Guwa-Wisata

Guwa Gebangtinatar, Panggang. Swara/WG
Guwa Gebangtinatar, Panggang. Swara/WG

Ngrasani Gunungkidul tanpa membicarakan struktur permukaaan dan struktur-dalam tubuhnya (titik pertemuan keduanya disebut kooordinat diagonal; ordinat langit) tentu menjadi kurang lengkap. Dikotomi permukaan (dunia-tengah; berwarna merah; rah atau darah) dan kedalaman (dunia-bawah; berwarna hitam; gelap) biasanya dilengkapi dengan unsur ketiga sebagai pusat perjumpaannya yang mendukung trikotomi: tawang (dunia-atas; berwarna putih; cahaya). Tubuh Gunungkidul, selaras dengan kategori organ-luar dan organ-dalam yang telah begitu akrab digunakan di wilayah anatomi, adalah tubuh (s)wanitta, tubuh wanita yang murni, yang perawan (rara), yang dengan ‘berdarmawisata’ di atasnya kulawangsa Gunungkidul niscaya akan menemukan unsur-unsur ‘kelangitan’.

Kosmos-Gunungkidul (jagad-gedhe) kembar-identik-berpasangan dengan kosmos manusia Gunungkidul (jagad-cilik). Geo-morfologi alam dan fisiologi alam paradigmatik dengan anatomi dan fisiologi tubuh manusia. Tubuh manusia terdiri dari organ dalam dan organ luar. Paradigma yang berkenaan dengan hal ini berada pada titik-titik perjumpaan ruang material-batin yang disebut: ardi atau redi atau arga (gunung), tlaga (cekungan atau lekuk atau lembah tampungan air), netra atau mata (sumber air, banyusoca), wulu atau rikma (alas, utan, tegalan, sawah), nadhi (kali/sungai, sungai bawah-permukaan, pembuluh nadi/arteri), song (mulut rahim, vulva), dan guwa-garba (rahim, goa).

Bacaan Lainnya

Swanitta (baca: kemurnian, kesucian, keperawanan) Gunungkidul menyembunyikan banyak guwa-guwa; berpasangan saling melengkapi dengan sembul gunung-gunung (seribu).

Karena organ tubuh manusia dapat digunakan untuk mengindera dan mengomunikasikan diri dengan alam dan unsur-unsurnya, maka organ tubuh Gunungkidul (geomorfologi dan fisiologi alam Gunungkidul) adalah organologi pula. Karena pada dasarnya semua organ tubuh manusia adalah paralambang aksara (Aksara Jawa; misal: dhada adalah aksara dha, tangan adalah aksara ca, kaki adalah suku, dll.) yang menggambarkan dunia-kecil (jagad-cilik) dan dunia-besar (jagad-ageng), maka geomorfologi Gunungkidul adalah sumber ilmu pengetahuan (aksara) pula. Gunung, telaga, mata-air, utan, alas-tegalan-sawah, wreksa, kali, song, guwa, dan lain sebagainya adalah aksara. Kesalingterikatan dan kesatuan suatu kulawangsa dengan aksara (justru label masyarakat praliteral bukan bermakna ‘masyarakat yang belum literal’, namun ‘masyarakat literal-awal’) merupakan palemahan (dasar) ilmu pengetahuannya.

Pengetahuan tradisional Jawa mengatakan bahwa guwa atau guhwa adalah babahan atau growongan (lubang) alam. Para manusia suci melakukan gerak tapa-brata di guwa. Mereka berpuasa dari hiruk-pikuk dunia-ramai di guwa. Guwa, dengan demikian, adalah tempat berpuasa bagi manusia. Berpuasa, yaitu suatu tipe tapa-brata, dilakukan dengan nutup babahan hawa sanga; menutup lubang nafsu yang  sembilan, yaitu didahului dengan aksi memadamkan api yang berkobar dan ‘selibat’ dengan kebahagiaan inderawi ragawi. Laku puasa memusat pada banyu suci perwita sari (‘ainul hayat, elixir of life), air suci kehidupan. Puasa dalam ajaran agama-agama, meskipun dalam kadar tertentu, tak lain tak bukan adalah tarak-brata, samadi, meditasi, atau yoga. Laku puasa dilakukan dengan cara mangsul (baca: membalik) hasrat manusia atas keindahan fisiologi dan geo-morfologi bumi (tanah) beserta hal-hal yang memanjakan indera yang tumbuh di atasnya (hayu, elok), seperti menikmati keindahan guwa digiring kepada kondisi nir-hasrat, dilanjutkan meredam geni (api, keinginan), serta mengolah bayu (pernafasan, kesadaran).

Meper hawa lan nepsu dalam puasa adalah mangsulake (baca: membalik) hasil pemanjaan hasrat manusia (pos)modern terhadap ‘keindahan’ organ tubuh alam dan organ tubuh manusia, yang begitu kemaruk dan kadreng untuk menguasai kemudian mengeksploitasinya. Meper dan angon hawa lan nepsu di ‘guwa-guwa’ paradoks dengan ngumbar hawa dan nepsu. Manusia yang menyimpan dan memenuhi hawa nafsu disimbolkan dengan kelaki-lakian yang melakukan gerak phallus. Dua-duanya, yang meper dan yang ngumbar, hendak menggapai puncak kenikmatan. Sejarah, cerita, dan fenomena guwa-guwa di Gunungkidul sejak jaman adam (jaman purwa) hingga jaman kini sebenarnya mewartakan paradoksi ini. Guwa adalah paralambang tempat kesenyapan sekaligus keriuhan ‘peperangan’. Guwa adalah tempat penarikan diri (kepulangan) sekaligus pelepasan diri (kepergian; mungkin juga kematian bagi para korban kekacauan politik ‘65).

Guwa adalah kegelapan sekaligus kecerahan.

Facebook Comments Box

Pos terkait