yang bisa mengakses jaringan untuk proses belajar di rumah, berarti 32 persen tidak mendapatkan sarana tersebut,” ujarnya di Graha BNPB Jakarta, pada akhir 2020 tahun lalu, sebagaimana ditulis KBRN RRI.

Bacaan Lainnya

Fidiansjah mengatakan, masalah tersebut tentu berdampak pada proses pembelajaran yang ditempuh para siswa. Dari survei yang dilakukan diperoleh 37 persen anak tidak bisa mengetahui kapan waktu belajar, sebab hilangnya rutinitas belajar di sekolah.

“Lalu 30 persen anak kesulitan memahami pelajaran itu sendiri, bahkan 27 persen anak tidak memahami instruksi guru berdasarkan proses belajar daring,” tuturnya.

Selain itu, penerapan pembatasan sosial di masa pandemi ini juga turut membuat anak merasa bosan karena harus berdiam diri di rumah dan tidak berinteraksi dengan teman-temannya.

“Tentu saja kebosanan terjadi ketika mereka harus berada di rumah dengan waktu yang sangat lama. Tidak bisa bertemu teman-temannya ini  merupakan sejumlah dampak yang wajar dan banyak terjadi pada anak. Kita harap begitu banyak anak akan bisa pulih dan melihat kembali bagaimana mereka tidak terganggu situasinya dalam keadaan ini,” jelas Fidiansjah.

Sudah setahun lebih pandemi Covid-19 berlangsung, dan sudah satu tahun pelajaran pula anak-anak menjalani proses belajar jarak jauh dari rumah masing-masing. Tumpuan utama belajar di rumah dalam masa pandemi ini mempergunakan jejaring internet, sering disebut belajar daring (dalam jaringan). Model belajar jarak jauh ini tentunya dapat berlangsung untuk wilayah-wilayah yang telah memiliki kehandalan jaringan pelayanan internet.

Lantas, untuk wilayah-wilayah yang belum terkoneksi jaringan internet, bagaimana anak-anak melakukan belajar di rumah? Beragam cara ternyata telah dilakukan. Ada yang mempergunakan siaran radio komunitas, seperti di sebuah sekolah di Desa Sragi Tegalontar Kabupaten Pekalongan, di wilayah Kabupaten Sumba Timur Nusa Tenggara Timur, dan berbagai daerah lainnya.

Belum adanya jaringan internet dan masih adanya sinyal internet yang “undlap-undlup” ternyata justru memunculkan aneka kreativitas yang dilakukan oleh masyrakat, para guru, dan para siswa itu sendiri. Di wilayah Ponjong, Rongkop, dan Semin misalnya, ada perorangan, organisasi masyarakat, dan kepala desa yang justru membangun jaringan wi-fi di balai-balai padukuhan atau simpul-simpul komunitas. Mereka berswadaya agar proses belajar jarak jauh tetap dapat berlangsung.

Di beberapa desa di Gunungkidul, ada juga anggota masyarakat yang menyediakan fasilitas wi-fi di rumahnya sebagai tempat belajar bersama dan sebagainya. Ada pula guru yang sukarela menyambangi rumah peserta didiknya secara bergiliran untuk memantau dan membimbing para murid yang belajar di rumah. Para murid sendiri lalu melakukan belajar kelompok di tempat belajar bersama.

Berbagai upaya yang tumbuh dari akar rumput di berbagai wilayah ini justru menjadi bukti, bahwa kondisi kesulitan dan keterbatasan justru melahirkan kreativitas dan inovasi. Tentu hal ini menegasikan bahwa situasi krisis karena pandemi ini bakal melahirkan generasi yang bodoh.

Kendala, kekurangan, kesulitan proses belajar murid dan proses mengajar yang dilakukan para guru tentulah dijumpai di lapangan dalam situasi serba terbatas ini. Namun, di sinilah justru menjadi tantangan dan pembuktian bahwa proses belajar siswa memang tidak seluruhnya bergantung kepada proses belajar di sekolah.

Di sinilah rumusan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara memiliki makna penting, bahwa terdapat 3 pusat pendidikan, yaitu: sekolah, masyarakat, dan keluarga. Ketiga-tiganya menjadi pusat dengan peran yang saling menunjang. Oleh karena itu, menjadi absurd apabila melihat perilaku orang tua yang mengomel tiada habis dan mengumpat memenuhi media sosial merasa kebebanan mendampingi anak-anaknya belajar.

Benarkah Membikin Anak Menjadi Bodoh?

Menjadi hal wajar bahwa setiap orangtua menginginkan anak-anak mereka tumbuh pintar, berprestasi, dan bahagia. Karena itu, tak sedikit orangtua yang sangat fokus pada kualitas pendidikan anak. Selain menyekolahkan di sekolah favorit atau yang terbaik, para orangtua juga menyertakan anak untuk mengikuti sejumlah les dan kegiatan ekstrakurikuler.

Namun, penelitian dari Harvard University sebagaimana disitir Kompas.com mengungkapkan justru ada dua kebiasaan belajar yang justru membuat anak menjadi malas dan bodoh. Apa itu? Berikut uraiannya:

Belajar lebih dari 30 menit. Menurut studi Harvard, lama belajar di rumah untuk anak adalah tidak lebih dari 30 menit setiap hari. Kemudian, waktu belajar pun mesti diusahakan sama setiap hari. Jadi, apabila anak belajar setiap jam tujuh malam, maka biasakan untuk selalu belajar pada waktu yang sama. Cara tersebut menstimulasi otak untuk terbiasa dan terjaga selama waktu belajar. Selain itu, informasi yang disampaikan satu per satu kepada anak lebih efektif ketimbang langsung menyampaikan 10 informasi dalam satu waktu.

Belajar hingga tengah malam. Sesi belajar yang terlalu lama hingga tengah malam dan intens hanya akan membuat otak anak cepat lelah sehingga menciptakan rasa jenuh. Kabarnya, anak yang dibiarkan selalu belajar setiap hari hingga sampai harus bergadang justru memiliki performa buruk di sekolah.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait