Saya memulai bertani pada saat wisata alternatif di wilayah Gunungkidul sedang ramai tumbuh berkembang. Obyek-obyek wisata dadakan muncul dimana-mana. Seperti cendawan di musim hujan.
Tanah-tanah pertanian ditanami bunga-bunga yang indah warna-warni. Dari bunga matahari yang kuning sampai bunga yang namanya sulit dieja lidah orang desa. Tanah-tanah pertanian dibuat area permainan, didirikan gazebo-gazebo, juga dibangun spot-spot foto. Dan ‘ndilalah‘ obyek-obyek wisata itu ‘laku’. Berbondong-bondong orang berkunjung, selfi-selfi.
Keadaan tersebut sempat membuat saya tergoda untuk ikut membuat wisata. Kebun jambu akan saya konsep pariwisata. Pendapatan mesti akan tambah. Ini jelas bukan gagasan berlebihan. Tak sedikit kebun buah menjadi destinasi wisata baru.
Namun gagasan ini bertentangan dengan naluri ‘tani bentil‘ yang diturunkan bapak-simbok saya. Saya ingin bertani secara sederhana, bertani yang tak ‘neko-neko‘. Bertani tanpa terbebani menjadikan kebun rapi teratur, indah dengan warna-warni bunga. Tak terbebani menjadikan kebun dikunjungi orang-orang.
Saya memilih menuruti kata hati, maka kebun saya sekarang adalah kebun petani ‘wutun‘. Selain ada pohon jambu, tumbuh di sana tanaman palawija, singkong, kalanjana, turi, daglek atau juga tanaman sayur; cabe, bayam atau kacang lanjaran.
Sebuah kebun yang sederhana, tak indah dipandang dan tak akan ramai dikunjungi orang, namun disanalah saya menemukan rasa nyaman dan ketenangan. Menemukan hakikat wisata yang paling dalam.