Lesung jumengglung sru imbal-imbalan,
lesung jumengglung maneker mangungkung,
ngumandhang ngebaki sajroning pradesan.
Thok thok thek, thok thok gung,
thok thok thek, thok thek thok gung,
thok thok thek, thok thek thok gung,
thok thok thek, thok thek thok gung.
Setidaknya ada 2 perkara penting yang melingkupi kehidupan para petani tradisional Jawa, termasuk di Gunungkidul. Pertama, perkara mitologis Dewi Sri sang pelindung tanaman padi. Kedua adalah benda tradisional lesung dan alu, prototype mula-mula mesin atau perkakas yang mampu mengkonversi bulir-bulir padi menjadi beras.
Dewi Sri dalam mitologi Jawa, Pasundan dan Bali diyakini sebagai penguasa dunia bawah tanah dan rembulan. Boleh dikatakan, peran Dewi Sri mencakup segala aspek kelembutan. Dalam pandangan modern boleh dikatakan sebagai sosok ibu yang feminis, pelindung kelahiran dan kehidupan.
Dewi Sri juga diyakini sebagai pelindung dan pengendali bahan makanan di bumi terutama padi, bahan makanan pokok masyarakat Indonesia dan Asia pada umumnya. Narasi-narasi lisan dan tertulis dari jaman Majapahit, Pajajaran, sampai Mataram Islam pun juga mengenal sosok Dewi Sri ini.
Menuju masyarakat petani Gunungkidul, keyakinan terhadap Dewi Sri sang pelindung padi dan pertanian masih tersisa sampai saat ini. Meski tidak semeriah jaman dahulu, masih ada petani di Patuk, Playen, Karangmojo, Ponjong, dan Semin yang nguri-uri tradisi membuat “sega wiwit“. Ya sesajen yang dibawa ke ladang sebelum memanen, petani atau tetua dusun memohon doa dan berkah sebelum pertama kali memetik panenan padi dan membawanya ke rumah atau lumbung panenan. Ada yang memberi nama sebagai tradisi Boyongan Dewi Sri atau Sri Mulih dari sawah ke lumbung atau rumah.
Di rumah petani gagrak lawas Gunungkidul, masih sering ditemui untaian batang padi yang diikat jadi satu dan dengan sengaja ditempelkan di dinding ruang tamu rumahnya. Jangan kaget, selain menemukan lambang Garuda Pancasila berikut foto presiden dan wakil presiden, pasti akan menjumpai bulir-bulir padi yang masih terikat utuh yang tertempel di dinding rumah. Itulah tanda hormat dan kecintaan para petani kepada Dewi Sri sang pelindung tanaman pokok yang diolahnya. Dalam konteks masa kini, makna Dewi Sri bukanlah sesuatu yang absurd, mitologi ini sebenarnya menjadi cara petani sebagai manusia arkais memberikan wejangan kepada anak cucunya, bahwa Sang Ilahi yang adikodrati itulah penyelenggara dan pelindung kehidupan.
Perkakas lain yang akrab dalam khazanah petani adalah lesung dan tentu saja berikut alu-nya. Ketika teknologi pertanian belum ber-evolusi dan juga belum ber-revolusi seperti sekarang ini, lesung dan alu merupakan alat utama pengolah padi menjadi beras. Beras yang menjadi bahan pangan utama masyarakat Jawa, Nusantara, dan kawasan Asia. Bagi petani, lumpang alu menjadi benda berharga. Ia dirawat dengan sepenuh hati.
“Lesung jumengglung sru imbal-imbalan, lesung jumengglung maneker mangungkung, ngumandhang ngebeki sajroning pradesan….” Tembang karya Ki Narta Sabda ini menggambarkan, betapa merdu dan dominannya tetabuhan lesung di pedesaan jaman dahulu. Tentunya sebelum terlibas mesin huller atau selepan padi door to door yang kini jemput bola siap melayani petani yang akan menggilingkan padi miliknya.