Beratnya Menjadi Petugas Lapangan Penghijauan, Tapi Tidak Membuat Kapok

Lahan kritis di wilayah Panggang pada tahun 1980-an. Dok: Kiswanto.

Sebagai Petugas Lapangan Penghijauan yang ditugaskan di Kecamatan Panggang, Gunungkidul, DIY pada saat itu (1978) memang bukan merupakan pilihan yang enak, tetapi sangatlah berat dan berat. PLP yang mendapat penugasan di wilayah zona Ledok Wonosari dan Pegunungan Batur Agung waktu itu dipandang lebih beruntung nasibnya.

Kawasan Gunungkidul bagian selatan, yang salah satunya wilayah Kecamatan Panggang memiliki karakteristik tersendiri. Bentang alamnya terdiri dari ribuan bukit karst atau kapur sehingga disebut zona Pegunungan Sewu.

Bacaan Lainnya

Ribuan bukit tersebut kondisinya sangat memprihatinkan karena gundul, kering, dan gersang. Terlihat dominan bebatuan berwarna hitam dengan solumn tanah yang minimalis atau tipis, sehingga disebut batu bertanah.

Sebagian besar bukit kemiringannya lebih dari 45 %, dan belum berteras secara baik, sehingga lahan tersebut dikategorikan sebagai lahan kritis. Di cekungan antara bukit biasanya memiliki lapisan tanah olahan yang cukup tebal, merupakan sedimentasi dari erosi tanah lereng bukit dan digunakan untuk budidaya tanaman semusim. Puluhan ribu hektar lahan kritis di luar kawasan hutan negara yang sebagian besar berada di zona Pegunungan Sewu inilah yang menjadi sasaran proyek penghijauan.

Mengingat jarak tempat tinggal saya dengan tempat kerja jauh dan tidak mungkin nglaju, maka saya mondok di rumah warga Padukuhan Kadisobo, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang. Tujuan lain ngekos di dekat tempat kerja adalah agar bisa manjing ajur ajer dengan masyarakat petani sasaran penghijauan. Dengan demikian akan mempercepat proses alih teknologi untuk perubahan perilaku.

Tahap awal untuk memulai orientasi lapangan dibutuhkan waktu dan tenaga ekstra, karena medan yang berat, akses jalan provinsi, kabupaten,desa dan lingkungan masih jelek, belum beraspal, dan suhu yang sangat panas karena minimnya pepohonan. Pada saat ini belum ada listrik masuk desa, jadi kalau malam hari penerangannya dengan lampu teplok atau senthir, kadang-kadang menyalakan petromaks.

Pada waktu itu, sumber air utama untuk keperluan minum, masak, mandi dan mencuci adalah air telaga. Ada sebagian warga yang menampung air hujan. Termasuk untuk kebutuhan budidaya ternak besar seperti sapi lazimnya diguyang di telaga.

Adaptasi terkait air inilah yang cukup berat bagi saya. Pada mulanya di antaranya air minum berasal dari telaga yang dijernihkan dengan tawas rasanya berbeda dengan air dari mata air. Demikian pula saya mesti melakukan pembiasaan BAB dengan kakus cemplung, sistem garingan alias tanpa air setetes pun.

Pengalaman yang tidak kalah heboh adalah terkait cara mandi di telaga. Warga masyarakat kebiasaannya mandi pagi dan sore hari secara bersamaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi lokasinya agak berjauhan tanpa sekat dan penutup.

Khususnya bagi kaum pria lepas pakaian dan ditaruh di atas batu, kemudian berjalan menuju genangan air telaga yang keruh dengan cara “sorgem” alias ngisor digegem. Nah, momentum inilah yang rasanya paling sulit saya lakukan. Ada rasa malu yang hebat, karena sebelumnya belum pernah dan tidak lazim melakukannya.

Menjadi terbiasa mandi di telaga bersama masyarakat kawasan selatan Gunungkidul. Foto: Kiswanto.

Akhirnya hingga beberapa hari, saya mandi tidak sehari dua kali di telaga, tetapi cukup sekali saat hujan turun malam hari di bawah grojogan air terjun dari talang rumah pondokan yang tanpa penutup. Permasalahannya, di rumah pondokan tidak ada stok air untuk mandi, tetapi khusus untuk cadangan air minum karena jarak menuju telaga cukup jauh.

Apesnya jika malam hari tidak ada hujan, ya terpaksa tidak mandi. Karena waktu itu belum punya nyali untuk mandi di telaga secara bersama-sama.

Lama kelamaan tidak betah juga menahan ” puasa mandi”. Apalagi mendapati tak ada mukjizat hujan turun malam hari. Akhirnya ya sudah terpaksa harus nekat mandi secara basahan di Telaga Legundi bersama warga baik laki-laki maupun perempuan, dan tak ketinggalan ternak sapi petani. Akhirnya akibat dipaksa, terpaksa, dan lama kelamaan menjadi biasa.

Pak Soetojo Camat Panggang waktu itu merupakan pejabat kepala wilayah yang bertanggung jawab atas keberhasilan Proyek Penghijauan yang waktu Pemimpin Proyeknya Bupati Gunungkidul Pak Darmakum Darmokusumo .

Semangat Pak Soetojo untuk menggerakkan masyarakat petani yang terlibat dalam proyek Penghijauan sangat luar biasa. Saya ingat betul, waktu itu bulan Ramadhan dalam keadaan puasa semua aparat kecamatan diminta gerakan menanam bibit pohon penghijauan saat itu dominan jenis Accasia auriculiformis di suatu lokasi bukit gundul. Hal demikian berulang kali dilakukan dengan tujuan rehabilitasi lahan kritis dapat segera hijau kembali.

Pak Soetojo terkenal keras dan disiplin. Saat Kecamatan Panggang ditunjuk sebagai tuan rumah peringatan Pekan Penghijauan Nasional tingkat kabupaten yang ke-20, pada Desember 1980 di desa Girisekar, beliau mengatakan, “Saudara-saudara PLP, walaupun tugas yang dibebankan kepada saudara merupakan pekerjaan yang berat dan tidak mudah, namun itu merupakan tugas yang amat sangat mulia. Maka laksanakan dengan baik dan bertanggung jawab. Saya katakan, jika kelak lahan kritis di Kecamatan Panggang ini khususnya dan Gunungkidul umumnya telah berhasil menjadi ijo royo royo, walaupun seandainya kalian sudah tidak ada disini lagi pasti saudara akan ikut senang dan bangga mendengarkannya. Karena mempunyai kenangan dulu pernah ikut serta berjuang melawan kemiskinan dan kritisnya lahan itu.”

Kata-kata yang dirangkai sedemikian rupa pada saat itu menjadi motivasi kami selaku PLP, walaupun juga terbersit pikiran tidak semudah membalik telapak tangan untuk merubah lahan kritis itu menjadi hutan yang ijo royo royo.

Kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam penghijauan lahan kritis, persoalan teknis dan faktor alam terutama kekeringan sering menjadi penyebab utama belum berhasilnya penanaman bibit penghijauan.

Bibit tanaman penghijauan untuk lahan kritis zona selatan sebagian besar jenis Accasia auriculiformis dipilih sebagai salah satu pohon pionir. Bibit tersebut disemaikan di dalam polibag untuk menjamin keberhasilan penanaman di lokasi. Persoalanya, karena untuk membawa bibit polibag ke atas bukit berat dan sulit seringkali bibit dicabut dari polibag. Hal ini menyebabkan bibit kering dan mati.

Faktor penting penentu keberhasilan penghijauan lainnya adalah ketepatan waktu droping bibit tanaman saat musim hujan tengah berlangsung.

Setelah berjalan beberapa bulan menjalani tugas di Kecamatan Panggang, akhirnya saya bisa menyesuaikan diri dan semakin mengenal karakteristik wilayah kerja. Hal ini kian mempertebal optimisme keberhasilan penghijauan yang dilaksanakan waktu itu.

Saya masih ingat, wilayah kecamatan Panggang dengan 11 desa banyak terdapat telaga sebagai sumber air untuk mencukupi kebutuhan hidup warga masyarakat dan untuk pertanian. Disamping itu, juga ditemukan sejumlah goa dan sungai bawah tanah dengan debit air jernihnya cukup besar.

Pengalaman pertama saya masuk ke dalam goa dan melihat sungai bawah tanah adalah ketika survei calon lokasi penghijauan di Padukuhan Gebang Desa Girisuko. Waktu itu saya diajak Pak Lurah Kalam HS dan Pak Dukuh masuk ke dalamnya pada siang hari dengan membawa alat penerangan.

Hidangan makan siang disuguhi sayur lombok ijo yang super pedas, tetapi terpaksa saya habiskan, karena takut menyinggung perasaan tuan rumah. Karena belum terbiasa sehabis acara itu saya sakit perut karena pedasnya sayur lombok ijo tersebut.

Melakukan penyuluhan penghijauan ke masyarakat menjadi tugas sehari-hari, pernah pula selepas kerja iseng berburu kalong tetapi tidak mendapatkan hasil. Foto: Kiswanto.

Pengalaman yang tidak dapat saya lupakan sewaktu bertugas di Panggang adalah sembari mengenal wilayah kami bersama seorang teman PLP berburu kalong di Goa Cemplong Desa Giricahyo. Akhir perburuan kalong itu kami tidak mendapatkan satu ekorpun, tetapi kami mengalami ketakutan luar biasa karena ribuan kalong sepertinya marah dan tebang rendah di atas kami sambil mengeluarkan suara keras.

Saat sore hari pulang Penyuluhan dari Padukuhan Temuireng Desa Girisuko dengan mengendarai motor CB Gelatik di tengah hutan dihadang oleh seekor harimau. Karena ketakutan akhirnya saya kembali ke lokasi pertemuan semula dengan hati berdebar dan selamat.

Kisah di Panggang lainnya masih ada yang tersisa. Ikuti tulisan berikutnya. Artikel ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya: Kisah Petugas Lapangan Penghijauan Lahan Kritis di Gunungkidul

***

Klaten, 12-10-2020

***

 

Facebook Comments Box

Pos terkait