Kilas Balik Peringatan Hari Penyandang Disabilitas Sedunia

Hari Disabilitas Internasional 3 Desember. Dok:

Hari Disabilitas Internasional diperingati setiap tanggal 3 Desember. Tujuan peringatan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu kecacatan, hak-hak  fundamental para penyandang disabilitas dan integrasi para penyandang disabilitas dalam setiap aspek kehidupan utama seperti aspek sosial, politik, ekonomi dan status budaya masyarakat mereka.

Peringatan ini  memperluas kesempatan untuk menginisialisasi tindakan untuk mencapai tujuan kesetaraan hak  asasi manusia dan kontribusi dalam masyarakat daripenyandang disabilitas, yang diluncurkan oleh Program Dunia Aksi untuk para Penyandang Disabilitas, dideklarasikan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1982.

Bacaan Lainnya

Secara nasional, Hari Disabilitas Internasional pada tahun 2019 diperingati di kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (1/12/2019). Tema peringatan tahun ini secara nasional adalah ”Indonesia Inklusi, Disabilitas Unggul”.

Sekitar 15% dari jumlah penduduk dunia, atau kurang lebih sebanyak satu milyar orang adalah merupakan penyandang disabilitas. Orang seringkali tidak menyadari banyaknya penyandang disabilitas di seluruh dunia dan tantangan yang mereka hadapi. WHO mempunyai misi untuk meningkatkan kualitas hidup bagi para penyandang disabilitas melalui upaya nasional, regional dan global dan meningkatkan kesadaran tentang besar serta dampaknya.

Sejarah Singkat Hari Disabilitas Internasional

Tanggal 3 Desember merupakan hari khusus yang ditetapkan PBB sebagai Hari Penyandang Cacat Sedunia. Sesuai dengan Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas, istilah penyandang cacat diganti dengan istilah penyandang disabilitas. Pencanangan ini merupakan bentuk penghargaan Majelis Umum PBB terhadap jasa, peran dan kemampuan para penyandang disabilitas.

Perayaan tersebut merupakan momentum bagi masyarakat internasional untuk memperhatikan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi para penyandang disabilitas. Secara umum, mereka yang tidak mampu melakukan seluruh atau sebagian dari aktifitas normal kehidupan pribadi atau sosial lantaran mengalami kelainan tubuh atau mental bisa digolongan sebagai penyandang disabilitas. Berdasarkan definisi yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), disabilitas dianggap sebagai kondisi yang menyebabkan gangguan pada hubungan seseorang dengan lingkungan. Menurut WHO, penyandang disabilitas merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia.

Laporan WHO juga menyebutkan, 80% dari jumlah penyandang disabilitas di dunia  itu berada di kalangan negara-negara berkembang. Perlu diketahui juga, anak-anak mengambil porsi sepertiga dari total penyandang disabilitas dunia. Berdasarkan berbagai data yang ada, dari setiap sepuluh anak yang lahir di dunia, seorang diantaranya menderita cacat bawaan atau pun mengalami cacat pasca masa kelahiran akibat beragam insiden.

Sebagian besar kasus disabilitas yang terjadi pasca kelahiran disebabkan gizi buruk, kemiskinan, minimnya pengetahuan soal kesehatan, dan kecerobohan dalam menjaga kesehatan serta beragam faktor lainnya yang merupakan dampak dari ketertinggalan masyarakat.

Menurut perkiraan Bank Dunia, 20% dari penduduk termiskin di dunia adalah kalangan penyandang disabilitas. Beragam hasil penelitian menunjukkan, persoalan utama yang banyak dihadapi penyandang disabilitas saat ini ternyata bukan hanya disebabkan oleh faktor kesehatan, tapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya.

Sebagian besar penyandang disabilitas mengalami persoalan fisik, budaya dan sosial. Hambatan sosial, merupakan salah satu penghalang utama bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh fasilitas publik yang layak. Di sisi lain,tidak adanya pandangan sosial yang obyektif telah meminggirkan penyandang disabilitas dari lingkaran interaksi sosial yang sehat.

Yang lebih ironis lagi adalah nasib perempuan penyandang disabilitas. Adanya diskriminasi terhadap perempuan penyandang disabilitas untuk memperoleh layanan kesehatan, pendidikan kerja dan keterampilan, serta layanan sosial lainnya membuat persoalan yang dihadapi perempuan penyandang disabilitas semakin berat. Yang jelas, baik lelaki ataupun perempuan penyandang disabilitas, sama-sama mengalami keterbatasan dan kesulitan dalam kehidupannya. Tanpa bantuan yang lain, tentu persoalan tersebut tidak akan bisa terselesaikan.

Selama dua dekade belakangan, beragam upaya untuk mensosialisasikan persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas kepada masyarakat dunia telah diupayakan secara luas. Salah satu tonggak penting dari upaya itu adalah penetapan tahun 1981 sebagai Tahun Penyandang Disabilitas Sedunia oleh Majelis Umum PBB. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dunia di tahun tersebut mulai memberikan perhatian bagi perbaikan kualitas hidup penyandang disabilitas yang didasarkan pada prinsip persamaan kesempatan dan partisipasi penuh dalam berbagai aspek kehidupan.

Setelah itu, tahun 1982 PBB mengesahkan undang-undang program internasional terkait masalah penyandang disabilitas. Undang-undang ini sejatinya merupakan pedoman untuk merancang beragam program nasional yang terkait dengan persoalan penyandang disabilitas di setiap negara.

Berikutnya, PBB mencanangkan selang waktu antara tahun 1983 hingga 1992 sebagai Dekade Penyandang Disabilitas Sedunia. Langkah itu dilakukan untuk meningkatkan peran aktif penyandang disabilitas dalam kehidupan sosial. Kemudian pada tahun 1993, PBB menyempurnakan konvensi tahun 1982 dengan menambahkan aturan standarisasi bagi persamaan kesempatan penyandang disabilitas dalam berbagai aspek.

Untuk mempertegas komitmen itu, pada Desember 2006 melalui sidang Majelis Umum, PBB mensahkan Konvensi Lengkap Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Seluruh negara-negara yang meratifikasi konvensi tersebut berkewajiban untuk menerapkan beragam kebijakan untuk mendukung hak-hak penyandang disabilitas dan menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap mereka.

Pemerintah Republik Indonesia secara yuridis juga telah berusaha menjamin hak-hak para penyandang disabilitas dengan menerbitkan undang-undang dan peraturan pemerintah. Peppres No.75 tahun 2005  mengatur mandat pelaksanaan aksi-aksi di bidang penyandang disabilitas. Kemudian, Undang-Undang No. 19 tahun 2011 merupakan rativikasi tentang konvensi PBB tentang hak-hak penyandang disabilitas. Terakhir, upaya yuridis pemenuhan hak penyandang disabilitas diatur secara lebih komprehensif melalui UU No. 18 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Undang-undang yang terakhir tentang penyandang disabilitas tersebut dapat dibilang sangat progresif. Penyandang disabilitas bukan saja mereka yang mengalami disabilitas secara fisik, tetapi disebutkan pula disabilitas psikososial untuk orang yang mengalami disabilitas mental atau gangguan jiwa.

*** Diolah dari berbagai sumber.

Facebook Comments Box

Pos terkait