Mbah Tayo dan Kotak Ajaibnya

Mbah Tayo berkeliling menjajakan jasa servis payung. Foto: Toro/SG.

Tubuhnya pendek. Mirip Andik Vermansyah, pesepakbola yang lincah itu. Kulitnya hitam, nampak akrab dengan sengatan matahari. Kemana-mana bersandal jepit. Saat pertemuan tadi, senyumnya beberapa kali diumbar lebar. Seiring beberapa kata yang keluar dari mulutnya, tampak giginya yang putih mengkilat nan besar-besar.

Namanya Tayo, saya memanggilnya Mbah Tayo. Usianya sekitar 70-an tahun.

Tadi pagi, kebetulan istriku memanggilnya. Dia sedang menjajakan jasanya dengan berjalan kaki lewat perempatan Puskesmas Semanu. Pas lokasi dekat rumah itu, ia menawarkan jasa servis payung dan sepatu. Wah, kebetulan, ada tiga payung yang semusim tersimpan, menunggu untuk diperbaiki. Satu payung warna biru copot besi penyangganya. Ada yang ndak bisa dilipat karena terkunci penjepitnya. Dan payung warna abu-abu robek bagian pinggirnya.

Sampai di halaman rumah, Mbah Tayo menurunkan kotak ajaibnya. Kemudian ia duduk di pinggir undak-undakan teras. Kotak itu berisi obeng, benang dan jarum, palu kecil, gunting, tang dan beberapa baut-penjepit. Oh, iya, mungkin ada lem Aica Aibon juga di dalamnya. Ia kemudian meraih satu payung yang sudah ditaruh sebelum kedatangannya. Tangannya pun dengan cekatan membukanya dan mulai mencari apa saja yang perlu diperbaiki.

“Saking pundi Mbah?” tanyaku, mendekat dan menyapanya. Beberapa waktu lalu, aku sekilas berjumpa di rumah tetanggaku. Mbah Tayo waktu itu mengerjakan hal yang sama, aku namun nggak sempat menyapa.

“Ngerong pak, Rongkop!” jawabnya ramah.

Dia menyebut satu desa wilayah Kecamatan Rongkop sana. Jika Mbah Tayo menjajakan jasa dengan berjalan kaki dari rumah, berarti dia telah berjalan kaki sejauh 20 kilometer dari rumahku.

Kami kemudian berbincang ringan. Ia memegang alat servis sambil sesekali menceritakan kisahnya. Singkat cerita dari perbincangan dengannya. Aku menjadi tahu, Mbah Tayo sudah 15 tahun menghidupi anak-istrinya dengan menjelajah Negeri Kahyangan Gunungkidul.

Ia dengan kotak ajaibnya menjajakan jasa servis payung dan sepatu. Tidak hanya dengan kaki, ketrampilan dan kotak ajaibnya saja, namun Mbah Tayo menjajakan jasanya dengan segenap hati dan senyuman.

Mbah Tayo mengaku, setiap hari rata-rata mendapat uang bersih antara 70-80 ribu Rupiah. Dia mengaku tidak pernah jajan, karena makanan selalu berasal dari pemberian konsumen.

“Nyambut damel ngaten niki, sing penting halal Pak,” jawabnya dengan yakin.

Tiga payung selesai diperbaiki dalam waktu satu jam.

Kuterima tiga payung yang sudah siap menyambut musim penghujan dengan ongkos jasa yang kuberikan.

“Mbah, niki nasi padang sakwontene, didhahar nggih…” ujarku.

Alangkah penuh sukacita hidup di Negeri Kahyangan Gunungkidul. Betapa tidak? Ketemu Mbah Tayo yang telah berkarya dengan daya juang, sekotak peralatan, ketrampilan, senyuman dan keyakinan “sing penting halal” yang menjadi ukuran laku hidupnya.

***
Musim kemarau telah berganti. Mbah Tayo dan kotak ajaibnya membawa pesan yang jelas, “Servislah payungmu sebelum hujan!”

Revolusilah mentalmu sebelum terevolusi perubahan jaman.

Facebook Comments Box

Pos terkait