
Bener sing pener, leres sing laras.
[Mutiara kata Jawa].
Saya akan nguda-rasa tentang bahasa Indonesia, yang di dalamnya, dalam tubuhnya, terdiri dari bahasa-bahasa yang hidup di pulau-pulau seNusantara (nesos, nusa, insula) yaitu bahasa-bahasa rumpun Indu (Indus, Hindu[s], Induk, Indung), salah satunya, khususnya, adalah bahasa Jawa Baru (kalau saya tak salah ingatan, yang disebut bahasa Jawa Baru oleh Rama Zoetmulder diperkiraan telah ada/hadir di Jawa berbarengan dengan bahasa Jawa Kuna di masa Jawa Kuna; akan tetapi yang mudah dinalar memang, bahasa Jawa merupakan turunan dari wod [akar-kata, biasanya berupa suku-kata/kaki-kata] bahasa Jawa Kuna serta Sansekerta).
Bahasa Indonesia di dalam dirinya hidup bahasa-bahasa daerah se-Nusantara. Tetapi istilah yang telah umum digunakan: bahasa-bahasa daerah merupakan bahasa ‘serapan’ bagi bahasa Indonesia. Penggunaan istilah serapan yang ditujukan kepada bahasa Daerah, menurut saya, mengindikasikan bahwa bahasa-bahasa seNusantara (bahasa Daerah), termasuk bahasa Jawa, memiliki ciri identitas yang digolongkan berbeda dengan ciri identitas bahasa Indonesia sebagai ciri identitas Bangsa Indonesia. Bahasa daerah digolongkan sebagai liyan (bahasanya wangsa/bangsa selain Indonesia), bukan sebagai bagian identitas diri Bangsa Indonesia (kula sebagai bagian dari kulawangsa Indonesia), sebagai himpunan-bagian tak terpisahkan dari bahasa ‘nasional’ Indonesia (bahasa Kulawangsa Indonesia). Kata-kata di bahasa Sansekerta, yang kemudian menurun di Jawa Kuna, lantas menurun lagi di bahasa Jawa Baru, ‘dipaksa’ digolongkan sebagai sesuatu yang baru. Bahasa dan bangsa Indonesia merasa tidak memilikinya. Lembaga Bahasa atau Balai Bahasa atau bahkan penutur bahasa daerah itu sendiri (sering) merasa bahwa bahasa daerahnya adalah bahasa liyan; bahasa wangsa lain. Mengapa bahasa Indonesia tidak secara langsung diidentifikasikan (oleh pihak-pihak yang berwenang) bahwa dirinya sendiri didaku sebagai pohon-besar (wreksa) yang akar, ranting, dahan, daun, dan bunganya adalah bahasa-bahasa Daerah seNusantara?
Saya mengambil contoh kata dalam bahasa Jawa: mata-ari (matahari), matanya hari; gapura (pintu masuk pura/rumah/kampung/kota/kraton); desa (desa); wangsa (bangsa); purwa (purba); dan seabrek kosa-kata bahasa Jawa lain yang katanya ‘diserap’ oleh bahasa Indonesia itu tadi. Kalau mau mengakui, bahasa Jawa ya bahasa Indonesia. Lakunya bukan serap-menyerap. Namun laku mengidentifikasi, mencari, kemudian memunculkan dirinya. Organelnya sendiri. Jika definisinya telah demikian, mungkin, hanya mungkin, penggunaan bahasa Indonesia menjadi bisa disebut ‘benar’.
Program penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sudah seharusnya menyentuh penggunaan bahasa Daerah yang baik dan benar, karena bahasa Daerah adalah bagian tubuhnya sendiri (organologi). Tanpa bahasa Daerah, bahasa Nasional-nya Kulawangsa Indonesia (kulawangsa nasional Indonesia ini memang kulawangsa yang ‘terbayang’, yang bersatu karena ‘sama’ tetapi berbeda) tak akan ada. Bahkan yang lebih ekstrim, yang disebut Kulawangsa (Bangsa) Indonesia takkan ada. Baik dan benar di konteks bahasa Indonesia sejajar dengan “pener” dan “bener” di bahasa Jawa. Benar berhubungan dengan paramasastra; pener berhubungan dengan konteks kebahasaan, termasuk kondisi-kondisi di ‘luar’ bahasa (apakah benar-benar ada, kondisi di luar bahasa itu, yang tak terkoneksi secara langsung dengan bahasa?): sosiologi, psikologi, arkeologi, geografi, kosmologi, ekologi, teknologi, dsb.
Bahasa terkoneksi dengan kondisi ‘di luar’ kebahasaan. Bahasa adalah segala yang dianggap sebagai kondisi di luar kebahasaan itu. Sulit memang membedakan dan memisahkan keduanya. Asal-usul kata tak lain tak bukan merupakan perlambangan asal-usul suatu benda, tempat, manusia, bumi, dan konsep-konsep tentang dunia. Asal-usul bahasa adalah asal-usul ilmu pengetahuan tentang kosmos (jagad) dan bagaimana menjadinya. Etimologi mencoba menelusuri hal-hal ini; menelusuri hal-hal yang diasumsikan ‘paling’ akar, ‘paling’ oyod, ‘paling’ wod, ‘paling’ parama (paling: tinggi, dalam, adi, luhur). Kerja penelusuran dilakukan oleh kulawangsa manusia agar diperoleh suatu kondisi bener dan pener, leres dan laras, kondisi kebakuan dan kebekuan tertentu (leres) yang laras (serasi, harmoni) hingga hasilnya dapat berguna bagi ‘kemajuan’ dan ‘kemelekan’ kulawangsa manusia di suatu rentang ruang-waktu.
Minimal untuk mencoba memahami ‘dirinya sendiri’.
Oleh karena itu bahasa Jawa menggunakan konsep paramasastra untuk mengatakan ‘tata-bahasa-baku’ yang dibekukan-dibakukan pada suatu ruang-waktu; utamanya pada waktu yang lebih purwa. Parama bermakna yang paling tua, yang paling adi, paling unggul. Sastra adalah ajaran luhur, ilmu pengetahuan. Pembentukan lingga (kata-dasar dasar-kata) dan kata-turunan serta kata-jadian berasal dari sebuah inti-dunia yang disebut akar-kata (wod). Bahkan di carakan Jawa, wod masih punya akar lagi yang lebih tinggi/dalam/sub-atomik: suara-suara kebahasaan yang menggema di waktu purwa (aksara swara; wilayah kajiannya yang wantah ya fonologi). Wod adalah suara satu ucapan (sawanda) yang bermakna. Wod menurun pada lingga (kata-dasar): dua-tiga ucapan yang bermakna. Andhahan (turunan) berikutnya kata berwuwuhan (berimbuhan), kemudian kata-ulang, camboran, dan saroja. Dan mungkin masih ada kategori turunan yang lain.
Laku pencarian ke dasar ilmu pengetahuan (paramasastra) oleh kulawangsa manusia kepada akarnya (wodnya) salah satunya diwakili laku Remeng Mangunjaya (varian cerita Panji di Bejiharjo Karangmojo Gunungkidul), melalui sayembara, dengan meniti wod-kayu-penjalin. Remeng Mangunjaya harus meniti perlambangan “wod kayu penjalin” untuk kembali bersatu dengan pasangannya: Dewi Sekartaji/Sekarjati. Purwanya, Remeng Mangunjaya diberi pertanyaan paramaik oleh Sekartaji tentang cintanya kepada Sekartaji hanya sebesar “kuku-ireng”. Ia tak tahu maknanya (non-literal). Ia kemudian oncat dari kerajaan. Ia melakukan penyamaran-diri (penopengan). Badharnya penopengan Remeng Mangunjaya (setelah melakukan ‘pencarian makna’) menjadi Panji mengantarkannya memenangkan makna perlambangan “wod kayu penjalin” (akar/oyod/pohon kehidupan yang kuat) dan cinta sebesar “kuku-ireng” (kala terpotong akan tumbuh/menyembul lagi) lewat memenangi sayembara.
Laku pencarian Panji berhasil menemukan wod-nya (akarnya; kahyunnya; kayunya); hakekat aksaranya sendiri; ia sebagai prototip caraka (utusan) kulawangsa Jawa. Persatuannya dengan pasangan-abadinya tak terelakkan: Bunga Yang Sejati; Bunga Dunia Yang Abadi.
Memang, wodnya bahasa umat manusia dan sang manusia itu sendiri ya aksara, alfabet. Wod-nya bahasa Jawa ya aksara Jawa. Tata-cara-penulisan-Latin bahasa Jawa Baru merujuk pada tata-cara-penulisan-Latin aksara Jawa. Dalam paramasastra Jawa, ada tata-cara penulisan seri a atau seri a dicerek bagian atasnya miring ke kanan yang merujuk pada penulisan semua aksara nglegena (carakan Jawa), yang kehadiran tubuhnya memang nglegena (tanpa sandhangan/klambi/pakaian/atribut) namun telah bermakna, dengan melekatkan suara vokal [a] seperti suara kata {tandha} dan {rana} pada aksara nglegena itu; ada juga tata-cara penulisan seri o atau seri a dicerek bagian atasnya miring ke kiri yang merujuk pada penulisan semua aksara nglegena (carakan Jawa) yang kehadirannya tak hanya nglegena namun ‘harus’ memakai sandhangan/klambi/pakaian/atribut yang disebut ‘taling-tarung’ (menempati ruang di kanan-kiri aksara nglegena), untuk melekatkan suara vokal [o] seperti suara kata {tandho} dan {rono} pada aksara nglegena itu agar bermakna.
Paramasastra Jawa, yaitu ilmu pengetahuan Jawa yang ‘adi’, menghubungkan antara keaksaraan dan kelisanan aksara Jawa atau bahasa Jawa. Agar leres dan laras. Leres secara tata bahasa, leres secara ilmu pengetahuan di lingkungan-hidup sebuah kulawangsa yang mendekati sesungguhnya. Laras antar logika tata penulisan dan tata pelisanan, laras dengan kenyataan alam dimana suatu kulawangsa manusia hidup dan berkembang. Di sebuah tanda nol kilometer di dekat kantor pos kota Wonosari pernah dituliskan {wan}, bukan {won}. Asumsi saya, pada waktu pembuatan tanda nol kilometer pada masanya dulu kelisanan {wonosari} memang dituliskan dengan keaksaraan {wanasari}, kemudian diwancah (dipendekkan) menjadi {wan}. Hal ini pararel dengan ‘sejarah’ kota Wonosari dan wilayah sekitarnya yang memang merupakan alih-ubah dari sebuah wana (alas atau utan, bahasa Indonesianya: hutan) yang sari (indah) atau asri (sejuk, nyaman) menjadi sebuah kota; dilakukan oleh kulawangsa Wonosari dan sekitarnya (Piyaman, Siraman, Semanu, dll.). Pararel pula dengan transformasi Wanamarta(ni), Hutan Martani, menjadi Kraton Amarta; dilakukan oleh kulawangsa Pandhawa (tata-cara-penulisan-Latinnya bukan ‘pandhowo’ apalagi ‘pandowo’), yang tak lain para keturunan Pandhu. Demikian halnya keaksaraan dan kelisanan nama-nama atau tempat-tempat seperti Karangmojo, Sewoko Projo, Argosari, Girisubo, Wonontoro, Wonosadi, Bedhoyo, Bakmi Jowo, Siyono, dan lain-lain, yang selayaknya menggunakan teknik seri a atau seri a dicerek bagian atasnya miring ke kanan sehingga menjadi Karangmaja, Sewaka Praja, Argasari, Girisuba, Wanantara, Wanasadi, Bedhaya, Bakmi Jawa, Siyana, dan lain-lain.
Sejarah kulawangsa manusia memang diwarnai dengan pergumulan kelisanan-keaksaraan-kelisanan atau yang satunya: keaksaraan-kelisanan-keaksaraan. Mereka saling sulih menggantikan. Siklus peralihan keduanya yang saling menggantikan dan memunculkan perubahan kebiasaan, varian, serta devian memang telah lazim terjadi. Pertanyaan paramaik (pertanyaan terhadap hal apa yang paling awal, paling tinggi, paling dalam) manusia tentang: mana yang lebih dulu, kelisanan atau keaksaraan, selalu muncul. Pertanyaan: mana yang lebih penting, kelisanan atau keaksaraan, selalu berebut kuasa. Kelisanan ‘dituduh’ oleh modernisme sebagai ‘penghambat’ kemajuan. Keaksaraan sebaliknya, karena komodifikasi dan hegemonisasi yang semakin ‘elar’, dirasa memelencengkan maksud sebenarnya atas tradisi kelisanan.
Jika kelisanan nama-nama atau tempat-tempat seperti Karangmojo, Sewoko Projo, Argosari, Girisubo, Wonontoro, Wonosadi, Bedhoyo, Bakmi Jowo, Siyono, dan lain-lain sedang ngungkuli keaksaraannya (di wilayah praksis memang demikian kenyataannya) dan pihak-pihak yang memiliki kewenangan menganggap hal ini ‘tidak benar’ dirujukkan pada paramasastra (sementara penelusuran dengan paramasastra dapat memunculkan makna yang paling parama/akar/wod) kemudian mempunyai krenteg untuk ‘memulihkannya’ ke wod/akar, maka keaksaraan Karangmaja, Sewaka Praja, Argasari, Girisuba, Wanantara, Wanasadi, Bedhaya, Bakmi Jawa, Siyana, dan lain-lain tinggal dipropagandakan, dibrandingkan, didesakkan ke khalayak, jika perlu menyertakan akar katanya di aksara Jawa, maka, barangkali, kebekuan dan kebakuan suatu konsep bahasa (paramasastra) di tataran praksis sedikit-sedikit dapat cair.
Pencarian akar kata, baik akar kata dasar maupun akar kata andhahan/turunan, dengan segala variasinya, baik memulihkan ke kebakuan maupun menciptakan ‘kebekuan’ kata untuk dapat digunakan selaras dengan konteks tertentu,
demi menggapai kondisi bener untuk ukuran paramasastra tertentu, lebih-lebih pener (laras) dengan kondisi kelisanan dan keaksaraan tertentu, di tengah-tengah masyarakat jaman ini memang berat. Kerja seperti ini menuntut konsekuensi tingkat tinggi, baik pihak balai bahasa, para ahli bahasa, para birokrat-teknokrat, para guru, para pekerja, juga masing-masing kula di dalam kulawangsa. Jika suatu saat kita telah terbiasa mengucapkan kata [wonosari] atau [argosari] atau [girisubo] atau yang lain kemudian kita juga sering menuliskannya dengan {wonosari} atau {argosari} atau {girisubo} atau kata lain yang bertata-cara penulisan sejenis lainnya (yang berarti kita tidak menggunakan bahasa yang benar; tidak selaras dengan tata aturan paramasastra atau etimologi atau epistemologi bahasa Jawa), sangat sulit untuk memulihkannya kemudian menuliskannya dengan {wanasari} atau {argasari} atau {girisuba}. {wanasari} merupakan tembung saroja dari {wana} dan {sari}; {argasari} merupakan tembung saroja dari {arga} dan {sari}; {girisuba} merupakan tembung saroja dari {giri} dan {suba}. Namun karena keaksaraan {wana-sari}, {arga-sari}, {giri-suba} dan teman-temannya telah mencapai kebakuan dan kebekuan tertentu di tengah masyarakat ({wono-sari}, {argo-sari}, dan {giri-subo} itu tadi) maka dibutuhkan kriya pencairan atau penguapan terus-menerus terhadap kebakuan dan kebekuan ini oleh pihak-pihak yang cenderung memiliki ‘pengetahuan’, kekuasaan, dan kewenangan untuk’mengembalikan’nya ke bahasa yang terasa lebih ‘benar’, yang lebih akar (wod), melalui propaganda, program rutin, atau dengan istilah yang agak booming: dengan gerakan literasi; minimal melakukan gerak-sublim personal untuk selalu mencoba menjadi ‘benar’ ketika berbahasa Jawa.
Apakah perlu kerja berat seperti itu?
Bahasa dan sastra ibarat ‘saudara-kembar’ (the twins), yang satu merupakan identitas yang lain. Teks-teks sastra kuna dan klasik Jawa menggunakan bahasa Jawa. Para pujangga dan sastrawan mewariskan bagaimana menuliskan kata dengan cenderung ‘benar’ (memang terdapat variasi, namun demikian ada stabilitas kata/bahasa hingga level tertentu. Karena keaksaraan kata-kata seperti itu pada prakteknya telah menjadi nama-diri (nama-diri orang, nama-diri tempat, dsb. yang terpengaruh kelisanannya; nama diri seperti margana ditulis margono, sunyata ditulis sunyoto, padhamara ditulis podomoro) dan telah mencapai kondisi kebakuan tertentu yang kosok-bali dengan apa yang diwariskan dan diajarkan oleh para pujangga Jawa bagaimana menuliskannya dengan benar (karena mengandung ilmu pengetahuan yang luhur), serta telah melekat kuat di nalar berfikir masyarakatnya, mungkin kerja untuk mengembalikannya kepada ‘yang-asal’ agak susah. Banyak hal/perangkat yang harus dirubah. Tentu saja kerja ini membutuhkan biaya dan waktu tidak sedikit. Kerja perombakan besar-besaran menuntut: korban. Politik (cara menggapai suatu bentuk kekuasaan tertentu) identitas memang meminta pengorbanan.
Jika pun tidak: kita tidak ingin mencairkan dan menguapkan kata-kata beku yang telah lazim di tengah masyarakat demi sebuah konstruksi bahasa yang ‘baru’, yang setelah kita-riset terasa lebih mendekat ke suatu bentuk ‘ilmu pengetahuan’ (purwa/lama), tidak lah mengapa. Kita tetap memilih menuliskan kelisanan [wonosari] dengan {wonosari}, [argosari] dengan {argosari}, [jowo] dengan {jowo} dan seterusnya tetap lah tak mengapa. Mangga, silakan. Jika demikian paling-paling kita telah merasa berbahasa Indonesia/Jawa yang bener dan pener saja, meskipun, barangkali, menurut wawasan ndesa saya, sebenarnya belum. Dan itu sah saja (bukan kah kepentingan dan konteks kebahasaan terkadang melulu kepraktisan, terlebih oleh pihak yang berwenang karena terlanjur diembel-embeli istilah program?).
Pencarian dan pencairan kata-kata baku adalah metode untuk meraihnya, yang diasumsikan bener (leres) dan pener (laras) itu. Meskipun jika saya mengajak Sampeyan membincangnya hingga berbusa-busa, dulur-dulur yang sedang dol-tinuku di Pasar Argosari tetap tak peduli: yang benar itu {argosari} atau {argasari}. Apalagi hasil perbincangan mana yang benar mana yang salah tidak tak mengarahkan angin ke bertambahnya pendapatan mereka; laku tidaknya dagangan mereka.
Ini perbincangan tak penting sama sekali.
Pentingnya pencarian ke oyod/akar bahasa/ilmu pengetahuan menemui banyak kendala. Meskipun saya yakin bahwa kata beserta turunannya (sebagai kumpulan wangsa-kata atau ras-kata) sama persis dengan kulawangsa/ras manusia/hewan/wreksa: ada akarnya. Tanpa akar (wod), kehidupan tak akan memiliki ‘lar’ (swiwi, sayap) sehingga tak mampu menggelar tikar ilmu pengetahuan yang ‘wiyar’.
Tanpa kemelekan terhadap akar-kata/akar-bahasa (meskipun sangat sulit di jaman kini melacak akar semua kata bahkan oleh ahli bahasa pun) kehidupan kulawangsa manusia takkan ‘melar’, takkan melebar. Takkan ‘bener’ (leres). Alih-alih ‘pener’ (laras).
Pada suatu saat tetap saja saya ‘pede’ sebagai seorang kula di antara kulawangsa manusia yang merasa telah melek-aksara (literal), yang mendaku bahwa nalarsaya sedang tidak ‘lara’ (sakit), namun secara berulang saya menuliskan kata {lara} dengan bagaimana saya sering mengucapkannya {loro} (dua; oyodnya ro atau rwa), {desa} dengan {deso}, {wanasari} dengan {wonosari}, yang jangan-jangan, ini adalah ciri personalitas kula/saya, manusia, yang membelah diri (splitting), yang ‘mendua’, yang menjauh dari akar/wod ilmu pengetahuan leluhur saya.
Dari paramasastra saya sendiri. Duh! ……………………
***
(Wage).