Hemereng, Dari Panggung Teater Untuk Para Pemulung Di TPST Piyungan

teater
Aktor teater Hamereng dengan menjalani sesi latihan.

YOGYA,– Mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan beberapa seniman muda yang tergabung dalam Behing Project akan menggelar sebuah pertunjukan Teater bertajuk Hemereng guna merespon isu darurat sampah di Yogyakarta, Sabtu, 04 Mei 2024 mendatang di Taman Budaya Yogyakarta.

Pementasan teater ini disutradarai oleh Bramanti Fauzal Nasution dan Herry Making. Hemereng dibawakan dalam bentuk pertunjukan teaterneksperimental. Ada tahapan-tahapan yang dibangun di dalam perjalanan penciptaan pertunjukan ini yaitu observasi, eksplorasi, dan juga refleksi.

Producer Behing Project, Adelaida Mawong melalui release tertulis menyampaikan, pementasan ini bisa menjadi salah satu cara berbagi dalam menjaga kelestarian lingkungan. Pertunjukan ini tidak hanya menjadi wadah kreativitas yang menghasilkan sebuah karya seni, melainkan juga merupakan sebuah panggung reflektif yang mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari krisis sampah yang sedang berlangsung.

“Hemereng merupakan pertunjukan yang bertujuan menjadi jembatan komunikasi yang kuat dalam memfasilitasi penyampaian keresahan masyarakat mengenai dampak persoalan sampah serta membangun kesadaran masyarakat terkhusus generasi muda mengenai upaya nyata akan penanggulangan permasalah sampah yang ada,” kata Adelaida, Minggu (7/4/2024).

Lanjutnya, dalam proses penciptaan pertunjukan ini, pihaknya tidak hanya terinspirasi oleh masalah lingkungan, tetapi juga ingin menyampaikan pesan tentang dampak sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat, termasuk pemulung yang berada di TPS Piyungan yang baru saja ditutup pada bulan April lantaran kuota sampah masuk yang melebihi batas.

“Kami berharap pertunjukan ini dapat membuka mata masyarakat akan pentingnya penanganan sampah yang bertanggung jawab, tidak hanya untuk lingkungan, tetapi juga untuk keberlangsungan ekonomi lokal,” ungkap Adelaida Mawong, Producer Behing Project.

Emanuel de’Vester Wruin, penulis “Hemereng”, dalam naskahnya menekankan bahwasannya pertunjukan ini bukan sekadar sebuah medium seni belaka, melainkan sebuah panggung reflektif yang memperlihatkan peristiwa ekologis yang terjadi di Piyungan dengan penggambaran yang mendalam.

Melalui narasi yang kaya, “Hemereng” berupaya menggambarkan kompleksitas moral dan ekonomi yang terkandung dalam masalah sampah di Yogyakarta. Tempat penampungan akhir bukan hanya sekadar lokasi pembuangan sampah, tetapi juga panggung dramatis bagi perasaan terbuang, terabaikan, dan terlupakan dengan mengeksplorasi dimensi alam dan waktu yang tak terbantahkan. Menyoroti bahwa sampah bukan sekadar bahan pembuangan, tetapi juga menjadi cermin dari krisis kesadaran dan tanggung jawab lingkungan.

Pertunjukan ini merupakan representasi dari peristiwa ekologis yang terjadi di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu di Piyungan yaitu Lindi, yang mencemari sumur dan sawah milik warga.

Peristiwa ini seakan menjadi gong peringatan bagi kita semua untuk meningkatkan kesadaran tentang cara pengelolaan sampah yang baik dan benar, dengan tujuan memperkuat kesadaran masyarakat akan pentingnya penanganan sampah yang bertanggung jawab serta dampaknya terhadap lingkungan.

“Hemereng” menghadirkan gambaran yang jelas tentang pentingnya perlunya perubahan perilaku masyarakat terkait penanganan sampah. Para penonton diundang untuk tidak hanya menyaksikan pertunjukan ini, tetapi juga untuk terlibat dalam diskusi dan refleksi tentang langkah-langkah yang dapat diambil secara individu maupun kolektif untuk mengatasi masalah sampah di Yogyakarta.

Pertunjukan ini diharapkan dapat menjadi pemicu untuk tindakan nyata dalam upaya menjaga kebersihan lingkungan dan keberlanjutan.

Rasyidin Wig Maroe, Dosen Program Studi Teater di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh dan Seniman Teater Aceh yang sedang mengejar gelar doktoral di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, telah mengulas konsep visual Pertunjukan Teater “Hemereng”.

Dalam ulasannya, Rasyidin menggambarkan bagaimana gagasan yang diusulkan oleh Behing Project memiliki potensi untuk menciptakan sebuah budaya adaptif yang berdampak pada kolaborasi antara para praktisi seni, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dan alumni yang memiliki dedikasi terhadap perubahan sosial melalui seni.

Adapun hasil dari penjualan tiket ini akan didonasikan kepada para pekerja yang tergabung dalam komunitas pemulung di TPS Piyungan, Yogyakarta.

Facebook Comments Box

Pos terkait