Dr. Soetomo: Pemuda Desa Perintis Organisasi Modern di Indonesia

Dokter Soetomo sewaktu masih muda. Dok: Wikipedia.
Dokter Soetomo sewaktu masih muda. Dok: Wikipedia.

Hari ini, 20 Mei dikenal sebagai hari Kebangkitan Nasional. Hari peringatan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk mengenang peristiwa bangkitnya nasionalisme ke-Indonesia-an yang dipelopori para pemuda, dengan berdirinya organisasi modern pergerakan kebangsaan di Hindia Belanda pada waktu itu. Mengenang hari Kebangkitan Nasional tak akan lepas dari seorang tokoh pemuda yang bernama Soetomo.

Soetomo lahir di Desa Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, pada 30 Juli 1888. Soetomo terlahir dengan nama Soebroto. Ayah Soebroto bernama Raden Suwaji yang menjabat sebagai wedana (setara dengan camat pada saat ini) di Maospati Madiun.

Bacaan Lainnya

Sejak kecil Soebroto diasuh oleh kakek dan neneknya. Kakeknya yang bernama Raden Ngabehi Singowijoyo sangat sayang kepadanya begitu pula dengan neneknya. Meskipun begitu, Soebroto tidak terlalu memanjakan dirinya kepada kakek dan neneknya. Saat usia kecil Soebroto memiliki sifat yang baik dan sopan kepada masyarakat terutama kepada orang tuanya.

Pada usia yang menginjak masa anak-anak, Soebroto dititipkan kepada pamannya yang bernama Arjodipuro di Bangil. Ditempat ini, Soebroto didaftarkan sekolah oleh pamannya di sekolah dasar Belanda, yaitu Europeesche Lagere School (ELS). Namun pada saat itu Soebroto tidak diterima di sekolah.

Pada keesokan harinya, pamannya kembali membawa Soebroto untuk menemui kepala sekolah untuk menyampaikan keinginannya yaitu untuk memasukkan keponakannya tersebut namun dengan nama Soetomo. Dengan nama tersebut Soebroto berhasil diterima di Europeesche Lagere School (ELS). Sejak saat itu pula (1896), Soebroto berganti nama menjadi Soetomo yang sekarang dikenal sebagai pahlawan nasional.

Di sekolah, Soetomo termasuk siswa yang pandai sehingga disegani oleh temannya baik anak pribumi maupun anak-anak Belanda. Bahkan guru-guru Belanda juga sayang kepadanya. Selain pintar di pelajaran akademik, ia juga gemar berolah raga.

Setelah menyelesaikan pelajarannya di sekolah dasar, Sutomo bermaksud untuk melanjutkan sekolah dokter bagi kaum pribumi di Jakarta (STOVIA – School tot Opleiding voor Indische Artsen). Keinginan Sutomo pun mendapat dukungan penuh oleh orangtuanya. Saat usia 15 tahun, pada 10 Januari 1903, Sutomo dengan 13 teman lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia mendaftarkan dirinya di STOVIA. Di antara teman dekatnya terdapat nama Gunawan Mangunkusumo, Gumbreg, Soeradji, Mohammad Saleh dan M. Sulaiman.

Saat menuntut ilmu di STOVIA, Sutomo mendapatkan cobaan yang berat. Pada 28 Juli 1907, ia mendapat telegram yang memberitakan bahwa ayahnya meninggal dunia. Kejadian ini membawa perubahan yang besar pada sikap dan pemikiran di kemudian hari, sehingga Sutomo bertemu dengan dr Wahidin Sudirohusodo. Dokter Wahidin adalah seorang pensiunan dokter yang memiliki cita-cita untuk mendirikan suatu badan yang menyelenggarakan dana pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu.

Atas saran dokter Wahidin Sudirohusodo, akhirnya Soetomo dan kawan-kawannya mendirikan Budi Oetomo (BO). Sebuah organisasi modern pertama kaum pribumi Hindia Belanda, yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Kelahiran BO sebagai Perhimpunan nasional Indonesia, dipelopori oleh para pemuda pelajar STOVIA, yaitu Soetomo, Gunawan, Suradji dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain. Soetomo sendiri diangkat sebagai ketuanya.

Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.

Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar Budi Oetomo diadakan di Yogyakarta 5 Okt 1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (Bupati Karanganyar) sebagai ketua; Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua; Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool), penulis; Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo (dokter di Demak) sebagai komisaris.

Soetomo setelah lulus dari STOVIA tahun 1911. Kemudian bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam Sumatera Timur, dan akhirnya ke Malang. Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah Magetan.

Ia banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara lain, ia semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat membantu mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan adakalanya pasien dibebaskan dari pembayaran.

Kemudian ia memperoleh kesempatan memperdalam pengetahuan di negeri Belanda pada tahun 1919. Sekembali di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada Budi Oetomo. Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, ia ikut giat mengusahakan agar Budi Oetomo bergerak di bidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.

Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang pesat.

Sementara itu, tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Lalu Januari 1934, dibentuk Komisi BO-PBI, yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus-besarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres peresmian fusi dan juga merupakan kongres terakhir BO, melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA, berlangsung 24-26 Des 1935. Soetomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Soetomo juga aktif di bidang kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Salah satu majalah yang didirikannya dan masih eksis sampai saat ini adalah Panjebar Semangat. Dalam usia 50 tahun, ia meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.

***

Referensi: Biografi Tokoh.

 

Facebook Comments Box

Pos terkait