Kisah Budidaya Manding Lokal dan Lamtoro Gung di Gunungkidul

Lamtoro lokal dan lamtoro gung. Dok: Kiswanto.

Lamtoro atau Kemlandingan nama binomialnya genus Leucaena merupakan jenis tumbuhan perdu berbunga sub famili mimosoideae dari keluarga kacang-kacangan. Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah dan Mexico mulai masuk ke Indonesia diperkirakan ratusan tahun yang lalu , sehingga hidup dan beradaptasi dengan baik terutama di Pulau Jawa.

Leucaena Leucocephala varietas Leucocephala di Gunungkidul lazim disebut mlanding atau manding yang saking lamanya sehingga tidak diketahui kapan mulai masuknya. Bahkan dianggap tanaman manding merupakan tanaman lokal yang tumbuh merata di wilayah Kabupaten Gunungkidul.

Bacaan Lainnya

Wilayah kabupaten Gunungkidul sebagian besar merupakan lahan kering dengan topografi dataran, berbukit-bukit hingga bergunung yang rentan terhadap erosi. Sehingga kehadiran tanaman manding memang ada kesengajaan sejak awal mengingat tanaman ini memiliki sejumlah kelebihan.

Keunggulan tanaman manding, pertama mudah ditanam,cepat tumbuh, produksi tinggi dan memiliki komposisi asam amino yang seimbang. Kedua secara morfologi merupakan tanaman semak atau perdu dengan tinggi hingga 20 meter.

Menurut penelitian BPPTP DAS Solo dalam hal mencegah erosi tanaman manding mampu melindungi tanah dari air hujan dan terpaan angin.Dengan demikian tanah menjadi stabil dan terhindar dari erosi serta gerusan aliran air permukaan.

Disamping mencegah terjadinya erosi tanaman manding memiliki berbagai berfungsi di antaranya :

  • memperbaiki struktur tanah
  • menambah bahan organik
  • menekan gulma
  • menjaga kelembaban tanah
  • menyediakan unsur hara
  • menjadi sumber bahan pangan dan pakan
  • menambah biodiversitas.

Karena berbagai keunggulan tanaman ini sangat masuk akal manakala pohon manding sengaja dikembangkan di Gunungkidul sejak dahulu kala. Terutama untuk kepentingan penghijauan lahan kritis di Gunungkidul era Bupati Darmakum Darmokusumo 1974 – 1984, tanaman manding ditanam secara luas dengan cara menyebarkan bijinya lewat udara.

Barangkali karena kondisi lahan saat itu sangat kritis, maka biji manding mimosa glauca yang tumbuh kurang subur di sela batu kapur bertanah itu familiar dengan sebutan manding sabrang. Berfungsi utama untuk pembelukaran dan penguat teras.

Sementara biji yang tumbuh pada lahan yang tidak kritis dapat tumbuh normal, sehingga dapat berfungsi sebagai peneduh, mencegah erosi, pupuk hijau, penyedia hijauan pakan ( HPT ) ternak, kayu bakar, dan bahan pangan.

Untuk HPT jika ditanam dengan populasi 5000 batang per hektar akan berproduksi antara 20 – 60 m³ / ha / tahun , sehingga dapat membantu kecukupan penyediaan pakan ternak ruminansia.

Namun perlu diketahui bahwa dari daun dan biji manding terkandung zat mimosin yang dapat menyebabkan bulu rontok, fertilitas menurun, gangguan kelenjar tiroid dan katarak. Hal tersebut terjadi apabila pemberian pakan berlebihan dan secara terus menerus selama 6 bulan.

Penyediaan HPT dari tanaman manding dapat membantu penyediaan pakan ternak terutama saat musim kemarau panjang.

Sebagai kayu bakar, kualitas manding bagus dengan nilai kalori 19,250 kJ/kg sedangkan untuk arang sangat baik dengan nilai kalori 48,400 kJ/kg.

Sedangkan untuk bahan pangan diantaranya untuk pembuatan botok dan tempe manding yang cukup familiar di Gunungkidul. Biji manding memiliki nilai gizi nyaris seimbang dengan biji kedelai, khusus kandungan proteinnya justru lebih tinggi 46,40 gr sementara kedelai 40,00 gr / 100 gr biji.

Karena hal tersebut sehingga tidak mengherankan kenapa di Gunungkidul sejak lama telah memanfaatkan biji manding untuk pembuatan tempe dan botok.

Tanaman manding dapat menghasilkan pupuk hijau hingga 70 ton / ha / th segar, atau setara dengan berat kering kl 20 ton / ha / th.

Sebagai tanaman penghijauan pohon manding tahan kering dan perakarannya mampu menembus tanah dan atau bebatuan kapur yang keras seperti Gunungkidul zona Pegunungan Sewu. Selama kurun waktu yang panjang hingga sekitar tahun 1985, tanaman manding dapat dijumpai di seluruh wilayah kabupaten Gunungkidul dengan populasi yang sangat banyak.

Mengingat pertumbuhan jumlah penduduk dan ternak semakin bertambah maka sekitar tahun 1980 – 1981 masuk dan diperkenalkan Leucaena Leucocephala varietas glabrata atau yang terkenal dengan nama Lamtoro Gung. Lamtoro Gung atau lamtoro besar dan unggul merupakan sub spesies baru dari luar negeri diperkirakan juga dari Amerika Tengah.

Pengenalan awal tanaman Lamtoro Gung dimulai lewat Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam ( UP UPSA) seluas 10 hektar untuk peragaan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah ( RLKT) terasering dengan tanaman semusim serta penguat teras dan vegetasi tetap untuk lahan miring lebih 45 %.

Sekitar 5 tahun masuk ke Gunungkidul Lamtoro Gung yang sebenarnya tidak ada bedanya dengan manding “lokal”. Dari segi kandungan kimia anorganik dan organiknya kecuali beda besaran biji dan kecepatan pertumbuhan sehingga digandrungi masyarakat luas. Sehingga berkembang cepat ke seluruh wilayah Gunungkidul baik di tanah tegalan, sawah , dan pekarangan warga masyarakat.

Tetapi tahun 1986 tidak pernah diduga sebelumnya muncul malapetaka hebat berupa hama kutu loncat (Heteropsylla Cubana). Serangan hama ini tidak dapat dikendalikan tidak saja di Gunungkidul, Indonesia, bahkan seluruh dunia, sehingga memusnahkan seluruh tanaman lamtoro, baik manding lokal maupun lamtoro gung.

Hama yang sebelumnya tidak pernah ada di Gunungkidul khususnya dan Indonesia umumnya ini sangat sulit dikendalikan, walaupun pemerintah telah berupaya untuk menekan perkembangan kutu loncat dengan menggunakan hewan predatornya Curinus Coeruleus M yang didatangkan dari Hawai 1987.

Kerugian luar biasa akibat serangan kutu loncat yang diduga juga merupakan hama impor mengiringi masuknya si Lamtoro Gung. Diperkirakan hama kutu loncat muncul pertama kali sekitar tahun 1980 – 1981 di Amerika Tengah dan Mexico di mana tanaman lamtoro berasal.

***

Klaten, 10-10-20 20

 

Facebook Comments Box

Pos terkait