Coker

Coker. Foto: Woro.

Salah satu mata pencaharian di pedesaan yang paling eksis dan telah berlangsung lama adalah perantara jual beli hewan ternak (khususnya sapi dan kambing) atau biasa disebut coker.
Seorang coker bertugas membantu pedagang ternak menawarkan dagangannya ke calon pembeli, baik itu petani wutun yang hendak beternak, para pedagang sate dan tongseng atau bisa jadi pedagang ternak lain.

Menjadi coker tentu tak mudah dan tak semua orang mampu menjalaninya. Dia harus paham benar soal fisik ternak, mulai dari ciri-ciri ternak yang sakit, ternak ‘sanglir’ sampai indukan yang ‘gemati’ terhadap anak-anaknya. Selain itu seorang coker harus memiliki kecakapan berbicara dan komunikasi untuk menyakinkan pembelinya.

Tak kalah penting adalah memiliki mental yang kuat dan tak mudah ‘baper’ karena persaingan di pasar ternak sangatlah keras. Tak jarang antar coker saling memaki, serobot dan menjatuhkan kwalitas barang dagangan lainnya.

Suasana pasar ternak yang berisikan puluhan atau bahkan ratusan coker rasanya kurang nyaman bagi orang yang belum pernah datang ke sana, terlebih bila orang tersebut berasal dari keluarga ‘priyayi’ yang diajarkan berbahasa dengan halusnya. Sasa katakan suasana kurang nyaman karena di pasar ternak akan mudah sekali didengar suara-suara makian dan jorok, olok-olok, bahkan pisuhan-pisuhan yang kasar.

Namun suasana demikian akan berbeda bagi orang desa yang sudah terbiasa datang ke pasar ternak. Bahkan suasana demikian justru menarik dan amat dirindukan. Suara-suara terkesan kasar tersebut malahan akan mencipta suasana cair dan keabraban tanpa sekat basa-basi. Maka tak heran makian dan olok-olok itu berlalu begitu saja tanpa meninggalkan permusuhan dan sakit hati.

Saya sendiri paling senang mendengar cara coker merayu calon pembeli yang kadang seperti tak masuk akal, semisal rela merugi demi si pembeli atau bahkan bersumpah samber geledek. Atau mendengar keluhan mereka saat menerima tawaran yang mereka anggap terlalu rendah.

Dan biasanya saya akan mengakhiri ‘kunjungan’ ke pasar ternak dengan mampir ke warung makan untuk memesan teh cangkir kecil dengan gula batu. Saat menyeruput rasanya ‘mak pyarrr’ dan untuk sementara akan lupa saya pipilan di bank.

Lain waktu saya akan datang lagi ke pasar hewan. (Kusworo).

***

Menthel Hargosari, 27 Januari 2020.

Facebook Comments Box

Pos terkait