Kabar Baik Masa Pandemi di Gunungkidul: Angka Bunuh Diri Menurun

Kerumunan antrian pembagian sayur-mayur sebuah instansi di Wonosari. Foto: Iwan.

Imbas pandemi Covid-19 turut dirasakan semua elemen masyarakat Gunungkidul baik secara langsung maupun tidak langsung. Sisi lain atau kabar baik pada masa pandemik ini adalah berkurangnya kejadian bunuh diri di Gunungkidul.

Menurut catatan Perkumpulan Imaji, LSM yang fokus pada upaya promosi dan edukasi kesehatan jiwa, terindikasi ada penurunan angka bunuh diri selama memasuki masa pandemik ini. Dari Januari sampai akhir April 2020 terdapat 12 kejadian bunuh diri di Gunungkidul. Pada tahun sebelumnya, tercatat ada 15 kejadian sampai akhir April 2019. Catatan tahun 2018 juga menunjukkan angka yang sama, ada 15 kejadian sampai akhir April 2018.

Bacaan Lainnya

Pandemi Covid-19 di wilayah Gunungkidul terdeteksi mulai menjalar pada akhir Maret 2020. Kondisi darurat segera diberlakukan dengan ditemukannya warga yang suspect Covid dan kemudian  dinyatakan positif Covid berdasarkan pemeriksaan lab. Dalam periode pandemik sampai saat ini (19/5), rekaman kejadian bunuh diri di Gunungkidul jelas mengindikasikan adanya penurunan.

Pada Januari 2020 tercatat ada 3 kejadian bunuh diri, kemudian Februari ada 3 kejadian, Maret sebelum Covid naik drastis menjadi 5 kejadian, April tercatat 1 kejadian, kemudian tidak ada kejadian bunuh diri untuk Mei sampai hari ini (19/5). Dua peristiwa bunuh diri terakhir terjadi di Tepus (27/3) dan di Ponjong (19/4). Kejadian di Tepus menimpa warga sepuh usia 84 tahun dengan pencetus sakit tak kunjung sembuh, dan kejadian di Ponjong menimpa warga sepuh usia 75 tahun dengan pencetus depresi dan memiliki riwayat gangguan kesehatan jiwa.

Data kejadian bunuh diri di Gunungkidul per bulan dari 2015 sampai April 2020. Dok: Imaji.

Kondisi darurat pandemi Covid-19 telah berimbas ke seluruh lapisan masyarakat, dan tentu saja telah menggoyahkan semua sektor kehidupan. Semua elemen masyarakat merasakan dampaknya, mulai dari berkurangnya aktivitas sosio-ekonomi, bekerja dari rumah, libur kerja, sampai goyahnya perekonomian rumah tangga terutama bagi mereka yang bekerja harian.

Namun demikian, di tengah kondisi krisis ini ada hal-hal positif yang justru menguat, yaitu adanya harapan dan keinginan kuat untuk “mempertahankan hidup” disertai menguatnya “solidaritas” satu sama lain. Perilaku-perilaku sederhana berikut membuktikan semua tetap ingin hidup dan terbebas dari ancaman maut Covid-19, seperti: disiplin cuci tangan, menjaga jarak saat bertemu dengan orang lain, memakai masker, membatasi pertemuan, dan sebagainya.

Masa pandemik juga membuat semua elemen masyarakat lebih solider, dan lebih memperhatikan satu sama lain. Menjadi lebih sering ngaruhke kabar kesehatan bapak simbok simbah, membuat pos penanggulangan, mau kerjabakti, membuat disinfektan, berbagi masker, berbagi sembako atau uang, mengedukasi PHBS dan social/physical distancing, saling menguatkan dan mendoakan dalam ibadah pribadi di rumah masing-masing, dan seterusnya.

Kabar baik menurunnya angka bunuh diri selama masa pandemik ini juga terjadi di negara Jepang. Melansir SoraNews Jepang, Detik.com (17/5/20) memberitakan penurunan angka bunuh diri ini. Menurut statistik Kementerian Kesehatan Jepang, pada tahun 2019 sebanyak 1.814 orang bunuh diri. Namun pada April 2020, jumlahnya turun 19,8 persen, menjadi 1.455 orang. Dan ini merupakan angka terendah untuk April setidaknya dalam lima tahun terakhir.

Karena virus Corona, beberapa minggu terakhir membuat orang-orang di Jepang untuk tetap di rumah saja. Sisi positif terjadi, virus Corona yang mengancam jiwa khalayak banyak membuat orang-orang mempunyai pikiran bahwa hidup ini layak dijalani.

Dengan berlindung diri di rumah demi terhindar dari virus Corona, membuat orang sedikit untuk bersekolah dan bekerja ke kantor. Ini juga membuat berkurangnya interaksi dengan orang-orang kantor, terhindar dari intimidasi kerja, serta terhindar orang-orang yang yang bisa merusak mental seseorang.

Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam tindakan seseorang melakukan bunuh diri. Para ahli psikologi dan kesehatan jiwa menyatakan, berbagai faktor yang berpengaruh dalam tindakan bunuh diri tersebut dikelompokkan menjadi faktor psikologis, biologis, dan sosial.

Penelitian yang dilakukan Imaji (2018) terhadap peristiwa bunuh diri 2015-2018 di Gunungkidul menunjukkan, klasifikasi faktor risiko utama yang memicu tindakan bunuh diri di Gunungkidul adalah: kondisi depresi 43%, menderita sakit fisik menahun 26%, tidak diperoleh keterangan jelas 16%, mengalami gangguan jiwa berat 6%, terhimpit masalah ekonomi 5%, dan sedang menghadapi masalah keluarga 4%. Artinya, faktor psikologis sesungguhnya lebih mengemuka dalam kasus-kasus bunuh diri yang telah terjadi di wilayah Gunungkidul.

kabar baik berkurangnya angka bunuh diri di Gunungkidul pada masa pandemik ini menjadi angin segar yang perlu dihembuskan bersama-sama oleh semua pihak. Bahwa semua menjadi merasa senasib dan sepenanggungan, bahwa semua punya pengarep-arep (harapan) untuk selamat dan tetap hidup dari wabah Coronavirus. Ini menjadi modal utama untuk menebarkan kebaikan, saling memperhatikan anggota keluarga dan tetangga terdekat apapun kondisi dan kendala bahkan termasuk jika mengalami disabilitas (keberlainan) yang disandangnya.

Bencana Covid-19 juga memberikan pelajaran bersama, bahwa semua pantas untuk menanggalkan kebiasan gemar mencela, gemar mem-bully, gemar memberikan perundungan yang membuat luka batin sehingga bisa saja menjadikan seseorang menjadi patah semangat dan memicu pada tindakan pengakhiran hidup.

Sekali lagi, bukti menunjukkan faktor risiko kejadian bunuh diri di Gunungkidul yang dominan adalah adalah perkara-perkara psikologis. Karena itu semua saja layak untuk memperhatikan pentingnya hal ini, karena kita sering terjebak menganggap pada motif kemiskinan secara ekonomis.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait