Berlibur di Kampung Inggris Tulungrejo Pare

Berkunjung ke Kampung Inggris Tulungrejo, Pare, Kediri. Dok: Iwan.

“You can call me Muhe!” Si remaja kerempeng berkulit kuning, berambut gelombang, serta berhidung mancung yang berlogat agak keindia-indiaan itu memperkenalkan diri. Kalau tidak salah, Muharrian nama lengkapnya. Laki-laki berwajah agak female itu duduk bersama dua temannya yang ber-nickname Tamam dan Fatih.

Rupanya baru saja tiga sekawan itu menempuh perjalanan 2.000-an kilometer dari rumahnya. Mereka menggembol meganiat naik pesawat dari Banda Aceh terbang ke Jakarta. Tak berhenti di situ, anak-anak dari Tanah Rencong itu melangkahkan kaki menaiki kereta menuju Surabaya lalu turun Kediri kemudian tuntas di Tulungrejo, Pare. Aku mendengar sekilas ceritanya.

Aku berdecak kagum ketika telingaku mendengar jawaban pertanyaan dari Ms. Zizi kepada Muhe, “Where do you come from?” Spontan Muhe melontarkan kata “Aceh” lalu melanjutkan ucapannya, “From Banda Aceh!” Kata itu membangunkan bayangan pengalaman pada 2016, selama sepekan, aku mencicipi suasana kota asal tiga pelajar ini. Kali ini bukan tentang kopi atau sanger yang muncul di benakku, tapi kubayangkan betapa jauuh asal mereka. Belum lagi biaya dan perjuangan mereka terbang naik burung besi ke Jakarta lalu naik kereta api ke Kediri ditambah transport gojek, sepeda, dan lainnya. Dan itu semua dilakukan hanya untuk ikut kursus bahasa Inggris?

Whattt?

Tak hanya Muhe dkk, demikian juga ribuan pelajar yang lain dari pelosok negeri ini pun seperti itu. Sebut saja Tiyan dari Lombok, Daris from Lampung, Imam asli Palembang, Aulia putri Balikpapan, Raisha eneng Bandung, si Tihan Depok, Konan arek Sidoarjo, Ibnu Gresik, Adam Surabaya, Dafa cah Karanganyar, bahkan meski tak sempat berkenalan namun terlihat dari fisik melanesianya, dari Papua, bahkan India.

Nah, termasuk diriku dari Negeri Kahyangan. Sebenarnya kikuk juga bareng bocah-bocah junior and senior high school ini. Namun gimana lagi, mumpung ada paket Holiday Ceria di Kampung Inggris, jadi kebetulan putriku mau agak kupaksa ikut dan membiarkannya berangkat sendiri tentu belum tega. Melepas bocah menginjak remaja itu mana mampu? Jadi kuputuskan mengambil cuti lalu menemani si buah hati ikut mencicipi program ini setelah bernegosiasi lembaga elsi.

Satu desa Tulungrejo ada puluhan tempat les bahasa inggris, mungkin tak hanya puluhan bisa jadi ratusan. Tak banyak info yang bisa kugali karena agenda merayap mulai subuh sampai malam. Untungnya Mbah Google memberi sedikit info bahwa desa di Kecamatan Pare ini memiliki tempat kursus Bahasa Inggris terbanyak se-Indonesia. Ketika jeda kelas, ku tanya mas Ridwan yg sedang menyapu parkiran pun memberi info tipis bahwa semula perintisnya lembaga BEC pada 90-an. Sekarang kulihat dengan mata berkacamata sendiri ada aneka nama, Mr. Bob, Mr. ini, Mr. Itu, dll.

Tulungrejo yang bertransformasi menjadi Kampung Inggris Pare ini luar biasa. Aku sangat menikmati suasananya. Penduduk yg welkam, supeltas yg tersenyum mendahulukan sepeda saat menyeberang. Dan kulihat sendiri ada pemuda India dan ibuk sepuh pemilik warung yg mengajak bicara in English cas, cis, cus, bahkan gojekan. Wah, sebagai wong ndeso, bagiku itu asyik tenan. Ya, hanya satu hal yg mengusik hati karena banyaknya bangunan dan tangga kurang ramah penyandang disabilitas.

Ia begitu menggerakkan berbagai hal bagi kebanyakan orang yg tinggal, utamanya kaki, mulut, dan pikiran, termasuk roda ekonomi dengan enjoy.

Menggerakkan kaki? O iya, bagaimana tidak? Ada ratusan bahkan ribuan sepeda yang dipakai anak-anak untuk bolak-balik dari camp atau kos-kosan ke tempat semacam camp-camp praktik yg disiapkan masing-masing lembaga. Ini hal yg patut dipuji setinggi langit mengingat betapa angkuhnya zaman ini terhadap alat transportasi berbahan bakar nasi goreng ini. Sewanya selama seminggu pun cukup mengeluarkan tiga lembar uang sepuluhan ribu dari dompet.

Menggerakkan mulut? Jelas donk. Tiap jam ratusan vocab dihafalkan, tiap sudut warung makan yg dipenuhi puluhan anak-anak kos yg mengunyah sajian dengan pelan tanpa memikirkan harga yg harus dibayarkan. Makan mie soto dan teh panas pun cukup merogoh delapan ribu.

Kampung Inggris juga menggerakkan roda ekonomi. Dengan sekilas pandang saja cethawelawela usaha kos2an dengan gaya tulisan enggres, ramainya pedagang, penjual jasa sewa ini itu, katering, dan banyak lagi. Lha wong ATM BRI saja cukup banyak yang antri.

“Sing ngongkon arek iki!” tetiba lengkingan berlogat jawa timuran seorang bocah yg gojekan dengan kakaknya menyentakkan lamunanku saat membayangkan lagi bahwa Muhe dkk melangkahkan kaki ke Tulungrejo demi mengasah pikiran saat liburan. Kata “Tulungrejo” bagiku mengikis kata “kampung” yang ditambah “maling”, “janda” atau apapun yang melekatkan stigma. Yang jelas ada Tulungrejo yang jadi Kampung Inggris bisa jadi penolong sejahtera untuk liburan Muhe dan kawan-kawan.

And you?

Wah, bisa berbahasa enggres dong sekarang? Lha iyes donk, litle-litle-lah. Biar sedikit-sedikit ya no what-what…

Facebook Comments Box

Pos terkait