Khrisna

Arjuna gagap. Kesunyian mencekam menyelimuti dirinya. Hatinya gundah, jantungnya berdegup kencang. Pemanah ulung di keluarga Pandawa tak kuasa menguasai akalnya. Itulah suasana batin menjelang peristiwa maha dahsyat Bharatayudha. Di saat detik-detik akhir, hadirlah Khrisna yang kemudian memberi wejangan kepada Arjuna. Wejangan Khrisna itulah yang kelak mengubah kisah Bharatayudha menjadi epos abadi. Melalui wejangan itu, sejarah kemanusiaan diamini dan diyakini sebagai pegangan hidup. Dan betapa dongoknya Arjuna, ia tidak sadar bahwa kehadiran Khrisna adalah perwujudan Dewa WISNU.

Kegalauan Arjuna adalah kegelisahan atribut seorang pemimpin. Atribut kepanglimaan atau “sang pemanah ulung”, tak punya arti apa-apa manakala ia harus mengambil keputusan penting bagi dirinya dan sejarah kehidupan. Kepemimpinan yang hanya mendasarkan pada atribut gelar akademis, pangkat militer dan ketakwaan bukan jaminan kualitas seseorang saat menjadi pemimpin. Gelar akademis memiliki nilai manfaat jika ia berada di lingkungan kampus atau pendidikan formal. Pangkat militer menjadi penanda tinggi rendahnya komando dalam dunia kemiliteran. Ketakwaan seseorang memiliki arti dalam konteks syiar agama.

Adakah fakta sejarah yang menunjukkan bukti keberhasilan atribut-atribut di atas? Apakah ada bukti dan data, seseorang berlatar belakang militer gilang gemilang memimpin sebagai kepala daerah? Apakah ada bukti keberhasilan seorang bergelar akademis berhasil mengelola suatu daerah? Saya agak pesimis untuk itu. Sekali lagi, atribut seseorang tidak memiliki korelasi signifikan dengan keberhasilan seorang pemimpin.

Kampanye adalah proses marketing dan branding. Menjadi aneh jika kita “memasarkan dan mengemas” jagoan kita dengan atribut akademis, kepangkatan militer dan ketakwaan. Bukan tidak mungkin yang terjadi justru sebaliknya, yaitu lahirnya degradasi terhadap atribut-atribut tersebut. Selanjutnya adalh proses peyorasi terhadap figure yang diusung. Sungguh memilukan…

Dalam konteks kontestasi politik, Bourdieu mewacanakan empat hal sebagai modal pertarungan. Keempat modal tersebut adalah ekonomi, budaya, sosial dan simbolik. Modal ekonomi terkait dengan sumber-sumber pendanaan dalam mendukung keberhasilan kampanye. Modal budaya berhubungan sikap dan keteladanan seorang calon pemimpin. Apakah model kampanye sudah sesuai dengan sosiologi masyarakat? Modal sosial, memiliki relevansi dengan keterampilan membangun jaringan dan relasi ditingkat masyarakat akar rumput. Sejauhmana calon pemimpin menunjukkan komunikasi yang efektif dan empatik kepada para konstituennya? Dan terakhir modal simbolik, berhubungan dengan prestasi yang pernah diraihnya dan mampu disosialiasikan sebagai fakta dan data hingga konstituen memiliki keyakinan dengan figure yang dipilihnya.

Bourdieu tidak sepenuhnya benar. Atau agaknya Bourdieu melupakan Krisna dalam Bhagavat Gita. Tanpa Khrisna apalah artinya Arjuna?. Tanpa Khrisna, mampukah suara hati Arjuna menjadi bening? Persis di titik inilah, Arjuna akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri. Arjuna telah selesai dan tuntas dengan dirinya sendiri. Samar-samar pesan Khrisna kini sampai di Gunungkidul. Menjadi pemimpin adalah panggilan moral untuk dan demi bonum unum (kebaikan bersama). Menjadi pemimpin pada hakikatnya adalah kewajiban untuk melayani. Dengan mudah kita mengenali seorang pejabat. Tetapi tak semua penjabat adalah seorang pemimpin. ***





Facebook Comments Box

Pos terkait