Ingatlah Mati, Petiklah Hari!

Petani di Banyusoca Playen memanen jagung. Dok: Edo/KH.

SEPUTARGK.ID – “Ingatlah mati” mungkin menjadi rangkaian kata yang lebih menggaung pada waktu-waktu ini. Ha gimana tidak? Konon masa pageblug ini potensi kematian sangat tinggi berserak di sekitar kita, bahkan di rumah, malah bisa jadi sudah ada dalam diri juga. OTG. Rasa-rasanya tinggal sak nyuk saja, terasa bagai berjalan di lapangan. Pertanyaannya, tinggal langkah kaki ke berapa nginjak kotoran hewan?

Setidaknya itu yang kurasakan.

Bacaan Lainnya

Begini contohnya. Waktu dengar kabar ada saudara yang terkena virus Covid19 yang ada dalam bayangan adalah kematian. Apalagi melihat tetangga menghembuskan nafas terakhirnya lalu dibaringkan di pemakaman pada malam itu juga. Badan bergetar karena begitu mendengar ada yang kena virus ini loncatan pikir langsung dikerumuni kata-kata “mati.”

Meski itu kesimpulan terlalu dini bagaikan menghitung angka dari satu langsung lompat ke 10, tanpa melalui dua sampai sembilan. Tak peduli melompat, yang jelas pokok kesimpulan itu jelas membuat siapapun jantungnya terpompa lebih cepat.

Ada juga yang kemudian menjadi sangat ketakutan alias parno bin paranoid. Dari ketakutan yang membayang itu lalu sekuat tenaga melindungi diri sendiri, menutup pagar rumah dan “yang penting aku tak kena virusnya.” Slogannya “pokoknya tidak ke mana-mana, pokoknya tidak ngapa-ngapa, titik.” Ya itu dilakukan karena mungkin hidupnya sudah terdukung, toh persediaan masih ada, entah tabungan, entah penghasilan bulanan, entah apa lagi.

Situasi ini bisa dimaklumi…

Di kutub yang lain slogan “petiklah hari” tak kalah menyalak. Nikmati saja hidup ini, sekarang. Toh saatnya mati ya mati. Tak perlu takut. Lha, wong kalau takut malah imun jadi drop. Ayo lakukan aktivitas seperti biasa saja, masker bikin sumpek dan berkerumun itu katanya demi meningkatkan imun. Ayo nikmati hidup hari ini, risiko dipikir keri karena esok ada kesusahan sendiri.

Para petani dengan riang memetik panen tanpa memikirkan pandemi. Senyum merekah kalau padi, kacang, dan jagungnya melimpah. Tak diganggu hama, tikus, atau kera yang kadang-kadang menjarah. “Panenan kali ini tak didatangi kera, lumayan, pak!” kata pak Sarimin ketika tak sengaja aku ketemu di ladang jagungnya.

Meski begitu tak sedikit yang “menikmati hari” karena terpaksa. Abang Siomay harus berkeliling menjajakan ke rumah-rumah karena anak-anak belum masuk sekolah. Simbok Waginem yang tetap harus menata dagangan di pasar tradisional atau Mas Jito yang harus terus menata kendaraan di parkiran.

Situasi ini pun bisa dimaklumi…

Kudengar ada perpanjangan Masa Tanggap Darurat Covid-19 di DIY. Jelas kondisi ini tak mudah dijalani.

Tak bermaksud mendudukkan posisi “ingat mati” atau “petiklah hari” ini berlawanan. Kurasa kita perlu menata nafas panjang menjaga ritmenya, sepertinya sangat perlu keseimbangan antara waspada namun tak mengurangi bahagia.

Facebook Comments Box

Pos terkait