Galon Air Mineral Eksistensial

Mengganti galon air minneral. Foto: Liputan6.

SEPUTARGK.ID – “Pak, galon!” Meski terdengar tak jelas, namun kode itu berarti air mineral dalam galon di dispenser telah habis. Itu berarti istri menyuruhku untuk mengangkat galon baru, mengganti yang telah kosong. Tanpa babibu, kuanggukkan kepala. Kode ini kutindaklanjuti tanpa tunda.

Kami tak bisa dibilang sangat suka minum air mineral, tapi boleh dibilang mencintainya. Gini, sebagai gambarannya, begitu mata melek pada pagi hari, langsung kutenggak air dua gelas besar dengan ukuran sekitar 300 ml. Air itu kuglogok hampir tanpa jeda. Baru setelahnya, kurebus air mineral secangkir untuk menyeduh kopi hitam dan menikmatinya sambil WA-nan.

Bacaan Lainnya

Tapi, tak lama setelahnya ya akan terasa kebelet pipis yang sulit ditahan. So harus segera ke toilet. Bisa mengeluarkan air seni pada pagi hari itu sangat melegakan. Seperti menguras aquarium kotor, lalu bisa melihat ikan hias berenang di balik kaca, sangat bening. “Ini antisipasi biar ndak ada batu ginjal!” Tak bosan kusampaikan begitu kepada anak istri sambil merayu supaya mereka mengikuti kebiasaanku.

Air di Negeri Kahyangan memang mengandung kapur yang tinggi. Terus terang, untuk minum kami tak t’laten merebus dan menyaringnya dengan beberapa tahap penyaringan. Tentu ini hanya berlaku di rumah, bukan saat bertamu dan jajan di warung.

Hampir sepuluh tahun kebiasaan itu terjaga. Namun kebiasaan itu ada repotnya. Misalnya saat pagi melakukan aktivitas ke luar atau pas perjalanan ke Jogja. Terpaksa harus jeda mampir ke POM atau toilet umum untuk menguras tampungan bak awak. Kadang kupaksa tahan, namun resikonya jadi sangat kebelet sampai merem-melek di tempat tujuan. Mana tahaann.

Meski air mineral merk Aq*a kami konsumsi hanya untuk minum saja namun terasa boros juga. Rata-rata segalon setidaknya untuk seminggu sekali.

Eh, kata-kata pendek “Pak, galon!” itu diam-diam terasa asyik juga lho. Setiap kata-kata itu terdengar, kuangkat galon air mineral sambil menikmati pengukuhan eksistensial. Ini lho, aku si suami yang bisa mengganti galon… hehe. Rasanya “diuwongke“, dianggap ada dan diperhitungkan keberadaannya.

*

Bulan Januari ini cukup banyak peristiwa banjir. Ini mengingatkan kembali relasi manusia dengan alam. Keberadaannya terasa bak kata-kata “Pak, galon!” Seperti seorang suami yang seminggu sekali mengangkat galon air mineral yang eksistensial.

Sebatang pohon pun begitu. Ia perlu “diuwongke“. Diposisikan menjadi subjek aktif, yang jika tak ditebang sembarangan ia ada dan akan menjinakkan air dengan mahir.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait