Kambing Etawa; Si Bongsor Idaman Para Peternak

Kambing Jamnapari dari India, di Indonesia dikenal sebagai Kambing Etawa. Dok: primaberita.

Kambing Etawa identik dengan kambing berbadan bongsor. Ya jenis kambing ini memang memiliki badan yang besar dibandingkan jenis kambing lainnya, seperti kambing Kacang atau kambing Jawarandu. Tak heran jika si kambing berbadan bongsor ini disukai para peternak baik untuk hewan budidaya ataupun hewan hobby untuk lomba atau kontes ternak kambing. Namun demikian, kambing Etawa ini memang perlu pemeliharaan yang lebih ribet dibandingkan kambing kacang yang jamak diternakkan masyarakat di Indonesia.

Asal Usul

Kambing Etawa adalah kambing didatangkan dari India yang juga disebut kambing Jamnapari. Tinggi kambing jantan berkisar antara 90 sentimeter hingga 127 sentimeter dan yang betina hanya mencapai 92 sentimeter. Bobot jantan bisa mencapai 91 kilogram, sedangkan betina hanya mencapai 63 kilogram. Telinganya panjang dan terkulai ke bawah. Dahi dan hidungnya cembung. Baik jantan maupun betina bertanduk pendek. Kambing jenis ini mampu menghasilkan susu hingga tiga liter per hari.

Bacaan Lainnya

Keturunan silangan (hibrida) kambing etawa dengan kambing lokal dikenal sebagai kambing “peranakan etawa” atau “PE”. Kambing PE berukuran hampir sama dengan etawa namun lebih adaptif terhadap lingkungan lokal Indonesia. Terkadang ada yang menyamakan antara Kambing Etawa dan Kambing PE. Tentu saja, karakteristik Kambing PE jelas berbeda dengan kambing Etawa. Yang satu merupakan kambing yang murni diperanakkan dari jenis sesama Etawa, sedangkan yang satunya merupakan persilangan antara Etawa dengan jenis kambing yang berbeda.

Kambing Etawa Kaligesing

Salah satu sentra peternakan kambing Etawa, lebih tepatnya Peranakan Etawa adalah daerah Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. Warga masyarakat Kaligesing di perbukitan Menoreh tersebut memang sudah sejak lama membudidayakan kambing Etawa, Ada banyak peternak dari berbagai wilayah yang sering mencari indukan kambing Etawa atau peranakan Etawa dari Kaligesing ini.

Sentra kambing Etawa Kaligesing berawal dari sekitar tahun 1930-an Pemerintah Kolonial Belanda membawa kambing Jamnapari ke Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. Kambing Jamnapari ini kemudian disilangkan dengan kambing lokal (kambing jawa randu atau kacang). Hasilnya peranakan Etawa (PE) dari Kaligesing ini banyak diminati peternak dari berbagai wilayah, sehingga kambing PE Kaligesing kemudian tersebar ke berbagai daerah. Di pasaran memang tak begitu dipermasalahkan apakah kambing Etawa murni atau kambing peranakan Etawa, sehingga sering disebut atau disamaratakan sebagai kambing Etawa Kaligesing.

Dengan semakin populernya kambing Etawa, kambing ini pun dikembangkan untuk kontes. Kambing ini juga memiliki harga pasaran yang relatif mahal dibandingkan kambing lainnya. Adanya aspek seni seperti panjang dan lipatan telinga, gelambir, bentuk muka, corak warna, membuat harganya menjadi mahal. Di kalangan penghobi kontes kambing, kambing Etawa pun beralih fungsi menjadi kambing koleksi, bukan untuk pedaging atau perah.

Kambing Dwiguna

Ditinjau dari peran dan manfaatnya, kambing Etawa termasuk tipe kambing dwiguna. Kambing ini diternakkan untuk menghasilkan susu dan juga daging, bahkan sering juga diikutsertakan dalam ajang kontes. Kambing etawa mempunyai postur tubuh besar, telinga panjang menggantung, bentuk muka cembung, bertanduk pendek, serta bulu pada bagian paha belakang cukup panjang. Kambing etawa jantan dapat tumbuh besar dengan bobot mencapai 90 kg, sedangkan betinanya beratnya sekitar 60 kg dan mampu menghasilkan susu sebanyak 3-4 liter per hari dalam masa puncak laktasi.

Usaha ternak kambing etawa di Indonesia, peranakan dan pembibitan kambing etawa telah di mulai sejak lama dengan pusat pembibitan terbesar ada di wilayah Kaligesing, Purworejo dan juga Kecamatan Gumelar, Banyumas, provinsi Jawa Tengah. Di daerah lain, sentra-sentra peranakan etawa (PE) juga mulai berkembang dengan baik, misalnya di Bogor, Sukabumi, Lampung, Banyuwangi, Palembang, dan juga Bandung. Kambing Etawa merupakan salah satu jenis ternak unggul yang bisa menghasilkan keuntungan besar bagi para pelaku usahanya.

Mengenal Jenis Kambing Etawa

Secara umum jenis kambing Etawa hanya ada satu macam. Namun, berdasarkan kelas, ciri ciri fisik, dan hasil kawin silang (pembibitan), kini kambing Etawa dapat digolongkan dalam beberapa jenis, yakni: Etawa Kaligesing, Etawa Senduro, dan Etawa Super.

1.Kambing Etawa Kaligesing

Nama kambing ini diambil dari daerah sentra budidayanya, yaitu dari Kaligesing Purworejo Jawa Tengah. Kambing Etawa ini merupakan hasil persilangan antara kambing lokal dengan kambing asli India. Kambing ini cenderung berbulu lebat dengan warna putih coklat, hitam, bercak/dalmation dan belang. Kambing Etawa Kaligesing merupakan salah satu kambing yang berkualitas, yang bisa dijadikan sebagai ternak kontes dan penghasil susu.

2.Kambing Etawa Senduro

Kambing Etawa Senduro merupakan hasil pengembangbiakan ternak yang berasal dari Lumajang, Jawa Timur, tepatnya berada di Kecamatan Senduro, kawasan dekat dengan lereng gunung berapi. Pemberian nama Senduro tidak terlepas dari peristiwa bencana gunung berapi yang melanda Desa Senduro. Keajaiban yang terjadi kala itu adalah semua peternak kambing selamat dan akhirnya kambing ini memiliki tempat di hati para penggemarnya, dan kemudian terus dibudidayakan sampai saat ini. Ciri khusus kambing Senduro adalah adanya warna bulu putih menyeluruh pada seluruh bagian tubuh kepala dan kaki.

3.Kambing Etawa Super

Kambing Etawa Super menjadi primadona bagi para pecinta dan peserta kontes kambing. Kambing ini memiliki tubuh besar, mudah dipelihara dan tentunya harga jual yang tinggi.

Kecocokan Tempat Budidaya Kambing Etawa dan PE

Kambing Etawa dan peranakan Etawah (PE) dapat dipelihara pada berbagai kondisi lingkungan. Diana dkk, peneliti budidaya ternak pada tahun 2016 pernah melakukan riset dengan membandingkan respon termoregulasi kambing PE yang dipelihara pada ketinggian tempat yang berbeda (200, 400 dan 600 m dpl). Suhu lingkungan (Ta), kelembaban udara (Rh) dan kecepatan angin (Va) diukur selama 12 jam setiap 1 jam yang dimulai pada pukul 06.00-18.00 WIB. Respon termoregulasi ternak terdiri atas suhu rektal (Tr), frekuensi pernafasan (Rr) dan denyut jantung (Hr) diukur setiap hari pada pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji-t dua sampel independent dan analisis regresi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketinggian tempat 200, 400 dan 600 m dpl berpengatuh nyata (P<0,05) terhadap suhu lingkungan, rataan suhu lingkungan masing-masing adalah 30,16±2,88; 27,73±2,45 dan 26,63±2,91°C. Namun kelembaban dan kecepatan angin tidak berbeda nyata (P>0,05). Ketinggian tempat berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap suhu rektal dan denyut jantung, tetapi tidak berpengaruh terhadap laju respirasi. Kesimpulan pokok riset tersebut menunjukkan bahwa kambing PE merasa lebih nyaman untuk dipelihara pada ketinggian 400 m dpl.

****

Sumber: Wikipedia, jagadtani, merdeka.com, Diana dkk: Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Respon Termoregulasi Kambing Peranakan Etawah (PE), Jurnal Jurnal Sains Terapan Edisi V Vol-6 (1) : 52 – 62 (2016).

Facebook Comments Box

Pos terkait