Blek adalah perkakas berbahan logam seng berbentuk kotak persegi panjang, digunakan oleh warga perdesaan Gunungkidul untuk mengangkut air dari sumber air ke rumah.
Generasi jaman now barangkali sudah tidak kenal apa itu blek. Perkakas ini begitu akrab dan berjasa besar bagi warga Gunungkidul, bahkan juga bagi warga wilayah Pegunungan Sewu di Wonogiri dan Pacitan.
Para generasi sepuh dan dewasa muda usia 40 tahun ke atas di seputar Pawonsari (Pacitan, Wonogiri, Wonosari/Gunungkidul) pasti masih ngonangi jaman keemasan “ngangsu air” di kala pagi atau sore hari. “Ngangsu” air itu proses mengangkut atau membawa air dari sumber air dibawa ke rumah masing-masing untuk ditampung di gentong, kolah, atau padasan. Sumber air itu bermacam-macam, bisa sumur yang dipakai ramai-ramai berapa keluarga, kali, belik, kedung, atau telaga.
Lha, mengapa kok dulu warga perdesaan begitu populer kegiatan “ngangsu”? Ya, setahu saya belum ada “air ledeng” atau penyediaan air bersih oleh perusahaan PDAM masih sangat terbatas hanya melayani sak-uplik wilayah di perkotaan buat kantor dan rumah para pejabat kabupaten.
Jaman dulu, sumur perorangan itu masih merupakan “barang mahal”. Hanya orang terpandanglah yang bisa membuat dan memiliki sumur, atau sudah memiliki sumur tua warisan para pendahulunya. Karakter asli gotong-royong dan rila tulung-tinulung itulah yang menjadikan sumur-sumur perorangan itu bisa dipakai beramai-ramai. Dipakai secara komunal oleh para sanak-sedulur dan tetangga di dekatnya.
Saya jadi teringat, ketika orang tua saya sudah mampu beli petak pekarangan di dusun sebelah dari dusun asal belum bisa langsung membuat sumur. Karena itu untuk keperluan air masih numpang menggunakan sumur Mbah Karto, tetangga terdekat. Mbah Karto ini memiliki pekarangan luas dan memiliki sumur tua. Mbah Karto memperkenankan beberapa tetangga yang belum bisa membuat sumur untuk memakai sumurnya. Setidaknya ada 4 keluarga yang mengambil air dari sumur beliau, yaitu keluarga Mbah Suroto, keluarga Wo Ardjo, keluarga Pak Pardi, dan keluarga orang tua saya.
Jaman dulu, belum ada listrik, jadi juga belum ada pompa listrik. Satu-satunya cara mengambil air dari sumur sedalam 15-25 meter ya dengan menggunakan timba air dengan tali dan kerekan. Mengambil air dari dalam sumur disebut “nimba”. Blek bekas minyak goreng curah tadi adalah wadah air untuk “ngangsu”, men-transport paket-paket air dalam blek untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.
Untuk “ngebaki” atau mengisi penuh gentong di dapur kurang lebih 2 kali pikulan (3,5 – 4 blek). Ngebaki padasan cukup 1 blek. Yang paling capek adalah ngisi kolah kamar mandi, karena tak kurang dari 5 kali pikulan. Untuk mengirit energi, maka jaman dulu biasanya pergi ke sumur komunal sekaligus buat mandi di kolah dekat sumur itu. Sesudah mandi baru pulang sembari mikul blek tadi.
Daya tampung blek bekas minyak curah itu kisarannya 30 liter. Karena itu, apabila ngangsu dengan pikulan sendiri ya memikul air 2 blek berarti kurang lebih 60 liter atau 60 kg. Ini tentu saja dilakukan oleh orang dewasa. Saya waktu itu masih usia SD, sehingga kuatnya hanya mikul seperempat kapasitas maksimum. Mikul setengah kapasitas maksimum pasti sudah menggeh-menggeh loyo. Terkadang pula, 1 blek penuh dipikul berdua dengan adik.
Saya sudah kesulitan mendokumentasikan perkakas blek untuk ngangsu air pada jaman dulu. Foto blek ini saya peroleh di Museum Karst Pracimantoro. Barangkali ini model blek sedulur-sedulur Wonogiren. Untuk model blek Gunungkidul biasanya digapit dengan bambu atau kayu, tali diikatkan pada batang bambu/kayu, sehingga lebih kokoh bakoh.
Itulah sekelumit cerita tentang BLEK. Semoga berkenan untuk mengenang masa-masa indah penggemblengan penuh perjuangan waktu itu. Mengingat jaman mikul blek rasa-rasanya juga menyadarkan, bahwa laku sang Bima mengupayakan “tirta amrta” itu merupakan jalan hidup tak mudah.