Kang Min, Maafkan Aku

Ayo stop perundungan. Foto: Toro.

Kami tertawa. Suaranya terdengar sampai kejauhan.

Kami berjingkrak saking gembiranya. Anak-anak usia tujuh tahunan yang tengah melihat ‘barang antik’ milik seorang perjaka. Sedangkan, dia hanya bisa meronta dan mengeluarkan suara tak jelas dari mulutnya.

Bacaan Lainnya

“Oaaa, auuu, iiiiiii…ee,” namun tetap menuruti perintah para pengganggu.

“Ayo, copot katoke, copot katoke!”

Mendengar rengekannya, mereka semakin menggila. Kelucuannya seperti anak-anak memainkan sebuah boneka. Terbahak-bahak sambil terus menyuruhnya membuka celana.

Dulu, tahun 85-an, aku, Wahid, Yadi, dan Plompong, mengolok-olok Kang Min. Laki-laki itu suka bercelana pendek gombyor dan berkaos sport. Ketapel karet merah selalu melingkar di lehernya.

Ia berusia 20 tahunan, namun bicaranya mirip bocah lima tahunan. Nama lengkapnya “Suratmin”. Anak dari “Siwo” atau simbah tuwo yang dipanggil “Kang”, panggilan khas untuk seorang laki-laki Jawa dengan usia lebih tua.

Kang Min berbadan atletis dan kulitnya kuning. Bulu matanya lentik. Kuku tangannya tampak kusam.
Kadang sore hari kami berjongkok, asyik bermain kelereng, dan dia hanya bisa melihat dengan mata berbinar meski tak pernah kami ikutsertakan.

Saat kami berteriak tegang bermain gobak sodor di halaman, ia hanya ikut menirukan dengan merentangkan tangan dan kakinya dari teras rumah. Lidahnya kadang menjulur, dan air liurnya menetes pelan. Seakan menjadi tanda keinginan untuk bergabung bermain namun tak kesampaian.

Kadang tangannya bertepuk memerankan diri sebagai supporter. Plok, plok, plokk, senang.

Suatu hari ia jatuh sakit. Sakit yang aku sendiri lupa apa namanya, maklum, usia tujuh tahun bisa baca saja belum. Singkat cerita, nyawanya tak tertolong. Ia tiada.

***

Mengingat kejadian silam itu, kerongkonganku tercekat. Leherku mengeras, kaku.

Tiga dasa warsa sudah dia meninggalkan alam fana. Kami para pengganggunya sudah beranjak tua. Hari ini, dalam bayangan kulihat kembali tampak jelas sorot mata laranya. Kutafsir ia berontak dan merasa terhina. Kusesali kelakuan merendahkan, mengolok, dan menghina penyandang disabilitas.

Haruskah masa yang lugu diwarnai kekonyolan seperti itu?

Kang Min, Maaf ya…saat ingusan kami telah menghinamu…!

 

Facebook Comments Box

Pos terkait