Hari gini, bagi orangtua mendapatkan sentuhan perhatian anak itu bukan perkara murahan. Bukan otomatis didapatkan. Saya rasa ndak seperti itu. Atau “mak bedunduk”, tiba-tiba didapatkan begitu saja tanpa tetesan peluh.
Begitu pula, sebaliknya. Hari gitu, bagi seorang anak mendapatkan rangkulan bapak-ibu itu agaknya menjadi perkara langka. Tentu tidak semua, namun bisa dikatakan bahwa sentuhan afeksi untuk anak kebanyakan berkurang.
Sekilas yang tampak, masing-masing pihak kalah bersaing dengan hape. Lihat saja pada masa pemenjaraan manusia alias pandemi yang terasa ngeri-ngeri sedap ini. Saat di rumah bersama, coba hitung dalam rentang waktu dua puluh empat jam, berapa jam aliran waktunya yang disedot oleh hape? Berapa prosen aktivitas mereka yang kira-kira mempertemukan kedua atau ketigaannya dalam kedekatan fisik?
Sekilas pengamatan, yang tentu bisa keliru, kekeringan relasi afektif sedang terjadi. Maka bagi para pihak, aneka kedekatan fisik dan afeksi perlu diupayakan. Perhatian kembali perlu direbut masing-masing pihak. Perebutan ini tentu bukan dengan cara kasar: pelototan, bentakan, cubitan, atau berondongan nasehat garing. Tentu bukan.
Saya sendiri menggunakan cara sederhana melalui cerita. Malam saat bocah beranjak tidur, kami membaca dari buku cerita. Sering pula kututurkan kisah masa silam, pengalaman saat main bersama teman-teman. Kisah mencuri tebu bersama Joyo, tetawu, ngunda layangan, dan kisah lucu masa lalu.
Kontestasi mendapatkan perhatian anak di rumah saya jalani dengan taktik dan strategi. Dan kontestasi ini sangat-sangat penting bagi masa depan keluarga, agama, bangsa, dan negara.
Pikir saya, mungkin jauh lebih bermakna memilih cerita dari pilkada hahaha.
***