Ideologi Pancasila

Gotong royong dandan omah di perdesaan Gunungkidul. Foto: Iwan.

“Omahku dilucakkk!!”

Sambil nangis, Chesa, anak dua tahunan itu menjerit melihat rumah kakungnya Mbah Gito, porak-poranda. Ia digendong Mbah Putrinya dan menunjuk-nunjuk rumah yang tanpa genteng lagi. Wajahnya muram dan air matanya deras mengalir di pipi.

Bacaan Lainnya

Kami sontak tertawa. Sambil ngemplok jangan lombok dan endhog segitiga, kami malah menirukan ucapnya, “Omahku dilucaak!” Kami tengah break rolasan dengan nyruput teh panas dan makan menu nasi hangat, sayur lombok, telur, tempe bacem, dan krupuk, setelah ngedunke gendeng.

Orang-orang dewasa seperti kami kadang tak menyadari bahwa maksud baik yang dilakukan bisa ditangkap bocah dengan bertolak-belakang. Kami sedang membantu simbah-nya menjalankan program bedah rumah di negeri Kahyangan, eh dikira penjahat yang datang di rumah eyangnya.

Hari Minggu ini, aku tak sedang omong tentang kasih sayang sesama atau ideologi Pancasila. Aku sedang menerapkan slogan “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, jam 12 sikat nasi sebakul.” Aku sedang ulung-ulungan genteng dengan Pak Haji Jupri sambil cerita hal-hal lucu pada saat gempa Jogja, nyenggol-nyenggol pilkada, ber-hahahihi lalu manatanya kembali.

Kurasa, kami sedang menunjukkan praktik ideologi pancasila, menunjukkan perbuatan nan mulia untuk kemajuan agama, bangsa, negara, dan kemajuan peradaban dunia.

Byungalahhhh. Namun, Dik Chesa mengira kami menjadi perusak rumahnya… Hihihi.

Facebook Comments Box

Pos terkait