Disumpal Sandal

Tidak bisa PR Matematika tidak perlu disumpal sandal. Foto: Iwan.

“Saya pernah disumpal sandal oleh bapak, gara-gara tak bisa nggarap PR Matematika…,” ungkapnya lirih. Tentu saja ungkapan hati laki-laki generasi terkini itu membuat teman bicaranya njenggirat. Hati saya bergoncang trenyuh. Ya, Tuhan, masak ada bapak yang tega membegitukan buah hatinya? Saya mencoba mendudukkan diri pada posisi seorang ayah juga.

Kuduga, dari sekilas terawangan pada ceritanya, amarah bapaknya meledak karena anak SD itu tak becus berhitung. Bapaknya ngajari bolak-balik namun ia tak paham juga. Buummm, ledakan amarahnya bagai bom Hirosima. Lalu, terasa juga bagaimana bapaknya memakai tindakan brutal itu demi nyantolnya pengetahuan berhitung yang dianggapnya bergengsi tinggi bak gunung. Sayangnya, anaknya justru kena “pentung” dan senyumnya buntung bahkan tetap terasa saat negara memberinya status warga negara ber-KTP.

Bacaan Lainnya

Saya mengingat suasana itu kembali….

Percakapan itu terjadi kira-kira setahun yang lalu dengan pria kuning langsat-berambut lurus-muka agak berjerawat-yang curhat tentang pilihan studinya, paska-SMA. Ia menetapkan hati mengambil jurusan ilmu jiwa di perguruan tinggi terakreditasi A.

Dari tembung-tembung yang tersambung, rupanya ada benang merah motivasi ia memilih bidang itu demi membalas pengalaman duka lara masa lalu. Namun motivasi mulia itu tak memperoleh jalan semulus JLS, ada penghalang dari orang tersayang. Ortu tak rela ia “hanya” terjun ke dunia metafisika yang dianggap kelas dua.

Apa dampaknya? Ketika curhat, ia begitu gugup, terasa ada ketakutan melawan keinginan ortu. Dalam keseharian ia memang jarang bicara. Sering juga ia tak pede dengan pilihannya. Namun, yang kudengar, amarahnya bisa meledak menggetarkan siapapun yang ada di dekatnya.

***

Pagi ini tiba-tiba kuingat kejadian itu. Ini terjadi karena tugas mendampingi anak mengerjakan tugas dari guru kelas IVb dengan tugas Matematika. Berlagak lagu bak guru tua, kusiapkan kepintaran dan hikmat kebijaksanaan.

Tapi rupanya, pendampingan itu tak semudah membalik tangan. Tak seperti yg terbayang, ternyata mengajari anak mengubah angka pecahan menjadi persen begitu sebaliknya itu ruwet. Ia tak hafal langkah-langkah “sederhana” yang kuberikan. Bahkan lalu “hanya” hitungan 4×6 pun jadi ambyar.

“Oh, pantas saja kalau tugas logika berhitung, Ibunya membentak-bentak tak sabar,” batinku, “kini kesabaranku teruji.” Biasanya aku hanya menutup mulut dan meneruskan keasyikan membaca atau membuka layar HP, tapi kali ini berbeda… Rupanya mengajari anak tak sesederhana itu.

Di masa pageblug ini, ada kondisi yang mencelikkan mataku. Kini kuhargai guru dan siapapun yang bersabar mengajari generasi penerus namun tak perlu memamerkan kuasa. Atau memerkosanya bak menyulap ikan agar bisa memanjat pohon.

Anak memasukkan bahasa orangtua dalam pembentukan dirinya. Ia memahami diri bercermin dari bentakan atau pelototan. Bila kondisi luka tersimpan dalam ketidaksadaran, alam bawah sadar selalu menyimpan ketakutan, ketidakpercayaan namun juga kekuatan melawan.

Weelha, saya bukan ahli ilmu jiwa jew, apalagi ahli matematika. Saya cuma curhat sebagai seorang bapak yang ngos-ngosan menahan kesabaran ngajari Matematika pada masa pandemi dan masa pilkada. Wuuu.

Beda keinginan itu hal wajar, so ndak perlu pakai kuasa untuk memaksa.

***

 

Facebook Comments Box

Pos terkait