Kisah Sutego: Tragedi Anak yang Tak Mengenal Bapak

SUTEGO, pemuda berumur 21 tahun itu menuliskan memori akhir hidupnya dengan paku. Memorinya itu berbunyi, “7 Agustus 1999, jam 12“. Catatan itu tertoreh para genting bagian dalam dekat bubungan rumah. Ia kemudian memasang tali yang diikatkan pada usuk dan lehernya sendiri.

Bacaan Lainnya

Di saat kritis itu, apakah ia sempat berdoa dan menyebut asma Allah SWT? Tidak ada yang tahu. Padahal, sejak kecil dia rajin mengaji dan khusyuk melakukan salat 5 waktu. Ia terbilang tekun beribadah sesuai ajaran agama yang dianutnya. Jadi, bisa dikatakan, misalnya sedetik saja ia memohon pertolongan dengan sepenuh hati kepadaNya. Tidak mungkin Allah SWT mrmbiarkan tangan dan nafsu Sutego mengakhiri hidupnya di tali gantungan itu.

Namun, semua sudah terlanjur. Peritiwa telah terjadi. Tali telah menjerat. Jantung sudah berhenti berdetak. Hidup Sutego selesai pada hari itu. Tetapi bukan karena kehendak Allah SWT, melainkan disengaja oleh dirinya sendiri karena tak kuasa lagi nandhang wirang atau menanggung malu di dunia.

Maka dalam waktu singkat, Dusun Kauman Desa Dadapayu Kecamatan Semanu geger. Umyeg nemoni lelakon ala (ribut menemui kejadian buruk). Kabar pun segera menyebar dengan cepat. Dari mulut ke muut, dari rumah ke rumah. Sutego nglalu. Sutego mati bunuh diri, menggantung di rumahnya sendiri.

Mendengar Sutego mati, Kauman ada sripah, serentak orang-orang berlarian ke rumah Surem, rumah bambu tua sederhana yang menyimpan banyak rahasia. Namun, begitu mereka tiba di sana, ternyata yang perlu mendapat perhatian, bukan hanya mayat Sutego, tetapi juga Surem. Simbok-nya Sutego yang nggulung koming. Ia menangis meratapi kematian sang anak, sekaligus meratapi nasibnya sendiri yang surem, buram. Sambil di-gujer (dipegangi) para tetangga, Surem menangis sejadi-jadinya. Airmatanya terkuras deras, seakan berwarna coklat keruh seperti air Telaga Kauman di musim kemarau yang keruh coklat.

Hari itu Surem merasa seakan-akan terperangkap dalam ruang yang pengap dan sunyi. Ke mana pun ia melangkah, selalu mengarah ke dinding yang tinggi menjulang. Semua jadis serba salah. Diam tak bisa bergerak, tak tahu harus bagaimana. Kanan kirinya terasa gelap. Kenangan masa lalu semakin menyekap. Sementara, tanpa mengaca pun, dirinya yakin, wajahnya telah mulai berkeriput. Uban bertebaran. Tulang-tulangnya sudah keropos dan rapuh. Meskipun ia memakai bedak, nilainya tiggal sebesar logam yang disepuh.

Meskipun demikian, kemarin Surem masih punya mimpi. Masih menyimpan angan-angan. Di sampingnya ada Sutego, anak yang di-gadhang-gadhang kelak menjadi “orang”. Setelah Sutego mati, siapa lagi yang akan dilabuhi sampai ia harus mbatur di keluarga Pak Kades Suradi? Untuk apa membanting tulang, mengais remah-remah kehidupan sebagai pembantu rumah tangga. Pekerjaan yang bertahun-tahun digeluti, namun berkali-kali pula telah mencampakkan dirinya ke dalam berbagai kesulitan yang tak kunjung henti.

Tiba-tiba, semangat hidup Surem seperti lenyap. Nyaris kehilangan motivasi, emosi, kemauan, untuk tengadah memandang matahari esok pagi. Jauh berbeda dengan dulu ketika ia masih muda. Sebagai anak perempuan dari kalangan pidak pedarakan atau rakyat jelata, ia sangat mendambakan bagaimana supaya dapat bekerja. Pekerjaan apa saja dilakukan agar kehidupannya jadi lebih baik. Akan tetapi, peluang-peluang yang ia peroleh selama ini hanya menjadi pembantu rumah tangga, menjadi rewang, alias babu, alias batur. Profesi yang belakangan mulai dibenahi oleh berbagai pihak dengan sebutan sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Surem menjalani pekerjaan tersebut bukan hanya setahun dua tahun, melainkan semenjak ia masih muda. Sejak ia masih perawan usia belasan. Meskipun tak berpendidikan, Surem bisa menilai, bahwa hidup di Gunungkidul pada awal tahun 70-an ibarat rumput. Untuk berkembang dan memanjang hanya menunggu hujan yang setiap tahun datangnya belum tentu tepat dan memuaskan. Karena itulah, dia ingin “menguak takdir”. Mencari kemungkinan baru di luar sana. Meninggalkan keluarganya yang hidup mati berserah diri pada tanah, musim, dan matahari.

Padahal, bila musim kemarau tiba, tanah di sana menjadi demikian kering. Kadang sampai nela (retak-retak) dan tak bisa ditanami. Mencari rumput pun sering harus nglajo, luru teban atau mencari lahan sampai ke pinggir-pinggir hutan. Kebutuhan hidup dari hari ke hari terus mencekik. Bukan hanya sekali dua kali, yang ada tinggal gaplek yang harga jualnya tak beranjak membaik. Sehingga jika dalam keadaan kepepet, mereka cenderung bertindak kanibal. Menjual apa saja yang bisa menghasilkan uang. Seperti pohon jati, ayam, barang rumah tangga, atau ternak. Bahkan tidak jarang pasa masa seperti itu ada yang menjual sebagian tanah yang dimilikinya.

Karena situasi lingkungan yang demikian mengenaskan itu, Surem memilih mengadu nasib ke kota. Namun, ke kota mana dia bekerja, ia tidak pernah mengatakannya. Saudara dan tetangga tidak diberi tahu. Entah di Wonosari, Yogyakarta, Sleman, Bantul, Solo, Semarang, atau Jakarta. Hanya Surem sendiri yang tahu.

Celakanya, Surem memasuki kota benar-benar sebagai migran dengan kondisi miskin secara multidimensional. Miskin secara ekonomi, miskin pendidikan, miskin ketrampilan, dan miskin akses informasi. Dengan kata lain, sebenarnya dia sangat tidak siap melakukan proses transformasi dari budaya “lama” ke budaya “baru”. Akibatnya, dia gagal beradaptasi dengan baik. Dan terbukti, Surem harus membayar ongkos yang cukup besar untuk mewujudkan cita-citanya bekerja dan hidup sebagai “orang kota”.

Pertama kal Surem bekerja ke kota, boleh dikata tak pernah menengok keluarganya di Dadapayu. Tetangga dan saudara-saudaranya menduga karena kesibukannya yang tidak bisa ditinggalkan. Di samping memang belum punya tanggungan (suami), jadi wajar kalau dia bekerja keras supaya punya uang banyak, bisa ditabung untuk keperluannya sendiri, maupun untuk membantu kehidupan keluarga di Dadapayu.

Namun malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Belum genap satu tahun, pada suatu hari Surem pulang. Tapi tidak sendirian. Di perutnya ada janin bayi. Meski semua dirahasiakan, akhirnya hal itu ketahuan juga. Kontan, Surem menjadi kembang lambe (buah bibir), menjadi topik rerasanan orang di mana-mana. Ketika di tegal, telaga, bertemu di warung, sewaktu jagongan, kasus Surem tak luput disebut dan dikomentari panjang lebar habis-habisan.

Sebagian besar mereka menghujat. Mencibir. Kadang sampai ada yang memaki. Menilai Surem perempuan gampangan, murahan, moralnya bejat, tidak punya malu, membuat aib keluarga, tetangga, dan kampung. Untung, dia ada di luar kampung. Coba kalau terjadi di Kauman, masyarakat tak akan mengampuni lagi. Tak ada kata maaf bagi perbuatan zina seperti itu.

Meskipun orang-orang membicarakan dirinya sampai entek amek kurang golek, Surem tak menanggapi semua itu. Mulutnya tetap terkatup, tenggorokannya tetap terkunci. Setiap hari berdoa, supaya hatinya bisa dingin. Rerasanan orang dapat terbuang bersama angin. Sebab, dirinya bukan tidak tahu angger-angger dan wewaler (hukum dan larangan). Dirinya tidak buta, dan mampu membedakan mana yang salah, mana yang boleh disentuh, mana yang tak boleh dilanggar.

Tapi, semua sudah terlanjur. Dan Surem telah bertekad menebusnya. Memelihara buah hatinya itu tanpa banyak bicara. Sebab, dirinya sadar, dia hanya wong cilik yang tidak memiliki drajat, pangkat, dan semat. Salah sedikit saja pasti dibesar-besarkan. Apalagi sampai dinilai masyarakat bertindak nasar atau menyimpang, dirasani turut lurung itu sudah wajar. Surem tak akan membela diri.

Untuk apa melawan masyarakat? Madoni atau membantah tetangga dan kaum kerabat? Mereka akan ngomong apa dan sampai di mana, Surem tidak peduli, termasuk pertanyaan mereka mengenai siapa bapak si bayi. Gimin, kakaknya sendiri yang berkali-kali menanyakan hal itu pada dirinya, tak pernah berhasil. Apapun resikonya, Surem tak akan menyebut nama itu.

Setelah melewati masa yang cukup sulit dan menegangkan, akhirnya Surem melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Suwati. Meskipun kemarin-kemarin semua tetangga ngrasani, akan tetapi, ketika mereka mendengar tangis bayi, mereka tetap berbondong-bondong datang. Mereka tilik bayi sebagaimana kebiasaan yang telah mendarah-daging di pedesaan.

Malamnya ada bancakan kecil-kecilan, jagongan. Diam-diam, dalam hati Surem merasa bersyukur. Para tetangga berdatangan, anak-anak ramai ngepung brokohan. Para lelaki bersedia lek-lekan sampai pupak-puser-nya si bayi. Hal itu berarti orang-orang kampung bersedia menerima kehadiran Suwati. Dan memang demikianlah tradisi di Jawa, di mana kehamilan di luar perkawinan yang sah akan dinilai, namun setelah sang bayi lahir, masyarakat bersedia menerima apa pun aib dengan arif. Sebab, menurut mereka, yang salah adalah perbuatan orang tuanya. Si bayi tidak tahu apa-apa. Kedatangannya harus dibancaki, disyukuri, karena dia adalah amanah Tuhan yang diturunkan ke bumi.

Kehadiran Suwati adalah kasus yang pertama. Dan, ternyata kasus seperti ini berulang lagi sampai 3 kali. Berarti, Surem punya 3 orang anak tanpa “bapak”. Dua perempuan, satu laki-laki, yaitu Sutego. Sementara yang bersangkutan belum pernah menikah, belum pernah mempunyai suami yang sah. Kehidupan Surem menyimpan rahasia besar yang tak pernah dibeberkan. Punya 3 orang anak, sementara dirinya tak bersuami, sudah merupakan keajaiban tersendiri. Pertanyaannya, apakah ketiganya berasal dari lelaki yang sama?

Siapa tahu, masing-masing anak adalah hasil hubungan dengan laki-laki yang berbeda. Itulah yang menjadi pemikiran banyak orang. Jika demikian, perbuatan Surem memang benar-benar keterlaluan. Liar, amoral, dan sangat memalukan lingkungan.

Meskipun dalam hati orang Kauman tida suka dengan perbuatan Surem di kota, akan tetapi ketika dia kembali ke tanah kelahirannya, masyarakat tak bisa berbuat apa-apa, kecuali ngrasani, suatu perilaku bersama yang telah menjadi kebiasaan sejak dulu kala.

Di Kauman, Surem tinggal bersama Ginem, kakak perempuannya. Ginem memiliki perangai yang eksentrik. Meskipun fisiknya perempuan tulen, tetapi perangai dan perilakunya seperti laki-laki. Gara-gara itu, Ginem memilih menjadi perawan seumur hidup. Sampai tua tak menikah.

Rumah yang ditempati kakan beradik itu terletak di pinggir dusun, berbatasan dengan perbukitan kapur yang banyak ditumbuhi bermacam jenis kayu, sehingga mirip dengan hutan. Tanah yang mereka tempati berasal dari warisan orang tua. Selama tinggal di Kauman, Surem meneruskan perkerjaan lamanya, menjadi pembanu rumah tangga, buruh momong (mengasuh anak) di keluarga Pak Kades Suradi.

Jika Surem cukup tabah menghadapi rerasanan, hujatan, serta cercaan yang bertubi-tubi dari kanan-kiri, tidak demikian halnya dengan Sutego. Sebagai pemuda, sebagai laki-laki, ternyata hatinya tak setegar simboknya. Mendengar suara-suara yang menyatakan dirinya sebagai “anak kowar” (tidak punya bapak), membuat hatinya goyah. Virus yang dimuntahkan mulut-mulut usil yang tak bertanggung jawab itu pelan-pelan termakan, tertelan, dan sedikit demi sedikit menggerogoti, sampai kekuatan pribadinya habis sama sekali.

Sebenarnya, dalam pertumbuhannya, Sutego tumbuh sebagai anak baik. Sejak kecil sudah tampak kalau dia anak yang sregep bekerja, juga rajin belajar mengaji di masjid. Setiap hari menjalankan salat lima waktu dengan tertib, puasa di bulan Ramadhan tak pernah lowong. Sopan santun dan budi pekertinya sangat dijaga. Dengan kata lain, unggah-ungguh Sutego mapan, baik sebagai pemuda Islam, maupun pemuda Jawa yang besar di perdesaan.

Melihat Sutego yang seperti itu, Kades Suradi tidak sampai hati membiarkan si anak “terlantar”. Dengan ikhlas dia menyekolahkan Sutego sampai SMP Muhammadiyah. Pak Kades berharap, semoga satu-satunya anak lelaki Surem itu nantinya dapat mbengkus (menghapus) sejarah keluargaya yang terlanjur “hitam”.

Selain disekolahkan oleh Pak Kades, ia diharuskan menabung. Sejak kelas satu SMP, sedikit demi sedikit Sutego menyimpan uang dari hasil yang diperolehnya. Dari hasil tabungan tersebut dia dapat membeli seekor kambing.

Setelah beberapa tahun, kambingnya beranak-pinak. Setamat SMP, ia ingin kambing-kambing  itu dijual dan dibelikan sapi. Keinginannya itu berhasil tercapai berkat bantuan Pak Kades yang memberikan uang tambahan, sehingga hasil penjualan kambing cukup untuk membeli seekor lembu bakalan (sapi muda yang mempunyai ciri-ciri yang bagus untuk dipelihara sebagai lembu kareman atau pedaging).

Tamat SMP, Sutego tak bercita-cita untuk melanjutkan sekolah sebagaimana lazimnya anak-anak setempat. Hanya anak dari keluarga terpandang dan berkecukupan saja yang memeruskan ke SMU dan perguruan tinggi. Dalam hati, Sutego telah cukup puas dapat mengenyam pendidikan sampai SMP. Sebab, banyak anak-anak lain sebanyanya hanya lulusan SD, bahkan tak jarang cuma sampai kelas empa atau lima. Mereka harus membantu keluarga, mencari kayu, angon (menggembala) sapi, ikut mencangkul, dan sebagainya.

Meskipun demikian, sambil sekolah, Sutego juga bekerja, mencari pakan ternak, mencari kayu, serta mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Sebab kehidupan di desa lain dengan kota. Di desa, belajar di bangku sekolah dengan belajar bekerja, sama pentingnya. Maka, di sana tidak ada alasan prestasi belajar di sekolah menurun karena terlalu banyak bekerja. Jadi, ada kesan, bahwa sekolah bukan untuk mencari ilmu, melainkan demi kepantasan belaka.

Berbekal ilmu yang pas-pasan, ada banyak pemuda dan perawan Gunungkidul berusaha mencari beragam jalan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Caranya dengan merantau ke kota. Di sana mereka berdagang, menjadi buruh, atau bekerja apa saja yang penting halal dan menghasilkan uang. Situasi yang membahagiakan para perantau, agaknya ketika pulang mudik menjelang Lebaran. Betapa bangganya mereka, datang dengan berpakaian bagus, membawa oleh-oleh, dan juga membawa cukup uang banyak. Selain itu, kulit dan badan mereka tampak lebih bersih. Gaya hidup nguthani, seperti membaca koran dan majalah, ngomong dengan bahasa Indonesia logat perkotaan. Akibatnya, sekembalinya dari desa sering diikuti teman atau tetangga yang kepincut mengenyam nikmat bekerja dan hidup di kota yang rasanya “lebih mudah” dibandingkan berjuang di tanah kelahirannya sendiri selama ini.

Uniknya, Sutego justru tak bergeming melihat anak-anak muda “sukses” bekerja di kota. Dengan mantap ia memilih hidup di Kauman, tinggal di gubug tua bersama simbok dan mbokde-nya. Sebuah sikap sikap yang patut dihargai. Akan tetapi, pilihan tersebut akhirnya malah menjadi bumerang. Membawa malapetaka yang tak pernah dibayangkan.

Sejak kecil, sebenarnya Sutego sudah merasakan perlakuan yang “menyakitkan” dari masyarakat. Dulu, jika ia bertengkar dengan anak-anak sepermainan dan sampai jothakan (berseteru dan tidak saling sapa), sering terdengar mereka mengejek dengan sebutan “anak kowar“, tidak punya bapak. Yang lain menimpali, barangkali bapaknya batu. Atau mungkin malah hantu!

Sutego bisanya hanya menangis. Ia ingin melawan, tapi tidak pernah dilakukan. Bukan tidak berani, melainkan karena dilarang simbokna. Lebih celaka lagi, ketika tersiar kabar bahwa sekolahnya dibiayai Pak Kades. Pernah Sutego mendengar rerasanan yang keterlaluan, yang mengatakan kalau Surem, simboknya menjadi dhemenan (perempuan simpanan) Pak Kades, makanya Sutego sampai disekolahkan segala. Kalau tidak ada apa-apanya, tidak ada udang di balik batu, mengapa Pak Kades keraya-raya ngurusi dirinya, yang nota bene orang lain, tak ada hubungan keluarga sama sekali.

Setiap mendengar kata-kata seperti itu, baik langsung maupun tidak langsung, hatinya terasa perih seperti ditusuk duri. Bagaimana tidak? Bukan hanya orang se-Kauman saja yang bertanya-tanya siapa bapaknya. Dirinya pun juga mempertanyakan hal yang sama. Dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, tapi sampai bertahun-tahun belum juga ditemukan jawaban yang memuaskan.

Sesekali dia pernah menanyakan hal itu pada kakaknya, Suwati, anak sulung Surem yang telah menikah dengan lelaki dari Karangmojo dan kini tinggal di Yogya. Mendengar pertanyaan itu, Suwati malah meneteskan air mata. Demikian pula emboknya. Sepintas Surem sempat menyelipkan harapan ke hati si anak, dengan mengatakan bahwa bapakya kini berada di Sumatera. Tetapi, setiap dikejar siapa namanya, pekerjaannya apa, berasal dari mana, orangnya seperti apa, Surem kembali bungkam. Matanya menerawang, lama-lama menjadi merah, dan basah. Seakan ada beban sedemikian berat menghimpit batin si embok, sehingga dia tak mampu mengucap sepatah kata pun sesuai dengan keinginan anaknya.

Saat-saat yang paling menyakitkan bagi Sutego, adalah ketika penerimaan ijazah SMP. Ketika itu, semua orang tua murid datang. Kebanyakan laki-laki, bapak masing-masing anak. Tetapi ijazahnya yang mengambil simboknya, salah satu dari sedikit perempuan yang hadir di sana. Merasakan kenyataan itu, Sutego benar-benar menangis. Diam-diam ia menyelinap pulang, mendahului Surem. Sesampai di rumah, ia menjatuhkan diri ke dipan. Pikirannya melayang, benarkah bapaknya tinggal di Sumatera? Kalau masih hidup, mengapa tak pernah datang?

Ataukah benar seperti kata-kata orang? Bahwa bapaknya tidak jelas, dan selanjutnya, dan selanjutnya. Karena menanggung malu yang berkepanjangan, tanpa disadari Sutego jadi merasa rendah diri. Saat duduk di bangku SMP, ia berubah menjadi pendiam, jarang menyapa orang lain, dan hanya menjawab sekadarnya jika kebetulan ditanya oleh siapa pun. Ke mana-mana memilih jalan yang sepi, supaya tidak bertemu banyak orang.

Satu-satunya tempat yang paling aman, paling menenteramkan adalah masjid. Karena itulah, keseharian Sutego lebih banyak di sana. Rumah dan lingkungan kampung seperti neraka. Rasanya semua orang mencibir, memandang dengan sebelah mata. Tak ada lagi tempat untuk bernafas dan berbicara bagi orang yang dinilai kotor macam dirinya.

Sebenarnya, Surem juga menyadari bahwa Sutego sudah besar. Sebagai anak laki-laki, mungkin dia bisa di-blakani (diberi pengakuan) siapa bapaknya dan bagaimana sejarah dirinya. Tapi, Surem senantiasa maju-mundur. Ragu-ragu, was-was jika Sutego terkejut atau marah mendengarnya. Lagi pula, apakah dengan memberi tahu anaknya, kisah tersebut tidak akan menyebar ke mana-mana? Saat menjelang kematian Sutego, sesungguhnya Surem hampir menemukan kebulatan tekad untuk mengatakan yang sebenarnya.

Apapun yang terjadi, masa lalu itu akan digelar. Si anak harus tahu liku-liku yang menyebabkan kelahirannya. Tetapi agaknya seperti kata pepatah, manusia hanya bisa merencanakan, Tuhanlah yang menentukan. Sekali lagi Surem terlambat menyadari pelbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Terlambat mengantisipasi belitan permasalahan yang muncul pelan dan pasti di hati anaknya sendiri. Sampai Sutego mati, dia belum menceritakan apa yang dimintanya. Sampai pada hari Sabtu Wage 7 Agustus 1999, dia gagal menyelamatkan si buah hati dari terkaman malapetaka yang dibuat oleh tangannya sendiri.

Pertengahan tahun 1999, jutaan rakyat kecil di seluruh pelosok negeri Indonesia tak terkecuali masyarakat kelas bawah di Kabupaten Gunungkidul masih tersengal-sengal akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Seperti keluarga Surem, kehidupannya nyaris tergantung pada keluarga Pak Kades Suradi. Untungnya, Pak Kades sekeluarga selalu ikhlas dalam membantu. Tak pernah memperhitungkan apa yang telah diberikan dan dihitung sebagai utang-piutang. Sebagai orang yang lebih mampu, mereka merasa harus ikut meringankan beban orang lain. Apalagi Surem sudah mengabdi sekian lama dan dianggap keluarga sendiri.

Hari itu, pagi-pagi Sutego pamit mencari pakan sapi. Simbok dan mbokdhe-nya tidak menaruh curiga apa pun. Kira-kira setengah sebelas Sutego pulang, dengan membawa ikatan pakan lebih banyak dari biasanya. Setelah memberi makan sapi lalu mandi. Selesai mandi berpakaian. Mengenakan sarung dan eci, menunggu datangnya waktu shalat Zuhur. Ketika itu rumah sepi. Surem sedang ada di rumah Pak Kades, sementara Ginem sedang antri pembagian sembako di Balai Desa.

Kira-kira pukul satu Ginem pulang. Begitu masuk ke dalam rumah, ia langsung menjerit. Berteriak minta tolong dan menangis sejadi-jadinya. Sebab, dengan mata kepala sendiri, dia menyaksikan bagaimana kemenakannya mati tergantung pada usuk dekat bubungan rumah. Anehnya, wajah Sutego tidak mengerikan. Matanya terpejam, mulutnya tertutup, lidahnya tidak menjulur keluar. Seolah-olah kematiannya begitu tenang. Jauh berbeda dengan kondisi orang menggantung lainnya.

Mayat Sutego akhirnya diturunkan oleh tiga orang polisi, karena warga setempat tak ada yang berani turun tangan. Dalam mengurus jenazah, ada warga yang berpendapat agar mayat tersebut tidak perlu dimandikan. Tetapi atas kebijakan Pak Kades, jenazah Sutego akhirnya dirukti (diperlakukan) sebagaimana layaknya kematian biasa. Yaitu dimandikan (disucikan), dikafani, dan seterusnya. Agar pulung gantung meninggalkan Kauman – sebagaimana kepercayaan masyarakat setempat – beberapa barang yang digunakan menggantung dibakar. Termasuk tali sapi yang mengantarkan Sutego berangkat ke alam baka.

Hampir seminggu Kauman dicekam ketakutan. Entah karena takut dengan kematian Sutego, atau takut menghadapi mitos pulung gantung. Namun, mereka yang berempati pada Sutego justru menilai lain. Mengapa orang-orang Kauman merasa ketakutan adalah karena mereka menyadari, merekalah yang menyebabkan Sutego bunuh diri. Omongan, sindiran, hujatan, rerasanan, yang tak henti-hentinya dilontarkan pada Sutego dan Surem ternyata lebih tajam dari sembilu. Lebh berbahaya dari bisa ular kobra. Buktinya, Sutego memilih pergi meninggalkan kampung halaman yag tak memberi nafas segar bagi dirinya.

Sejak kematian anaknya, Surem dan Ginem seperti kehilangan pegangan. Di Kauman, ia semakin tak kerasan. Akhirnya rumah mereka dijual. Konon, hanya laku seratus ribu Rupiah. Tapi, Surem tetap bersyukur. Masih ada yang mau membeli. Sebab, menurut kepercayaan setempat, rumah tersebut rumah sudah terhitung sangar (menakutkan) karena pernah makan korban. Setelah dibeli, paling hanya dibongkar sebagai kayu bakar. Surem dan Ginem kemudian ikut Suwati, anak sulungnya yang berjualan bakso di Yogyakarta.

~~~~

Apakah sesudah Sutego mati, Surem dan Ginem pindah ke Yogya, rerasanan tetangga berhenti dengan sendirinya? Ternyata belum. Namun, rerasanan yang berkembang lebih menarik untuk didengarkan, dicermati, dan direnungkan. Sebab, topik pembicaraan mereka berubah. Mengenai seputar nama. Nama Surem dan Sutego.

Menurut orang kampung, pemberian nama Surem dan Sutego ternyata berakibat buruk pada keduanya. Surem berarti buram atau redup. Terbukti, nasib Surem juga senantiasa kesurang-surang (banyak menderita kesusahan) dan tidak bahagia. Demikian pula Sutego. Tego berarti lila (rela). Akhirnya semua orang harus merelakan kepergiannya semasa dia masih jejaka. Semua pihak harus negakake (membiarkan) si anak menyelesaikan hidupnya dengan cara menggantung diri.

Di Jawa, masyarakat meyakini, perkara memberi nama harus diperhitungkan dengan cermat. Sebab, nama bukan sekadar panggilan. Arti makna nama tersebut akan merasuk mewarnai hidup dan kepribadian yang bersangkutan. Persis seperti doa yang disampaikan Mbah Dukun Bayi ketika bancakan jenang abang-putih saat pemberian nama bayi. Di sana dia menyampaikan: “Ilange jenang manjing dadi jeneng ….“. Terjemahan bebasnya, begitu jenang tersebut dimakan, maka nama yang diberikan orang tua pun akan merasuk ke dalam pribadi sang bayi.

Benar-tidaknya pendapat tersebut, yang jelas Sutego telah menjadi “korban” kebiasaan ngrasani masyarakat perdesaan yang kadang memang sangat keterlaluan. Sebuah potret buram dari mendarah-dagingnya tradisi ngrumpi, yang sudah waktunya dikikis oleh semua pihak, baik perempuan maupun laki-laki, dari lapis masyarakat bawah hingga para pejabat tinggi.

~~~~

Serial kisah nyata ini merupakan cukilan terakhir SwaraGunungkidul dari buku Talipati (Jalasutra, 2003) yang ditulis oleh Imam Budhi Santosa dan Wage Dhaksinarga. Atas seijin penulis, dimuat di SwaraGunungkidul sebagai sarana menyemai pemahaman dan kesadaran bahwa peristiwa bunuh diri dapat dapat dicegah secara bersama-sama dengan cara menjadi masyarakat yang tanggap dan peduli terhadap diri sendiri dan sesama. Mengikis dan melawan stigma yang dilekatkan pada pelaku, keluarga, juga anggota masyarakat juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam membangun masyarakat yang tanggap, peduli, dan semakin cerdas berdaya.

 

 

Facebook Comments Box

Pos terkait