Kejujuran Mendatangkan Berkah

Ilustrasi. Dok: Harian Merapi.

“Berhenti!, berhentilah Kang!”, kata seorang pengendara sepeda motor berperawakan tinggi gempal, berjaket kulit hitam, dan berhelm cakil kepada  pengendara motor lain yang berhasil dikejarnya. Pengendara motor berhelm cakil itu,  sudah sedari tadi berusaha mengejar dengan kecepatan tinggi agar segera dapat menyusul pengendara yang berada jauh di depannya itu.

Yang dikejar pengendara itu seorang bapak dengan kronjot di belakangnya, sedangkan istrinya duduk di atas kronjot  sambil memeluknya erat dalam selimut kabut tipis. Rupanya mereka sepasang suami istri pedagang sayur yang baru pulang dari pasar setelah selesai berdagang. Tanpa menoleh sedikitpun sepasang pedagang sayur itu malah semakin  kencang memacu sepedanya.

Bacaan Lainnya

Kejar-kejaranpun terus terjadi layaknya di film “Chips” yang dibintangi Dono, Kasino, Indro Warkop itu. Jalanan semakin ramai. Di lampu merah berikutnya pedagang sayur itu tertahan oleh banyaknya pengguna jalan lain.

“Kang, Mbakyu, berhentilah dulu! Aku tidak bermaksud jahat padamu! Lihat apakah ini milikmu?”

Tanya si pengendara saat ia berhasil memepet sambil menunjukkan sesuatu. Wanita yang disapa “Mbakyu” segera menoleh dan memperhatikan sebuntal tas kresek hitam yang ditunjukkan padanya. Iapun kaget lalu menepuk pundak suaminya.

“Pak, Pak, ayo minggir dulu, kita berhenti di depan”. Kebetulan saat itu bersamaan lampu hijau menyala. Setelah kira-kira berjarak 50-an meter mereka berhenti dan bercakap-cakap.

“Mbakyu, aku tadi melihat sesuatu jatuh dari pangkuanmu. Setelah kudekati, ternyata sebuah buntalan kresek. Segera kuambil, dan akan kuserahkan padamu, tetapi lajumu semakin cepat.”

Setelah agak lama menatap kresek itu, “ Oh, ya, betul itu kresekku Pak.”

Ia segera menerima dan memeriksanya. Ternyata kresek itu berisi beberapa gepok uang yang diikat dengan karet gelang dan masih utuh.

“Maaf, ya, Pak, Aku tadi sebenarnya takut. Kulihat dari spion ada yang terus-terusan membuntutiku makanya, aku ngebut,” kata kang pedagang sambil menyalami si pengendara.

“Terima kasih ya, Pak, dan terimalah ini, sebagai ganti bensin,” ucap Si Mbakyu sambil mengulurkan beberapa lembar uang dua puluhan ribu.

“Tidak usah, Mbakyu. Sungguh tidak usah. Terima kasih. Maaf, saya akan melanjutkan perjalanan,” jawabnya sambari  membalikkan tangannnya di depan dada.

“Alhamdulillah, pagi ini aku dipertemukan dengan orang yang baik dan jujur, semoga Allah yang akan menggantikannya dengan anugerah yang lebih besar.”

Tanpa sengaja ketiganya mengamini dengan kompak. Kemudian, suami istri itu melanjutkan perjalanannya sambil terus menerus bersyukur atas kejadian tadi. Sedangkan bapak penolong, segera berbelok arah menuju ke barat berpacu dengan waktu.

Laki-laki berperawakan gempal itu biasa dipanggil “Pak Kasihan” oleh murid-muridnya. Ia biasa mengenakan baju training dan berkalung peluit. Sebuah penampilan yang sederhana. Tetapi tiupan peluit inilah yang selalu dinanti dan dirindu oleh sekian banyak anak  salah satu SD Negeri di Wonosari.

Ia juga dikenal dengan kedisiplinan, keramahan, kesupelan dan juga ringan tangan. Tak heran jika kehadirannya selalu diharapkan oleh semua orang termasuk teman-teman seprofesinya.

Hari berganti hari, bulanpun berganti bulan berlalu tanpa ada kejadian yang istimewa. Pak Kasihan sebagai seorang guru lajon tetap menjalankan tugasnya seperti biasa. Ia pun tak pernah sekalipun mengingat-ingat kejadian tempo bulan itu.

Pada suatu hari, Koperasi Guru yakni “KPRI Bangun” menyelenggarakan RAT (Rapat Anggota Tahunan) yang dihadiri oleh semua anggota koperasi. Di akhir sesi, diundi doorprice bermacam hadiah berupa barang dan voucer belanja.

Pada saat pengundian hadiah utama berupa sebuah paket umroh ternyata nama Pak Kasihan disebutkan. Tepuk tangan yang hadir mengiringi langkahnya menuju podium. Ucapan selamat pun seperti air mengalir. Pak Kasihan terlihat berkaca-kaca.

Seusai acara RAT tersebut, ibu penilik sekolah tergopoh-gopoh menemui Pak Kasihan saat di parkiran. “Selamat, ya, Pak, hadiahnya. Apakah mau berangkat dengan istri sekalian?” tanyanya.

“Entahlah, Bu. Rasanya saya belum siap untuk berangkat umroh tahun ini,” jawab Pak Kasihan.

“Benarkah?” selidik ibu penilik.

“Betul, Bu!” sahutnya sambil mengangguk mantap.

“Kalau voucer itu untuk saya saja, bagaimana Pak?” pinta Si Ibu.

“Oh, silahkan Bu, tidak apa-apa, monggo, saya rela,” Pak Kasihan mengambil voucer itu dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada ibu penilik.

“Yakin, Pak?”, sekali lagi Bu Penilik menatapnya dengan tersenyum.

“Demi Allah, saya ikhlas, Bu, mungkin sudah menjadi rezeki njenengan.”

Ibu Penilikpun menerimanya  dengan penuh senyum bahagia. Tak lupa ia mengucap syukur dan terima kasih pada Pak Kasihan.

Dua minggu berlalu, Pak Kasihan sedang bersama istrinya sambil minum kopi. Kebetulan sekolah libur karena tanggal merah. Tiba-tiba sebuah Avansa datang dan diparkir di halaman rumahnya.

“Oh, Bapak dan Ibu Penilik Sekolah, Mangga, silahkan masuk,”, sambutnya kepada 2 orang tamunya itu.

“Kami  datang ingin mengucapkan terima kasih atas kesempatan umroh yang telah Bapak berikan. Dan ini dari kami, harus Bapak terima, tolong jangan ditolak,” kata Si Ibu sambil menyerahkan sebuah amplop tebal. Setelah dirasa cukup kedua tamu itu segera pamit.

Subkhanallah, uangnya banyak banget, Bune,” Pak Kasihan membuka amplop tersebut.

Alhamdulillah, Ibu itu baik banget, ya, Pak? semoga ibadahnya berjalan lancar dan selamat,” sahut istrinya.

Akhirnya oleh Pak Kasihan,  uang itu digunakan untuk membeli sebuah mobil second yang masih lumayan bagus.

Berkat mobil itu, kini Pak Kasihan bisa mendapatkan “hasil tambahan” dengan menyewakannya. Tak jarang, ia juga dimintai tolong mengantarkan  tetangganya untuk suatu keperluan. Ia tidak pernah memasang tarif.

Kini meskipun hidupnya semakin makmur tetapi ia tetap seorang lelaki yang bersahaja.

Facebook Comments Box

Pos terkait