GubuG

Gubug Gedhe Ngalang. | Swara/Wg.
Gubug Gedhe, Ngalang. | Swara/Wg.

Ting calerek aneng gubug, agonjeng tali sesawi, peksi keh samya tateban, bondhol gulathik prit peking, sinurakan kukuk giak, neng ranggon pating jarelih.
[Kinanthi, Centhini]

Manusia, sebagai organisme (bukan maksud saya merendahkan kualitas-kompleks manusia dengan konotasi, ih, ‘organisme’!, apalagi mikro-organisme, meskipun manusia berada di dalam kategorinya, manusia memiliki ciri yang sama dengannya; namun lebih sebagai kumpulan organon, organ, yang memiliki sifat hidup), yang hakikatnya merupakan sebentuk organ untuk hidup(dengan memukul-mukulkan dan menggerak-gerakkan organnya), akan selalu berusaha agar dirinya bertahan hidup: melestarikan hidupnya.

Bacaan Lainnya

(Agar bertahan hidup) Manusia membutuhkan tempat naung. Bernaung. Tempat singgah ketika hidup. Persementaraan. Yang sementara, hakikat hidup: kembali bergerak.

Pernyataan alegoris (pasemon, perumpamaan) manusia yang mengatakan tempat naung (huni) dalam arti rumah (pohon, gunung, goa, laut, atau bangunan rumah) sebagai gubug (Indonesia: gubuk) adalah cara agar manusia selalu ingat bahwa hidupnya memang terlidungi dalam kesementaraan. Tempat naung sementara yang dinamai gubug. Di dalam gerak yang lebih lama-panjang yang disebut gerak-hidup. “Inilah gubug saya!” begini sering terdengar. Dan personifikasipun merupakan alat untuk menjaga kehidupan yang bersembunyi di dalam yang dianggap benda: menghidupkan yang dianggap mati.

Gubug, jika dilihat tipologinya, adalah pusat. Memusat. /g/ /u/ /b/ /u/ /g/ tak lain adalah tipogram, atau ambigram, yang dirinya menggambarkan siklus: gerak – henti – gerak. Gubug merupakan pusat naung (payung), tempat merapat, tempat henti, tempat beku, tempat diam, terminal, tempat lindung, yang di sekelilingnya penuh dengan gerak. Manuk-manuk. Hama pengganggu. Sinar matahari. Hujan langit. Gerak dalam rangka mendukung hidup manusia. Saat ketika dan tempat dimana manusia menjaga agar sesuatu tetap hidup demi keberlangsungan hidupnya. Maka, gerak manusia, yang berada di pinggir gubug-gubug (plasma) bukanlah kematian, namun kehidupan.

Manusia mencipta wong-wongan (tiruan manusia), agar tanamannya tak lekas mati.

Gubug di Ladang Pertanian, Saptosari. | Swara/Wg.

Tanah yang mati (berbatu, tandus, gersang) ditanami oleh manusia, dengan tetumbuhan. Tanah-mati tumbuh menjadi tanah-tumbuh. Tanah hidup. Tanah yang mati, dipersonkan sebagai yang tumbuh, sebagai gerak (proses), sebagai kehidupan. Tetumbuhan yang berhasil hidup di atas tanah-hidup yang tadinya dianggap mati kemudian dinaungkan di gubug (payung), agar terlindungi dari panas-hujan, sebelum sebentar nanti dibawa pulang (‘wangsul’) ke gubug yang lebih kompleks lagi: rumah.

Manusia mendirikan sebuah gubug (payung-keluarga) yang disebut rumah (tiruan tempat tinggal manusia di atas alam yang berupa ‘song’, goa, lorong, lubang, dst.; biasanya menggunakan unsur kekayuan atau pepohonan; taru). Rumah adalah tempat singgah, merapat, berkumpul, bertemu, dengan apa yang manusia konsepsikan sebagai bagian dari bangunan rumah. Di tengah-tengah mereka bekerja, berkarya. Di sela-sela rumah manusia mendirikan cakruk, brak, yaitu tempat berkumpul bagi sosialita kampung di tengah gerak mereka menghidupi keluarga di rumahnya masing-masing. Rumah pun, termasuk cakruk, tempat henti, tempat sosialisasi, sebelum manusia bekerja kembali. Di sawah, tegalan. Subur. Tandus. Hasil dari tetumbuhan yang berhasil hidup di tanah ‘mati’ (selain sebagai asupan nutrisi-kehidupan manusia), akan kembali digerakkan menjadi benih. Biji. Biji berkembang. Tumbuh subur.

Panen raya.

Beras, kacang, kedelai, yang berkembang beranak-pinak merupakan bukti bahwa manusia (sebagai organ, alat) mampu menggerakkan kehidupan. Bahkan mengalih ubah kehidupan: mati-hidup. Karena ingat bahwa tempat naung manusia yang sesungguhnya adalah Pangeran, Yang Maha Gubug, maka manusia menciptakan ritual persembahan. Upacara suci. Rasulan. Di sebuah gubuk (payung) suci. Besar. Di dalamnya tersimpun laku: gerak kembali. Manusia kembali kepada spiritualitas awali. Manusia ‘wangsul’ (pulang) ke rumahnya membawa hasil bumi beras dsb. itu.

Makam: Persinggahan terakhir raga manusia diberi naungan serupa gubug/tarub, Ngawen. | Swara/Wg.

Jika sisa, hasil tumbuh-kembang tanaman dibawa ke sebuah gubug pula, tempat pertemuan manusia bertukar benda. Benda hidup, karena untuk menghidupi. Bersaksi bahwa sisa tetumbuhan yang digidupkan dapat pula melanggengkan hidup. Dengan bertransaksi. Di gubug (payung) yang disebut pasar. Pasar adalah gubug yang sementara waktu digunakan sebagai tempat bertemu, bersaksi, ber-trans-saksi, untuk kemudian mereka bergerak lagi. Atau kembali.

Yang hidup dari tanah, yang hidup dari yang mati, toh akan kembali. Ke asal muasalnya. Yaitu bentuk awal gubug dalam presentasi kehadirannya di alam ini sebagai song, goa, lorong, di atas tadi. Manusia, dalam gerak kembalinya, mendirikan sebuah ‘organon’, atau ‘organ’, yang bermakna ‘alat gerak’, ‘alat hidup’, sekaligus si gerak atau si hidup itu sendiri, yang tampaknya masih bergerak tiada henti; yang untuk sementara tinggal di sebuah gubug kecil bernama rumah-kuburan, sebagai tiruannya. Sebuah payung perlindungan.

Karena manusia, dalam kategorinya sebagai organisme, bersifat hidup. Bergerak. Di setiap tempat dimana manusia merasa perlu untuk ‘mengambil-nafas’, untuk henti, untuk jeda, untuk berkumpul-bersosialita, untuk melestarikan hidupnya, sebelum gerak kembali yang berikutnya, mereka akan membangun replika sebuah song, payung, atau goa. Tak lain sebuah ‘lumbung’. Pondokan. Sebuah mandala.

Bernama /g/ /u/ /b/ /u/ /g/.

[WG]

Facebook Comments Box

Pos terkait