Handuk Merah

Menemani ibu mertua, menikmati masa lansia bahagia. Foto: Ninik.

Sudah lima hari ini aku berlibur dan menemani ibu mertuaku yang letak rumahnya tidak jauh dari tebing breksi yang terkenal itu. Aku biasa memanggilnya “Bupuh”, singkatan dari Ibu Sepuh. Sedangkan anak-anak dan suamiku sudah kembali ke Gunungkidul tiga hari yang lalu.

Bupuh yang seorang warakawuri ini, terbiasa hidup disiplin dan selalu rapi. Setiap bangun tidur, ia selalu merapikan tempat tidurnya dengan cekatan. Tangannya tak segan membereskan barang-barang yang menurutnya tidak pada tempatnya.

Bacaan Lainnya

“Puh, pirsa anduk abrit?” Aku bertanya sambil lingak-linguk. Di dalam kamar mandi tidak ada. Kulongok di jemuran samping dan depan rumah juga tak terlihat. Pagi tadi aku “sampirke” disini, dahiku berkernyit menatap besi melintang itu.

“Ora ki, embuh, ya,” jawabannya ringan.

Aku tak kehabisan akal, aku masuk ke kamarnya. Ternyata anduk merah sudah terlipat rapi di keranjang pakaiannya. Segera kuambil dan kutenteng.

” Niki lho, Puh, anduke” aku tersenyum santai.

Di depan Bupuh kita harus selalu tersenyum dan santai. Karena ia akan merespon setiap ekspresi kita dengan cepat. Jika kita santun, ia pun lebih santun dari pada kita. Bahkan tak jarang ia akan memanggil kita “mbak atau mbakyu”.

Namun sebaliknya jika kita berkata sedikit “sengol” sambil bersungut-sungut, wow….. ceritanya akan lain.

“O, kui andukmu to?” Ia menatap sambil nyruput teh anget buatanku.

“Enggih, puh,” Andukpun kubentangkan di hadapannya, sambil bergegas ke kamar mandi karena matahari hampir tergelincir.

Tak urung saat melewati pintu dapur, kakiku tertahan saat melihat “wadah” tutup gelas yang berada di samping kulkas. Ada sebuah benda yang tak asing bagiku. Terlipat rapi di antara tutup tutup gelas. Aku segera mendekatinya.

“Alhamdulillah, ini kan dalaman jilbabku yang dulu aku cari-cari, sampai pusing,” batinku.

Padahal aku ingat betul, ia kuletakkan di dalam ‘kamar pesolatan’ tak jauh dari mukena. Yang belum sempat aku bereskan, keburu ke kamar kecil.

Ternyata Bupuh yang membereskannya. Aku kembali tersenyum, tanganku segera meraihnya kubawa dan ku cuci sekalian.

Sehabis mandi aku berganti pakaian hendak ke warung. Lagi lagi aku kebingungan mencari switer merahku. Aku keluar kamar. “Oh….bajuku sedang dicoba Bupuh”. Lagi lagi aku hanya tersenyum.

Dalam urusan sholat pun, Bupuh sering berkata, “Aku baru libur, haid.”

“Masa? Bupuh kan sudah menopause?” Sanggahku tak percaya. Tapi saat aku mencuci pakaian dalamnya memang ada flek kemerahan. Mulai saat itu aku tak berani membujuknya lagi.

Sekarang metodeku kuubah. Aku segera ambil wudhu dan shalat setelah adzan berkumandang lalu duduk lama untuk berdzikir. Dengan demikian Bupuh penasaran hingga sering membuka dan menutup kamar pesolatan, melihatku mengenakan mukena duduk tafakur. Tak lama kemudian pasti Bupuh segera berwudhu dan mengenakan mukenanya. Allahu Akbar!

Berhadapan dengan Bupuh, aku merasa seperti dalam “hukum energi”. Bahwa energi yang kita terima sebanding dengan energi yang kau berikan. Ibarat kita melempar benda dan memantul mengenai diri kita sendiri.

Di sinilah letak kebahagiaan itu. Karena merawat orang tua merupakan salah satu usaha merawat terumbu karang rezjeki kita.

Robbi a’uudzubika minal kasali wa suu-il kibar. Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan pada hari tua.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait