Karena Korona

Suasana kampus lengang, waspada Covid-19. Foto: Toro.

“Ngeri-ngeri sedap,” Batinku bergejolak. Pagi ini aku datang ke sekolah. Ada tugas presentasi tentang realitas sosial dan realitas virtual, belajar Simulacra-nya Baudrillard.

Motorku diarahkan gerbang depan oleh pak Satpam, padahal biasanya lewat samping lapangan kompleks kampus.

Bacaan Lainnya

Baiklah…

Sejak dari Negeri Kahyangan Gunungkidul, kurasakan perjalanan yang berbeda. Lalu lintas tidak sepadat biasanya… dan, cukup sejam waktu yang kubutuhkan untuk sampai ke kampus, 30 menit lebih cepat dari biasa.

Kampus sepi, hanya beberapa teman dan Romo yang mengajar. Aura kecemasan pun terasa, padahal biasanya mata, suara, dan gerak seakan seirama cerianya. Ada juga botol cairan itu yang dipasang sini sana, “ambil seperlunya!”

Memang, di Jogja, realitasnya ada yang terkena virus korona. Banyak sekolahan meliburkan anak didiknya. Pertanyaannya, “Kalau kena bagaimana? Kesiapan medisnya? Kalau chaos bagaimana?”

Eits, ndak akan kubahas pengetahuan dan teknis tentang virus korona. Sudah masif himbauan dari negara, sudah ada ahlinya, bahkan sudah melimpah yang mendadak jadi ahli Korona. Sudah melimpah juga nasehat-nasehat dengan doa dan ritual agama.

Yang kulihat cuma pak Supri yang memandang tumpukkan bakso di etalase grobaknya. Kawan yang mengutak-utik HP, cari tiket pesawat yang ditawarkan 40 % dari harga biasanya. Dan menengok status dan berita di media yang sedang mabuk berita.

Ini cuma cerita nir makna. Lha, wong nyebut korona saja salah… Seharusnya Corona kan?

Facebook Comments Box

Pos terkait