Dari Tanah Gersang Menjadi Handayani

Rimbunnya tetumbuhan di Desa Banyusoca Playen. Foto: Tugi.

Alam Gunungkidul saat ini boleh dikatakan telah ijo royo-royo. Tutupan lahan telah didominasi aneka vegetasi yang membuat hijau segar. Sempat kering layu saat memasuki kemarau, namun pasti kembali menghijau saat musim penghujan datang.

Untuk generasi seusia saya, rasanya tidak seorangpun yang bakal menyanggah bahwa Kabupaten Gunungkidul pernah mengalami situasi menjadi wilayah bertanah gersang. Kering kerontang pasti dialami saat memasuki musim kemarau. Mulai pertengahan era 80-an lah suasana lebih ijo royo-royo kembali menghiasi tanah Gunungkidul.

Bacaan Lainnya
Lukisan perjalanan FW Junghuhn ke wilayah Gunung Sewu 1856. Dok: wikimedia.

Ini berkebalikan dengan pengalaman yang pernah ditulis FW Junghuhn, seorang pengelana berkebangsaan Jerman yang bekerja pada pemerintah Netherlands Indische. Tahun 1856 Junghuhn melakukan perkunjungan ke wilayah Gunungkidul (Zuider Gebergte). Ia sempat blusukan ke pelosok perdesaan sampai daerah pantai di Rongkop, dan sempat mendokumentasikan perjalanannya dalam laporan perjalanan dan gambar lukisan (bukan foto lho).

Sebagai seorang geologist sekaligus botanist, Junghun melaporkan bahwa wilayah Gunung Sewu yang dikunjunginya merupakan pegunungan kapur masih berhutan lebat dengan aneka fauna. Dalam lukisan perjalanannya, di sepanjang perjalanan di antara perbukitan kerucut kapur ia dan rombongan juga disambut kawanan kera ekor panjang (macaca fascicularis) yang berlompatan di antara pepohonan. Di daerah pantai di wilayah Rongkop, ia melukiskan juga keindahan pantai dengan vegetasi tumbuhannya juga. Ia juga mencatat warga setempat suka memanen sarang burung walet.

Lukisan perjalanan Junghuhn di daerah Rongkop (kemungkinan di Pantai Ngungap Girisubo). Dok: wikimedia.

Ignasia P Septariska (Pengelolaan Hutan Jati di Afdelling Gunungkidul 1846-1933, Jurnal Lembaran Sejajah, 2001) menuliskan, adanya kerusakan masif hutan di Gunungkidul setelah tahun2 perjalanan Junghuhn. Penebangan hutan dilakukan secara masif, terutama penebangan hutan jati. Ini untuk memenuhi pertumbuhan perdagangan kayu di pusat kotaraja di Yogyakarta, untuk pemenuhan pembangunan kerajaan, dan pemenuhan kebutuhan kayu untuk kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pembukaan permukiman-permukiman baru dan pembukaan hutan untuk pertanian di berbagai wilayah Gunungkidul juga turut berkontribusi pada kerusakan hutan dan lahan di wilayah Gunungkidul.

Diterangkan pula, upaya konservasi kerusakan hutan di Gunungkidul juga telah dilakukan oleh pihak Karaton Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda. Namun upaya-upaya yang dilakukan kurang begitu berhasil.

Dalam Jejak Hijau Wanagama (KemenLHK, UGM, GIZ, Forclime, 2016), diterangkan kondisi kerusakan hutan di daerah Gunungkidul masih dijumpai pada tahun 1960. Kondisinya sangat kritis, hanya berupa tanah tandus bebatuan yang kering dan gersang, tidak ada tanaman, kehidupan binatang maupun mikroorganisme. Pada musim hujan, air menggerus lapisan tanah (top soil) menyebabkan erosi yang tidak terkontrol. Di musim kemarau, air sulit didapatkan, penduduk harus berjalan kaki berkilo-kilometer untuk mendapatkan air guna memenuhi kebutuhan air.

Upaya serius menanggulangi situasi gersang dan kering akibat kerusakan hutan di Gunungkidul dimulai pada era 60-an. Kondisi hutan yang semakin memprihatinkan, menggugah jiwa para rimbawan (dari Kehutanan UGM) untuk segera mengupayakan penyelamatan hutan. Melalui kearifan lokal Wonokerto Mangkunegaran, yaitu prinsip melestarikan hutan di mana masyarakat yang tinggal di sekitar hutan turut menjaga, melindungi dan memperoleh manfaat dari hutan, para rimbawan kehutanan bersama-sama dengan masyarakat mulai menghijaukan kembali kawasan hutan Gunungkidul, yang dimulai dari kawasan hutan Wanagama (awalnya masih bernama Petak Lima).

Nah, apabila teman-teman saat ini menikmati suasana Gunungkidul yang indah dan ijo royo-royo, maka itu tak lepas dari upaya yang dilakukan para pendahulu kita, baik pemerintah, masyarakat, juga para rimbawan yang bersatu padu “cancut-taliwanda” untuk menghijaukan kembali Gunungkidul, mencegah erosi tanah, dan menjaga cadangan air tanah sehingga terlepas dari masalah kekeringan akut.

Masa kecil saya tinggal di Gunungkidul sampai selesai sekolah SMP, jadi masih sempat ngonangi dan bisa membandingkan situasi kering-gersang alam Gunungkidul jaman saya dulu masih bocah dan jaman sekarang. Mungkin generasi lahiran 1985 tidak ngonangi lagi kepahitan-kepahitan kering-gersang yang dialami generasi saya dan generasi sebelumnya.

Saya masih terngiang-ngiang, jaman saya masih SD dan SMP, nama Bupati Darmakum Darmakusuma (menjabat 1974-1984) sungguh terpatri di hati anak-anak sepantaran saya. Beliau dikenal sebagai tokoh pemimpin daerah yang menggelorakan dan menggerakan penghijauan Gunungkidul. Petak Lima atau sekarang dikenal sebagai Wanagama sebagai percontohan perbaikan hutan, yang akhirnya menjalar ke seluruh wilayah Gunungkidul. Memperbaiki hutan berarti memperbaiki tanah, memperbaiki cadangan air tanah, dan tentu saja memperbaiki kesejahteraan penduduk yang mayoritas sebagai among tani.

Semasa beliau menjabat bupati, gebrakan lanjut yang dilakukan adalah masyarakat diijinkan menanam jati di tanah hak milik. Ini tentu menjadi angin segar bagi masyarakat, karena tanaman jati boleh diusahakan di tanah milik rakyat. Masyarakat menjadi punya celengan kayu jati sebagai tambahan kapital untuk tegaknya keluarga. Perlu diketahui, sebelumnya tanaman jati hanya boleh ditanam di tanah kehutanan dan oleh pihak kehutanan.

Dalam menggalakkan masyarakat sadar penghijauan, Pak Darmakum juga menerapkan apa yang disebut Palakrama Jati dan Wiyata Jati. Palakrama Jati adalah kebijakan yang mewajibkan setiap penduduk yang akan menikah untuk menanam pohon jati di tanah pekarangannya minimal 10 pohon. Sedangkan Wiyata Jati adalah kebijakan kepada sekolah-sekolah di wilayah Gunungkidul untuk menanam pohon jati pada lahan di lingkungan sekolahnya.

Benar memang, menurut penuturan para orang tua di desa-desa, bahwa pasca tahun 80-an Gunungkidul sudah lebih ijo royo-royo dibandingkan era sebelumnya. Pun demikian, penduduk jadi lebih terbiasa menanam jati pada batas-batas pekarangan atau pada galengan kebun olahannya itu sebagai celengan penopang hidupnya.

Manfaat pohon jati sebagai celengan sungguh dirasakan ketika mana penduduk memerlukan biaya untuk menyekolahkan anak, berobat, menikahkan anak-anaknya, merenovasi rumah, dan bahkan nyangoni material kayu ketika anak-anaknya membangun rumah.

Barangkali saya menjadi bagian anak gunung yang beruntung karena program palakrama jati jaman dulu itu. Ketika membikin rumah mungil di tanah perantauan, bapak-ibu saya mengirimi kusen, daun pintu, dan balokan kayu jati hasil kebun sendiri di Gunungkidul.

Nah, adakah pengalaman sedulur-sedulur tentang kekeringan dan penghijauan Gunungkidul pada jaman dulu? Apakah ngelihatnya hanya kondisi jaman sekarang yang sudah nampak ijo royo-royo dan pesatnya perkembangan industri pariwisata?

Selamat memasuki hari jadi Gunungkidul yang (mungkin) masuk usia ke-189. Semoga kita semua masih bisa turut bisa menanam tetumbuhan di tanah Gunungkidul, tidak hanya menebang dan minta dikirimi hasil kayu dan tanaman dari tanah kelahiran saja.

Semoga kita semua selalu HANDAYANI tidak hanya di slogan, tetapi juga di tata laku. Salam.

****

Referensi: 1) Junghuhn: Java-Album. Leipzig, Arnoldische Buchhandlung. Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864). 2) Ignasia P Septariska: Pengelolaan Hutan Jati di Afdelling Gunungkidul 1846-1933, Jurnal Lembaran Sejarah, 2001. 3). KemenLHK, UGM, GIZ, Forclime: Jejak Hijau Wanagama, 2016.

Facebook Comments Box

Pos terkait