Jalur Cinomati Pleret Jadi Alternatif Rute Favorit Para Pelajon

Jalur Cinomati Pleret Bantul, alternatif para pelajon menghindari kepadatan jalur Bukit Bintang Patuk. Foto: Jono Putro/Swara.

Jalur Cinomati Pleret Bantul menjadi alternatif rute favorit para pelajon Gunungkidul yang bekerja di area Yogya Kota dan Bantul. Sebaliknya ada banyak penglaju dari area Bantul yang juga lewat jalur ini menuju wilayah Dlingo dan Gunungkidul. Meski terdapat tanjakan/turunan yang curam, jalur ini cukup ramai dilewati para pekerja lajon saat pagi dan sore. Rute yang yang lebih pendek, waktu perjalanan lebih cepat, dan tidak begitu padat seperti jalur Bukit Bintang (Piyungan – Patuk) menjadi alasan para pengendara kommuter memilih jalur ini.

Dody Apriyanto, salah satu admin Komunitas Sedulur Lajon Gunungkidul mengungkapkan, ada beberapa pilihan rute perjalanan penglaju dari area Gunungkidul ke Yogya. Pilihan utama para pelajon tetap pada jalur Wonosari – Playen – Patuk – Piyungan – Yogya. Dari wilayah tengah Wonosari dan sekitarnya bisa lewat jalur alternatif Playen – Dlingo -Cinomati – Pleret – Jogja. Kemudian juga ada pilihan jalur Wonosari – Playen – Sambipitu – Nglanggeran – Ngoro-oro – Kalasan – Yogyakarta.  Untuk para pelajon dari area pesisir Saptosari Panggang dan Purwosari, menurutnya bisa lewat jalur Panggang – Siluk – Imogiri – Yogya, atau bisa juga lewat jalur Girijati – Parangtritis – Yogya.

Bacaan Lainnya

Dari sekian pilihan rute alternatif tersebut, jalur yang melewati tanjakan Cinomati di daerah Pleret Bantul boleh dikatakan menjadi rute favorit. Nama jalur ini terkesan menyeramkan, tanjakan atau turunan pada jalur ini lebih ekstrim daripada jalur Patuk – Piyungan. Umumnya, para penglaju yang melewati jalur ini sudah hafal medan perjalanan. Mereka juga memiliki kehati-hatian dan skill berkendara yang mumpuni.

Seperti pengakuan Putra Sentono (41), pekerja lajon dari Desa Ngunut Playen ini sudah lebih dari 8 tahun bersepeda motor melewati jalur Cinomati setiap pagi dan sore. Pagi sekitar pukul 06.30 atau paling lambat 06.45, ia mesti sudah berangkat dari rumahnya menuju tempat kerjanya di sebelah utara Terminal Giwangan. Demikian pula, sepulang kerja, ia kembali menyusuri jalanan dari Giwangan – Pleret – Cinomati – Terong – Dlingo – Getas – Playen.

“Sejak tahun 2011 saya setiap hari lewat jalur Cinomati mas. Jalur ini memang ekstrim, turunan dan tanjakannya curam. Saya awalnya ya agak ngeri-ngeri gimana lewat jalur ini. Tapi lama-lama ya jadi terbiasa. Yang penting perjalanan hati-hati, saya nggak pernah ngebut. Yang penting utamakan keselamatan. Saya memilih jalur ini karena rute terpendek dan tercepat dari tempat tinggal saya. Selain itu, lewat jalur ini bagi saya lebih nyantai daripada lewat Bukit Bintang yang sudah padat,” ujarnya kepada Swara, Jumat (21/9/2019).

Pelajon yang bekerja pada industri pengecoran logam ini menuturkan, setiap pagi ia berangkat dari rumah melewati jalur Cinomati. Di tengah perjalanan biasanya bertemu dengan para pelajon dari arah Playen, Wonosari, dan Paliyan. Meski sebatas kenal di perjalanan, ia merasakan persaudaraan para pekerja lajon itu sangat akrab. Mereka saling bertegur sapa sebentar atau membunyikan klakson sebagai tanda persaudaraan. Ketika ada salah satu pemotor yang mengalami kendala, pengendara lajon lainnya pasti membantunya.

Putra pernah menjumpai pengalaman unik ketika melewati jalur Cinomati. Pada saat sore hari, ia beristirahat sejenak di tanjakan ekstrim tersebut, ia sempat menjumpai seorang pengendara motor yang grogi saat melewati tanjakan sehingga motornya mogok dan hampir terjatuh. Ia segera membantu pengendara tersebut, diajak istirahat sebentar, diberi tahu tips dan trip melewati tanjakan, kemudian diajak bareng-bareng beriringan naik ke arah Dlingo.

“Pernah pula saya menjumpai ada mobil pickup yang terperosok ke saluran jalan karena grogi sliringan dengan mobil yang datang dari atas. Ya, jalur Cinomati ini memang masih sempit mas. Padahal sekarang jalur ini boleh dibilang cukup ramai dilewati motor maupun mobil. Selain pelajon dari Gunungkidul, ada banyak pelajon dari bawah yang setiap hari juga naik ke arah Dlingo dan Gunungkidul lewat jalur ini,” ungkapnya.

Dari pengalamannya meniti jalur jalan yang ekstrim setiap hari dan dari niatnya berbagi informasi kepada sesama pelajon, saat ini Putra sering berhenti sejenak di belokan tanjakan Cinomati. Sembari memotret situasi perjalanan di jalur ini dengah HP, ia terkadang membuat rekaman video singkat dan mengirimkan situasi pantauan ke grup medsos para pelajon. Apa yang ia lakukan ini dimaksudkan sebagai cara menjaga keselamatan berkendara, khususnya bagi dirinya dan teman-teman sesama pelajon.

Ditanya tentang nama jalur Cinomati yang unik dan terkesan menyeramkan, Putra ternyata pernah bertanya kepada warga yang terdekat dari tanjakan tersebut. Dari keterangan yang diperolehnya, warga setempat juga tidak mengetahui mengapa tempat tersebut dinamakan Cinomati. Hanya didapat keterangan, bahwa sejak dahulu jalan atau tempat tersebut namanya memang Cinomati.

Berbeda dengan Putra, Andi Amel (43), pelajon dari Dusun Ngricik Wiladeg Karangmojo tetap memilih jalur Bukit Bintang. Menurut pekerja di salah satu gerai elektronik di Jl Urip Sumoharjo ini, meski jalur Patuk Piyungan sekarang lalu lintasnya sudah tergolong padat merayap pada jam pagi dan sore, ia mengganggap rute ini yang paling dekat dan cepat dari rumahnya ke tempat kerja.

Andi pernah mencoba jalur pertigaan Sambipitu – Nglanggeran – Petir – Jl Prambanan – Berbah – Jalan Solo. Hal ini dilakukan ketika jalan utama Patuk – Piyungan sedang ada perbaikan. Menurutnya jalur alternatif yang ia lewati ini masih sempit terutama di Nglanggeran – Petir. Namun, menurutnya jalur itu sangat membantu kelancaran perjalanan saat ada perbaikan di jalur utama.

Ia juga pernah mencoba jalan baru Nglanggeran – Ngoro-oro – Gayamsari – Prambanan. Jalur sampai batas Gunungkidul – Sleman di sebelah utara Ngoro-oro menurutnya sudah bagus, tetapi jalur di wilayah Prambanan Sleman belum semulus jalan baru di wilayah Gunungkidul. Ia mengira, jalur jalan baru tersebut belum begitu diminati pengendara karena memang masih belum selesai pembangunannya.

Jika dirata-rata, keberangkatan dari area Wonosari, maka waktu perjalanan para pelajon pada pagi atau sore tersebut rata-rata adalah 1,5 sampai 2 jam perjalanan, atau totalnya 3 – 4 jam setiap hari. Ini tentu bergantung pada situasi perjalanan di jalan raya. Menglaju kerja dari wilayah Gunungkidul ke wilayah Yogya Kota dan sekitarnya sesungguhnya hampir serupa dengan waktu tempuh para pekerja kommuter di Jabodetabek yang sehari-hari bisa menghabiskan 2 – 5 jam perjalanan per hari.

Semangat selalu sedulur-sedulur pelajon. Jerih lelahmu tidak akan sia-sia buat keluarga tercinta.

Facebook Comments Box

Pos terkait