Ikêt dan Udhêng

Udheng Gilig pada Paraga Reyog Gagrak Gunungkidul. Swara/WG.
Udheng Gilig pada Paraga Reyog Gagrak Gunungkidul. Swara/WG.

Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Bait-al-makmur, iku omah enggoning parameyaningsun, jumeneng ana sirahing Adam, kang ana ing sajroning sirah iku dimak, kang ana ing antaraning utek iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun.
[Wirit Hidayat Jati, Ranggawarsita]

Ngiket-iketi dhengkul: saya (kali ini) mengawinkan istilah iket dan udheng (iket dan udheng saya golongkan satu kulawarga) untuk melingkupi pembicaraan, meskipun, udheng sebenarnya memiliki cakupan makna yang lebih universal; lebih melingkupi, dibanding penamaan iket (dhestar) atau penali/penutup kepala yang dimiliki oleh (hampir) semua wangsa di Bumi, seperti: topi, kethu, kupluk, surban, blangkon, dan sebagainya. Iket, dalam benak saya, yang saya tempatkan sebagai pars pro toto (bagian atas totem; kumpulan totem merupakan benda ‘tabu’ kolektif, termasuk di dalamnya benda-benda harian-sakral yang amat lekat dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat seperti caping-gunung bagi para among-tani di Gunungkidul) atas udheng, lebih bermakna sesuatu yang religius (religi: ikatan bersama), karena berkembang dari Lingga (sebutan untuk Kulawangsa Purwa Jawa, juga bermakna ‘dasaran atau kata-dasar yang telah bermakna’, juga berarti ‘tubuh/diri manusia sejajar dengan kayu/pohon’) bernama nalar yang diikat oleh gerak, untuk tak mengatakan hibridasi, oleh seorang tokoh purwa yang dianggap telah mudheng makna kehidupan.

Bacaan Lainnya

Nalar yang lebih purwa (nglegena, ngliga) diikat oleh nalar yang hadir di masa berikutnya (pasangan), diikat dengan pernik-pernik pakaian kompleks (sandhangan): membuat ikatan budaya. Melahirkan budi.

Salah satu tokoh reyog gagrak Gunungkidulan menggunakan ikat kepala bernama udheng-gilig, dan di bawah udheng-gilig, kepala sang tokoh telah tertutupi iket (blangkon) sebagai dasaran. Iket berhubungan dengan kerja ngiket, mengikat, melingkar-lingkarkan sesuatu (tali, kain) di gathul atau dhengkul atau klebut/plonco manusia (kapala, sirah, endhas, mustaka) yang memiliki makna referensial: intelektual (akal), nalar, budi, atau suksma dibanding makna bendawi harian seperti gathul, dhengkul, dan klebut/plonco sesungguhnya, meskipun iket bisa digunakan untuk menggambarkan ketajaman intelektual dan rahsa setara dengan ketajaman gathul para petani Gunungkidul dan ketajaman pedang para ksatria reyog untuk berperang, atau ketumpulan nalar sepadan dengan tumpulnya dhengkul dan klebut/plonco. Sementara itu gilig merupakan paralambang kelaki-lakian; kekuatan. Para tokoh yang berudheng berperang. Para tokoh kalah. Para tokoh menang.

Laku para punggawa reyog yang mengenakan udheng-gilig dan didukung prajuritnya adalah laku untuk mencoba memahami bahasa alam (aksara), dengan berperang, agar sampyuh, agar bersatu, agar mudheng. Mudheng tentang dirinya sendiri.

Mudheng, konon, mendasari cara berfikir Aji Saka ketika melakukan gerak kolonisasi ke/di Jawa dengan ‘menstilisasikan’ cara berfikir Raja Jawa (Mendangkamulan) pada Kala itu: Dewata Cengkar. Aji Saka, yang saya maknai “sang raja yang meletakkan dasar yang ‘ada’, atau dasar ke-1”, yaitu tahun Saka, tahun ‘ada’, neneka di Jawa  yang wuda nglegena) untuk membuat ikatan sandhangan-sandhangan. Dewata Cengkar di beberapa narasi dirujukkan pada Semar, atau para Dhahyang yang lebih purwa tinggal di Jawa (angeJawa), atau para raja yang lebih purwa berkuasa di Jawa, yang saya rujukkan dengan numeralia 0. 0 (nol) adalah pola dasar ikatan. Seket (50), paralambang crooscircle, {sa-} + {iket}, satu ikatan, adalah bentuk keblat papat lima pancer yang membentuk pola lingkaran dan salib (mandala). Maka, pusat budi manusia akan lahir jika diikat (melalui proses ikatan) dengan yang sakral. Nol, dalam semesta bilangan-bilangan, memiliki sifat kesakralan. Nol adalah pengikat bilangan-bilangan kepada ketiadaan, kepada suwung, kepada linglung, dalam nalar posmo disebut nihilisme, yaitu nihil yang lazim diartikan tanpa nilai, namun sesungguhnya tetap memiliki aji (nilai). Kombinasi para bilangan (yang ada) dengan nol melahirkan bentuk salib-mandala (sama dengan bentuk carakan Jawa yang memiliki pasangan abadi dan dikelilingi sandhangan. Bentuk penyatuan salib-mandala antara berbagai macam budaya Hindu, Budha, Islam, Kristen-Katholik, dsb. di bumi Nusantara lah yang ngiket (mengikat) nalar berfikir kulawangsanya: sebagai titik awal rahsa; kemurnian pengetahuan (sattwa).

Bentuk ini menggambarkan penyatuan dalam Carakan Jawa antara: yang lebih purwa ada (purwapada) dengan yang datang berikutnya (madyapada) atau yang datang belakangan (wasanapada), yang ‘menang’ dengan yang ‘kalah’, yang ‘hidup’ (aksara suara A, I, O, Re) dengan yang ‘mati’ (aksara pasangan dan pangkon), yang ‘beradab’ dengan yang dianggap ‘belum-beradab’, yang menegakkan peradaban (adeg-adeg atau pada). Carakan Jawa juga menggambarkan proses menjadinya manusia, seperti: suara A (angka 4 dan aksara sa) adalah kosmologi benih manusia yang terdiri 4 unsur, yaitu api, bumi, angin, dan air; suara I (aksara Ba dicereg) adalah paratanda menjadinya manusia; suara O (aksara Wa dipasangi Da) adalah paratanda ilmu yang weda, ‘terlihat’. Dewata Cengkar sebagai yang lebih purwa ada di Jawa dan dipasangkan dengan Aji-Saka (dihilangkan/dinihilkan suaranya: dimatikan) diminta untuk mbedhek berapa panjang lilitan udheng-nya Aji Saka. Saking tergelar panjang, Dewata Cengkar tatkala mengukur udheng semakin menjauh, tercebur ke perairan luas: Samodra Indu(ng) atau Samudera Selatan. Ia mendapat sebutan Jaka Linglung, menjelma Buaya.

Kondisi dikorbankan, dilarung, serta ditepikan (dinihilkan) seperti yang terjadi pada tokoh Dewata Cengkar dan aksi mengisi, menali, mengonstruksi, serta membuat saka/dasar seperti yang dilakukan tokoh Aji Saka (kode dewata adalah metafor makhluk ‘langit’, juga penyebutan untuk tanah/pulau Nusantara khususnya Jawa dan Bali, cengkar adalah kondisi tanah kering dan tandus, Aji adalah raja, saka adalah kaki/dasar/palemahan) adalah logika dasar penciptaan dunia (kosmogoni) dan pengisian dunia (kolonisasi) serta pembabaran ilmu pengetahuan dalam balutan ikatan-ikatan antar kulawarga (sastrajendra). Agar kulawangsa manusia memahami siapa dirinya dan bagaimana alamnya ‘harus’ diperlakukan, maka ada hal-hal yang dikorbankan (dinihilkan) dengan prosesi pengikatan. Religi (ikatan kebersamaan) kuno menggunakan banten (pengorbanan; tumpahnya darah) sebagai titik awal geraknya: roh.

Kode arkais masyarakat purwa tentang mengorbankan, melarung, dan menepikan yang lebih purwa ada/hadir/origin di suatu ruang dapat ditemukan polanya pada komodifikasi ide-ide pos-modern lewat jasa pariwisata (Gunungkidul pun sedang mengalami ini) misalnya, yang mungkin bisa dikatakan mengorbankan, melarung, dan menepikan kebebasan/nalar masyarakat pribumi, bahkan nalar bumi itu sendiri. Aji Saka meletakkan dasar filsafat kelahiran manusia merujuk pada para utusan yang saresmi (bersatu-tubuh) menggunakan piranti teknologis (yang di konteks pertanian barangkali bisa disejajarkan dengan lesung-alu, gathul-pacul, arit-bendho, dst.). Aji Saka menggunakan piranti udhengnya untuk manjing dengan Dewata Cengkar, layaknya kode-kode arkais tokoh Pandhawa dengan simbol Utan Wanamarta atau Wanapawira dengan simbol Utan Nangka Dhoyong, lantas mengonversinya menjadi dusun, desa, kota praja ‘baru’ sepaket dengan lahan garapan pertanian. Komoditas pertanian padi, kacang-kacangan, serta pala-palanan saya interpretasikan secara berulang dicontohkan oleh para tokoh mitis di berbagai jaman, sebagai paralambang untuk selalu mengikat-eratkan nalar dan hatinya dengan tanah/bumi. Komodifikasi ngiket (mengikat) bagi masyarakat sekarang (yang notabene merupakan keturunan masyarakat purwa) berupa lilitan kuat dan berulang untuk ‘menguasai’ dan ‘memiliki’ sepenuhnya terhadap suatu sumber daya tanah/bumi. Sementara masyarakat purwa (termasuk Gunungkidul) memiliki religi bahwa mereka tak bisa menentukan hasil panen, semua bergantung pada bahasa alam. Tanah Gunungkidul yang cengkar (tandus), yang sesungguhnya adalah tanah kadewatan, dikonstruksi oleh tokoh Aji Saka baru, yang membawa iket baru, hiasan kepala baru, yang menciptakan iketan baru, aksara baru, teknik ‘melek’ baru, yang dengan kekuasaan, kekuatan, dan kapitalnya hendak mengajak berdaya secara ekonomi. Mengajak kulawangsa Gunungkidul ‘melek’ ekonomi. Kenyataannya, ada bagian dari diri pertanian yang terdesak (atau terkorbankan) untuk melulu jasa pariwisata.

Ini adalah mitos posmo, mitos era kini.

Mitos adalah bahasa komunikasi. Sains (yang cenderung bersifat laki-laki) mampu ada dan mampu lahir karena bersama-sama rahim mitologi. Eropa tumbuh menjadi besar karena berpasangan dengan tanah dan orang pribumi. Juga mitos Yunani. India berkembang menjadi luar biasa karena ada tanah para dewa (Indu). Penokohan pribumi yang sangat mitis seperti Dewata Cengkar, sebagai lingga (dasar), telah direngga, dinikahi, dibunga-bungai, disandhangi, diberi ornamentasi oleh Aji Saka, melahirkan bahasa andhahan (turunan) yang kaya kode. Yaitu aksara Carakan Jawa (para utusan Jawa) dan variannya. Akhirnya, Aji Saka menjadi raja ‘pengganti’ di Mendangkamulan. Ia diceritakan sebagai peletak dasar epistemologi Jawa (Aksara Jawa), yaitu semesta pemahaman manusia yang dibungkus kupluk.

Pemahaman tentang makna kuluk atau kupluk yang diwariskan oleh leluhur Jawa lewat ‘mitos’ tampaknya juga muncul pada sandhangan-kepala yang dikenakan oleh Panji, penokohan utusan Jawa di lain masa, muncul dalam tata busana wayang, kethoprak, ataupun tari. Lydia Kieven (Jerman) misalnya, meriset figur bertopi a la candi-candi Jawa Timuran seperti di Relief Candi Panataran, sebagai hiasan kepala tokoh Panji. Figur bertopi dirujukkan ke tokoh Panji (tokoh yang cenderung dianggap ‘asli’ Nusantara, sama dengan para ‘raksasa’ seperti Dewata Cengkar dan para dhanyang seperti Semar serta stereotip panakawan lain). Tokoh-tokoh ‘Majapahitan’ yang digambarkan di Candi Sukuh dan Candi Cetha (Karanganyar) pun menggunakan kuluk. Figur-figur di candi-candi Mataraman juga demikian. Masyarakat sekarang sebagai penerus masyarakat purwa, termasuk penerus agama-agama Abrahamik, juga memiliki kupluk. Banyak para penganut Hindu, Islam, Kristen-Katholik menggunakan peci atau pecis. Artinya, kuluk atau kupluk atau peci telah menjadi bagian tak terpisahkan dari khasanah keilmuan kulawangsa purwa sebagai paralambang yang mengikat pengetahuannya, sekaligus sebagai sandhangan kepala (wulu, pepet, cecek).

Iket Ngayogyan. Swara/WG.
Iket Ngayogyan. Swara/WG.

Kuluk atau kupluk, istilah umum yang digunakan oleh masyarakat umum bagi pakaian di kepala, sejajar dengan makutha (mahkota) atau hiasan yang dikenakan oleh para penguasa atau raja. Ada mitos yang mengabarkan bahwa para leluhur sebenarnya tidak terjerat/terikat dengan simbol makutha, tetapi memilih raganya yang terjerat, menyingkirkan diri ke tepi, melepas kebesaran ndhas-ndhasannya (udheng, kupluk, mahkota) di tetanah, memelosok ke tempat-tempat sepi, menyilakan para-para yang telah dianggapnya mudheng untuk tinggal, untuk hidup: ganti menjadi raja/penguasa.

Mitologi secara acak dan semaunya sendiri (meskipun bisa jadi ini hanya kemauan saya) menghubungkan berbagai kode yang tampak di beberapa pengalaman budaya masyarakat yang digolongkan ‘berbeda’. Yang dibincang mitologi adalah pola-pola keberulangan dalam beberapa jenis realitas yang seakan-akan tiada kaitan namun memiliki kemiripan. Untuk konteks Gunungkidul saya berasumsi bahwa etimologi iket berasa lebih berelasi dengan bentuk-bentuk hubungan purwa di antara kulawangsa manusia Gunungkidul dengan suatu konsep Yang Suci (untuk mengatakan suatu ‘yang sakral’, yang mengandung nilai ketuhanan). Kemisteriusan bumi Gunungkidul terhubung dengan tokoh yang ngembani: Gadhung Mlathi. Nalar-lembut tokoh ini ditampakkan dengan corak udheng atau iket bernama iket Gadhung Mlathi. Iket Gadhung Mlathi adalah iket yang berwarna hijau-gadhung, di tengahnya jleret putih. Warna hijau, yang bisa diidentikkan dengan hutan dan samudera, berpasangan dengan warna putih yang cenderung identik makna kemurnian. Nalar lembut gadhung yang mlathi mengikat bumi Gunungkidul. Penepian Gadhung Mlathi menghasilkan kota Wonosari dan tanah pertanian. Di tepinya, di sisi selatan, pinggir samudera, seperti kota dengan tipe pegunungan yang lain hingga ke Panaraga, terdapat daerah yang bernama Kanigara (Saptasari, ada juga di wilayah Ponjong). Kanigara adalah tumbuhan tepi samudera, wwanagara nama bunganya. Ia, kanigara, menjadi nama corak iket atau kuluk Kanigara; iket yang di tengahnya terdapat plipisan emas bercabang. Memang, mitologi mengirimkan kode-kode kepada masyarakatnya dimana kode-kode itu jika diinterpretasikan merupakan ajakan untuk menyusuri kedalaman dan ketinggian.

Kedalaman dan ketinggian iket.

Selain itu, bagi Gunungkidul, konsep yang sakral dibalik iket berhubungan pula dengan ikatan atau lilitan tali dhadhung pada leher pelaku ngendhat tali murda (gantung diri). Sifatnya (iket itu) lebih femininum. Kebendaan dan kekriyaan yang femininum. Para Simbok atau Bapak yang nggantung-dhiri barangkali bermaksud ingin digendhong Tuhan, piranti-telangkainya lendhang/gendhong atau dhadhung. Atau, iket sepadan dengan paralambang para Simbok yang nggendhong anaknya dengan lendhang, para simbok yang ngiket kayu, pakan, dan hasil bumi lain menggunakan tetali semacam dhadhung (serabut kelapa) atau pring, lantas menggendongnya ke suatu tempat tujuan. Yang paling sering: pulang. Parawacana leluhur tentang iket (kuluk, topi, dll) berdasar pada nalar bahwa hal-hal yang bersifat keperempuanan memang ngiket (menali, membungkus, melingkari, mengelilingi) hal-hal yang bersifat kelaki-lakian seperti endhas dan atau nalar (intelektualitas), termasuk juga perkembangan budaya kulawarga manusia. Nalar atau endhas sangat laki-laki (plonco), biasanya digunakan untuk menjelajah kegaiban alam tak bertepi (udheng hitam) yang amat femininum, menjelma berbagai teknologi serta produk budaya lain. Udheng-hitam, sejajar dengan sabuk-hitam di tangga ilmu beladiri, adalah simbol kemisteriusan Bumi (tala, bantala) sekaligus kemisteriusan luar angkasa (suwung, dark-matter) tak hingga; level tertinggi.

Oleh karena itu, pakaian para wanita tak menggunakan iket (penutup-penali kepala). Sandhangan wanita: klambi, tapih, dan lendhang. Sementara lelaki: iket, klambi, dan bebed. Tafsir saya, karena wanita adalah hakekat (se)lendhang. Tubuh wanita (Jawa) adalah gendhong. Wanita membungkus laki-laki ber-iket dengan ikatan lendhangnya: lendhang (baca: sayapnya Nawang Wulan) yang mengikat tarub (baca: rumahnya Jaka Tarub) kulawangsa manusia.

Tarub/rumah adalah replika manusia, manusia adalah replika rancang-bangun Tuhan. Manusia memakai sandhangan iket/kupluk. Rumah pun memakai iket (kupluk). Rumah berpenutup kepala: wuwungan yang dikerpus, wuwungan yang dilepa. Ini ibarat wong gunung yang memakai caping-gunung di kepalanya. Kepala sebuah omah terdiri dari ikatan reng usuk, ikatan ini membelit kepala omah pada lambang. Bagian kepala omah yang ditutupi merupakan paralambang bahwa omah memiliki nalar di dalamnya: endhas-endhasan, sirah-sirahan. Omah memiliki bagian yang paling tinggi (panunggul). Sirah, bagi orang Jawa (dan bagi kulawangsa manusia secara universal), adalah aji-aji, adalah aji (raja). Di dalamnya terdapat pasuhunan atau panyuwunan atau panuwunan, juga palambangan (tempat usuk mengait) yang ditutupi. Segala yang bermakna aji, ditujukan pada Sangaji (Raja Diraja, Tuhan) sesungguhnya.

Nalar menali atau membungkus ndhas-ndhasan manusia (konsep K3 dengan memakai helm pengaman) yang memiliki aji mungkin juga berhubungan dengan ritus purwa yang disebut pagas: memotong, membuang, menyingkirkan anggota tubuh yang bersifat menghalangi. Wong-supit, wong pagas, ndhas-ndhasannya, setelah dipotong kulitnya, diikat dengan (mungkin saya terlalu mengada-ada, terlalu nggathuk-nggathukke) perban. Perban, tentu dengan ‘obat’ atau mineral atau vitamin dsb. yang selalu menyertainya, merupakan tali kesembuhan. Pemasangan perban demi kelahiran kembali sel-sel rusak akibat luka. Pengorbanan daging/darah manusia (diwakili kulit pada palanangan yang terpagas) lewat ritus pagas dibutuhkan untuk menyongsong kelahiran baru yang diharapkan lebih fresh. Yang setelah lahir ngliga-nglegena tampak kediriannya seperti Carakan Jawa. Dalam dimensi keseharian manusia yang rasanya lebih profan, karena lebih sering dilakukan, mungkin ini bisa disejajarkan dengan ritus potong rikma (rambut) manusia, yaitu mewujudkan kehadiran manusia yang plonthos, yang tampak jelas bentuknya sebagai lingga atau plonco.

Iket sedang Dibuat pada Mal-Sirah/Plonco/Klabut. Swara/WG.
Iket sedang Dibuat pada Mal-Sirah/Plonco/Klabut. Swara/WG.

Ya, mungkin benar, laku mengikat atau sebaliknya: ngudhari ikatan, kala luka di ndhas-ndhasan mulai mengering, itu berhubungan dengan ngembani atau ngiket atau ngudhungi plonco (gundhul) kulawangsa manusia. Ratno namanya; pekerjaannya menggunakan sebuah piranti yang berhubungan dengan ini, yang saya sejajarkan dengan piranti gathul kulawangsa tani di Gunungkidul, atau dhengkul/ndhas-ndhasan yang bersifat kethul di bentuk lahirnya, yang merupakan tiruan bentuk sirah atau kepala manusia (mal sirah), disebut plonco. Ratno memiliki beberapa plonco; tiruan ndhas manusia dari kayu dan berkaki, ia letakkan di teras rumah, ia gunakan untuk membuat iket atau dhestar atau lebih tepatnya blangkon: iket yang dicetak berbentuk blangko/cetakan, siap digunakan.

Saya sebut ia kelahiran baru (baca: kelahiran ilmu) salah satu dari para pembuat iket-blangkonalusan‘ di Gunungkidul, baik iket motif Ngayogyan ataupun Surakartan atau motif lain. Menurut tutur para wiyaga, konon di wilayah DIY terdapat dua pembuat iket-blangkon alusan yang ‘selera-yaga‘, yaitu Mbah Sosro di Clorot Semanu dan Mbah Arja di Pathen Sewon Bantul. Kemudian diikuti munculnya Pak Sugeng di Mlathi Sleman, Pak Nardi di Bugisan Patangpuluhan, Mas Dadi di Demak Ijo Nagatirta, Pak Rohmad di Pandak Bantul, Mas Badawi di Mbangunjiwa Kasihan Bantul, dan sebagainya. Di Gunungkidul pernah tercatat beberapa pembuat iket-blangkon alusan selain Pak Sasra di daerah Clorot Semanu, di antaranya: Mbah Wito di daerah Tepus, Mbah Yadi di Wonosari, dan Mbah Joni di Playen.

Ratno pun mengaku bahwa ia pernah bekerjasama dengan Mbah Joni Playen dalam pembuatan dan pemasaran iket. Ia bisa disebut salah satu pembuat iket alusan di antara para pembuat iket berjumlah 10 kelompok yang tinggal di Dusun Bulu Desa Bejiharjo Kecamatan Karangmojo. Ratno (yang di Dusun Bulu bersama dengan Giyardi) adalah pembuat iket selera yaga (selera para pengrawit dan dhalang) yang sedang ramai diminati. Yang dimaksud iket alusan dan memenuhi kriteria selera wiyaga adalah iket yang bukan koden seperti yang dijual untuk segmen umum, congkengnya (bahan pembentuk iket yang melingkari kepala) bukan dari kertas kardus yang bersifat kaku, namun dari bahan mendhong yang bersifat lemes (jika disimpan di dalam tas lebih aman; para yaga membawa iket jenis ini lebih simpel), dan ia hanya memenuhi pesanan iket perorangan. Sementara itu anggota kelompok paguyuban pembuat iket lain di Dusun Bulu kebanyakan pembuat iket koden. Produknya untuk memenuhi kebutuhan pariwisata di sekitar Pindhul dan pasaran umum.

Ratno; Seorang Pengrajin Iket-Blangkon
Ratno; Seorang Pengrajin Iket-Blangkon “Alusan”. Swara/WG.

Ia seorang lelaki kelahiran tahun 1976. Dalam sehari 2 iket-blangkon pesanan bisa diselesaikannya. Satu iket membutuhkan waktu pengerjaan kurang lebih 4 jam. Congkeng-mendhong yang lemes ia siapkan terlebih dahulu, tak lupa kapas untuk mengisi bagian mondholan (Mataraman) ia sediakan pula, pagi hari biasanya ia mulai bekerja di teras rumah memasangkan dan menjahit jarik wiron di plonconya. Bahan iket ia beli di pasar/toko sehingga bagi pemesan yang tidak membawa bahan sendiri bisa langsung memilih bahan iket di rumahnya. Ratno melayani pembuatan iket beraneka motif, misalnya: motif Mataraman, motif Solo (Surakartan), motif Trenggalek di bagian depan dan motif Mataraman bagian belakang namun tanpa mondhol, motif Madura, motif Bali, motif pidihan, dan lain-lain sesuai selera pemesan.

Terhitung 15 taunan Ratno menekuni laku membuat iket-blangkon. Tergerak pengamatannya pada iket, dulu, ketika ia buruh di daerah Bugisan Yogyakarta, belajar ia membongkar lilitan sebuah iket-blangkon (cithakan) lantas ia pasang kembali. Secara simbolik, ia mengulang laku tokoh Dewata Cengkar yang mengurai seberapa panjang sebuah udheng tergelar. Ia berfikir keras. Ia merenung. Jalan pengetahuan yang ia tapaki tampak ketika ada seorang teman seniman yang waktu itu pulang dari ndandakke iket ke tempat Mbah Arja di Pathen Bantul menantangnya: coba bisa tidak ia membuat iket-blangkon sekelas iket produk Pathen! Ia kembali berfikir. Ia tak henti berlatih. Berlatih nglebut; memasang wiron kain pada klebut, sangat tidak mudah. Lama-lama secara auto, ia coba sibak kegelapan penalarannya, kecengkaran batinnya. Membuat iket alusan sekelas Pathen pada masanya memang sulit. Proses ‘belajar’ ia jalani 5 tahunan.

Hingga suatu saat bisa dikatakan ia menjadi mudheng bagaimana membuat iket alusan; tak nglegena lagi.

Setelah merasa mudheng Ratno melakukan promosi ke sana-sini, termasuk lewat FB bersama dengan Mbah Joni Playen. Program pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa Desa Bejiharjo dan Kecamatan Karangmojo pun (misalnya ke Madura) ia ikuti. Ia juga termasuk pemateri di acara pelatihan membuat iket-blangkon di beberapa desa, di tempat wisata seperti Pindhul, atau di acara outbond. Para pemesan iket-blangkon semakin ramai datang ke bengkelnya di Dusun Bulu Desa Bejiharjo. Rumahnya dibanjiri para seniman dan yaga yang memesan iket, beberapa di antaranya seniman Mbah Waluyo dan Dhalang Seno Nugroho. Laku-suci Ratno membuat iket, seperti halnya laku para pembuat iket yang lain, yang ia cari sendiri kemurniannya, hakekatnya, ternyata mampu meningkatkan kesejahteraan ekonominya.

Itu berkat klebut, atau klabut, atau sirah, atau plonco yang kethul itu ia ikati. Ia iketi. Ndhas-ndhasan kayu ia wironi. Isi kepala ia udhengi. Saban hari.

Mudheng tentang bagaimana iket bekerja menjadikan Ratno termasuk penjaga salah satu sastra-purwa, yang telah diciptakan oleh para simbahnya (baca: moyangnya), yang ia tidak mendustainya: mahkota orang kebanyakan yang disebut udheng. Udheng yang secara teknologis dikembangkan oleh peradaban manusia untuk menjelajah ke pelosok semesta. Udheng yang secara filsafat ilmu digunakan untuk ngrenggani ilmu manusia. Udheng menjadikan Ratno mudheng bahwa ilmu bisa digapai hanya jika dirinya sendiri yang ngiketake dan ngubengke kain wiron di klebut, sembari meniupkan rahsa. Bahwa dhengkul, gathul, dan endhas perlu diiketi, dibuatkan iket. Bahwa gerak yang kontinyu (baca: agama) berpusat pada klebut atau plonco kekayon-manusia yang disebut sirah atau endhas yang dibungkus dedaunan berbentuk jarik/sinjang. Di sinilah, di dalamnya, apa yang ia yakini sebagai Suksma Sejati (Gusti) ia-wuwungi, ia pilah-pilihi rerenggan bathik modang atau sekaran yang indah-indah, ia ikat-ikat kuat-kuat, semoga melumat sifat cengkar di kepala-kepala yang kelak disinggahi.

Tak henti ia menggerakkan tekat, berniat memenangi medan-perangnya sendiri dari tepi Desa Bejiharjo Karangmojo sisi utara, membuat cithakan-cithakan iket (blangkon) untuk orang-orang dari berbagai kalangan—sebagai paratanda kebesaran isi kepala (sirah) kulawangsanya, menghidupi istri dan dua-anaknya.

[WG]

Facebook Comments Box

Pos terkait