Caping fungsinya sama dengan topi. Pelindung kepala petani dari sengatan terik matahari dan juga gerimis hujan tatkala mereka beraktivitas. Workshop dan kantor petani itu ya ladang atau sawah. Karena itulah keberadaan caping gak bisa diremehkan.
Para petani bisa melepas caping setelah kembali ke rumah, atau sebentar melepas caping sembari untuk kipas-kipas ketika bersiap menyantap kiriman nasi, jangan dan lauk dari rumah.
Petani jelas sangat akrab dengan caping. Sama akrabnya dengan pacul, gancu, gathul, dan perkakas lainnya. Saking akrabnya, caping bahkan dianggap sebagai “pusaka”.
Sebuah tembang lawas mengungkap, bagaimana seorang petani memberikan pusaka itu kepada anaknya untuk berjuang. “Pusaka” itu bentuk perlindungan orang tua kepada anak, wujud “ngopeni” biar jadi anak yang kuat, gigih berjuang, tahan terhadap sengatan panas, juga terlindung ketika ada mendung yang membawa hujan.
Jaman sekarang, caping bisa pula menjadi aneka pertanda. Orang memakai caping, surjan lurik, bahkan baju dan celana komprang untuk mengidentifikasi diri sebagai petani ketika karnaval 17-an atau event lainnya.
Caping kadang juga bisa jadi pertanda pileg atau pilkada sudah dekat. Kandidat dari kaum priyayi mapan pun tak segan turun ke bawah memakai caping. Memakai surjan lurik abdi dalem, menggambarkan diri sebagai sedulur petani, menunjukkan nafas perjuangannya buat kaum bawah, ngopeni wong cilik, dst-dsb.
Apakah para kaum priyayi yang tiba-tiba mendekat rumah rakyat yang hampir ambruk, “brak-bruk” bersedekah, dan aneka kegiatan lainnya itu nantinya satu hati dan satu perjuangan membela kaum petani?
Itu PR kita bersama. Sebaiknya kita selalu ingat baik pepiling simbah berikut ini: “Jarene wis menang, keturutan sing digadhang. Mbiyen ninggal janji, ning saiki apa lali…..”
***
Foto: Mas Bill. Caping produksi Nglipar.