Kapitalisme Kata-Kata

Pabrik Kata Kata,” demikian maklumat Joger, seorang pengusaha kaos di Bali. Kaos bikinan Joger pun laku keras. Kaos Joger menginspirasi pengusaha di kota lain di bidang jasa konveksi. Ramuan kata-kata jenaka, unik dan kadang butuh perenungan memang masih diperlukan di negeri ini.

Oiya, perlu dipahami bahwa “Kapitalisme” berasal dari bahasa Latin, “Capit” yang artinya kepala. Ini bermaksud bahwa dalam kapitalisme termuat pemahaman, ukuran, standar, nilai dan perhitungan berdasar masing-masing “kepala”. Individual sekaligus menyangkut kebutuhan/pemenuhan masing-masing pribadi.

Dalam kajian politik, Begawan Ben Anderson menuliskannya dalam Language and Power: Exploring Political in Indonesia. Buku Ben Anderson kurang lebih mengupas tentang bagaimana politik kebudayaan di negeri ini dipengaruhi oleh penggunaan bahasa sebagai medium, demikian juga sebaliknya. Bahasa sebagai lingua-franca, punya kemampuan mendefinisikan kebudayaan Indonesia.

Saat ini masyarakat Gunungkidul pun memiliki kebutuhan baru, yaitu “kebutuhan” terhadap janji-janji politik. Kebutuhan ini layaknya seperti kita butuh sembako, wajan atau peralatan masak lainnya. Politik memang membutuhkan kata-kata, yang kemudian diformat dengan yang namanya “janji”. Mustahil itu membicarakan politik tanpa menyinggung soal janji-janji. Sama persis persinggungan antara politik praktis dan teori politik. Kedua tidak bisa dipisahkan. Dalam politik, ada banyak arsiran keilmuan yang digunakan, semisal pertanian, ekonomi, statistik, akuntansi, sosial, budaya dan lainnya.

Tentu saja hal di atas mengundang sinisme bagi mereka yang “hanya” bergelut dalam aktivisme. Ungkapan-ungkapan seperti, “kakehan teori”, “omong kosong”, “halusinasi politik” dan sebagainya biasa muncul di jagat medsos Gunungkidul. Ungkapan seperti itu sah-sah saja. Tetapi jika disertai cara berpikir yang tertutup dengan gagasan/ide lain maka itu bisa disebut anti-dialog. Bukankah sejatinya politik adalah seni berdialog, udar gagasan, dan udar prasangka?

Kata-kata ibarat mantra. Ia memiliki kekuatan untuk mengubah pikiran dan bahkan perilaku seseorang. Kata-kata berbeda dengan bunyi. Kata-kata menyimpan makna, sedangkan bunyi hanya menyimpan kagaduhan. Mengemas janji-janji politik dengan kekuatan kata-kata, bukan hal yang mudah. Itulah mengapa janji-janji politik memang asyik dan nikmat didengarkan. Janji-janji politik membentuk harapan yang indah bagi masa depan pendengarnya.

Bagi aktor politik, saya pikir janji-janji itu adalah bentuk ekspresi diri, dan bahkan bentuk aktualisasi diri. Dalam diri aktor politik, ada dorongan yang menggelegak untuk mencapai kepuasaan tanpa batas. Di dalamnya tersimpan keinginan untuk merealisasikan diri, mendominasi dan berkuasa. Kekuasaan adalah otoritas yang dimiliki pribadi untuk mengatur dan memerintah sesuai dengan motif dan keyakinan/ideologinya.

Heilbroner menengarai bahwa sublimasi dorongan bawah sadar tersebut merupakan hakikat kapitalisme. Dorongan itu berakar pada jati diri manusia. Dus… (bukan wedhus lho), janji-janji politik juga merupakan modus eksistensi manusia. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk berpolitik, Zoon Politicon seperti kata Aristoteles.

Janji politik itu sah-sah saja. Tidak perlu didebat sampai ubun-ubun kita meletus. Persoalannya sederhana saja, apakah janji politik itu menjawab kebutuhan warga? Apakah janji politik itu berdampak dan mendorong partisipasi warga dalam membangun Gunungkidul? Sehebat apapun janji politik jika menempatkan warga sebagai obyek pembangunan, ya sami mawon. Masyarakat hanya menjadi korban pembangunan itu sendiri.

Jadi…. Mari kita nikmati saja “kapitalisme kata-kata” menjelang 9 Desember 2020. Berharap untuk terwujud merupakan cara yang positif, namun tetaplah perlu diingat: Berharaplah secukupnya dan jangan terlampau berharap. Politik “kapitalisme kata-kata” itu licin, dan siapa saja bisa terpeleset. Siapapun Anda, entah buzzer, influencer atau Tim Sukses, jika anda terpeleset maka anda merugikan tim dan calon yang Anda usung.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait