Menakar Makna Pahlawan

Parade bregada kaprajuritan atau reog gagrak Gunungkidul sekalipun senantiasa berwajah semangat kepahlawanan. Swara/Wage
Parade bregada kaprajuritan atau reog gagrak Gunungkidul sekalipun senantiasa berwajah semangat kepahlawanan. Swara/Wage

“What Yogis now, what Rishis of old, The greatness of that Mother hath told, Who from her own breast gave birth, To the sky and to the earth. Thou hung the Heavens in empty space, And holds the earth in its place, Thou made and lighted up the sun, To stay and shine this earth upon.” (Kundalini, the mother of the Universe).

Ini bukan tentang heroic literature, kesusastraan pahlawan yang njlimet. Ini tentang kegelisahan dan jawaban sedehana, cekak, dan bolehlah apabila dikatakan asal njeplak.

Bacaan Lainnya

Adakah orang Gunungkidul yang merasa Wanapawira adalah pahlawan Gunungkidul? Semenjak ia diberi ‘titah’ membuka ‘hutan’ lebat di tengah-tengah pegunungan selatan, hingga ‘proyek’ itu sukses mampu melambungkan namanya? Barangkali semua manusia Gunungkidul pernah mendengar cerita itu, dan menganggap ia sebagai ‘pahlawan’. Tapi, rupanya tak semua orang Gunungkidul benar-benar mengingatnya.

Sebaliknya, siapakah orang Gunungkidul yang akan menganggap Gadhung Mlathi sebagai musuh? Barangkali dalam benak semua orang mengingatnya sebagai tokoh jahat. Tak ayal, ada masyarakat Gunungkidul yang sampai kini pun masih mengingatnya: meski sesederhana ingatan bahwa ia adalah dhanyang.

Gadhung Mlathi, tokoh ‘antagonis’ dalam Babad Nangka Dhoyong atau kisah sejarah dalam bauran mitos tentang pembukaan permukiman bernama Wana-asri atau Wana-sari yang dalam pengucapan kekinian bernama Wonosari (ibukota Gunungkidul) itu. Ia adalah tokoh, prototipe dhanyang penunggu Gunung Merapi, juga tempat-tempat lain. Ia yang seakan-akan ‘dikalahkan’ oleh Wanapawira, yang kalah dengan penuh ke-legawa-an, seperti halnya para stereotip Gadhung Mlathi lain di tempat lain.

Pada akhirnya, para ‘penerus’ Nyi Niti akan selalu geregetan. Mereka menyimpan bara persaingan yang tertahan. Bagaimanapun, dhanyang adalah oposan manusia. Ia satru bagi perewangan, yang harus dikalahkan, yang dikuasai. Ini semacam perulangan teriakan Bethara Guru di kahyangan yang tak mau ‘bersujud’ pada Waisrawa; karena ‘ilmu keratuan penjaga bumi’ ditimpakan padanya. Dengan demikian, manusia akan selalu memperkokoh takdir yang diterimanya; menjadi insan berkekuatan.

Ngomong-omong, adakah yang akan menganggap Gadhung Mlathi sebagai pahlawan? Barangkali tak ada dan tak akan. Sebagaimana sathan yang akan selalu dicemooh manusia. Ya, orang-orang Gunungkidul kini masih mampu mengingatnya: meski hanya sebagai dhanyang seperti dalam definisi Geertz. Bukan sebagai Dhang-Hyang; roh suci yang kembali bergerak ke atas, karena telah sekian waktu mengembara di dunia bawah. Bukan sebagai dewa yang dalam perjalanan pulang.

Lantas, pepohon tua yang ‘berbau’ dhanyang pun dirubuhkan, dengan dalih dalil atau bid’ah, atau ‘kerakusan’ manusia. Itu sumber ‘naraka’, membiarkannya hidup berarti perbuatan satanic, juga persekutuan. Bukankah, saking cintanya pada ‘tuhan’, sathan tak sudi memerhala manusia?

Akhirnya, air kehidupan yang meruah dari perut pohon pun sirna. Cengkeraman para akar pun tak sekokoh dulu, begitu halnya penghormatan manusia pada para dhanyang surut. Ditambah padat karya pada 80-an, sengonisasi, batang-batang bernilai ekonomi yang menjajah tanah-tanah, sumber-sumber air tamat.

Sang Dhanyang pun merana, meski tak senelangsa manusia. Manusia membiarkan tubuh-ruhnya tetap mengering. Dengan massif, tanpa sadar, mereka menuju punah. Gadhung Mlathi pelan-pelan meniada. Pahlawan sekelas Wanapawira pun tak kuasa. Ia melahirkan persetubuhan yang kering, pohon-pohon kehidupan di Gunungkidul banyak yang semakin ambruk, juga batu kapur kawasan karst Gunungsewu yang dieksploitasi tiada henti.

Begitulah, konsep di-sebalik-material dunia ‘tradisional’―seperti cerita Wanapawira-Gadhung Mlathi―tak senantiasa bisa diterjemahkan-diterima begitu saja di dalam bahasa teoritis-logis.  Karena ia memang mempunyai ‘logika’ sendiri. Karena simbol-simbol, ucapan-ucapan, tanda-tanda dalam oposisi seperti Wanapawira-Gadhung Mlathi itu merupakan sistem koheren rumit tentang realitas akhir sesuatu [ultimate reality].

Menjadi penting sekali manusia-manusia Gunungkidul saat ini berusaha mengerti makna ‘yang dalam’ atas semua simbol, mitos, dan ritual, sehingga mampu menerjemahkan mereka ke dalam bahasa sehari-hari. Lantas berpartisipasi dalam perubahan fisik dan sosial masyarakat Gunungkidul yang semestinya makin ‘meninggi’.

Jika manusia-manusia Gunungkidul saat ini menghadapi kesulitan dalam menembus makna ‘otentik’ mitos maupun simbol tradisional, maka sesungguhnya manusia kekinian itu tak dapat melakukan apa pun. Bisa jadi, hadirnya makna ini sekedar menunjukkan kesadaran akan situasi tertentu di dalam kosmos Gunungkidul pada suatu waktu-ketika dan barangkali juga waktu-waktu selanjutnya.

Hutan yang terbuka adalah sebuah hierophany atau sebuah tindakan mitis. Ia wadah kekuatan alam, yang liar, yang chaos. Ia dibutuhkan untuk ditaklukkan. Tapi, sesungguhnya bukan karena para hero sekelas Wanapawira yang memang mempunyai kekuatan hingga mampu menaklukkan supra-human sekelas Gadhung Mlathi sebagai perwalian hutan. Sesungguhnya karena alam memang secara lahir ‘menyediakan’ dirinya untuk ditaklukkan, hingga chaos merubah dirinya menjadi cosmos.

Dalam tingkatan yang lebih halus, hutan merupakan sebuah kekuatan. Eksistensi hutan sungguh tak dapat ditekan, tak dapat dikalahkan. Yang hal-hal seperti inilah yang tak dimiliki manusia sebagai subjek serba lemah, yang sesungguhnya egonya masih terbatas dibandingkan kekuatan alam raya.

Karena itu, manusia membutuhkan strategi, prosedur, semacam laku, atau gerak mitis, agar alam dapat seakan-akan ditaklukkan. Wanapawira menggerakkan laku, sedang Gadhung Mlathi meminta ‘sesaji’.

Hutan Nangka Dhoyong adalah hutan biasa sebelum ‘ditahbiskan’ menjadi oposan Sang Pahlawan. Kemudian, hutan itu ‘ditinggikan’ ke tempat yang mulia. Hutan itu dibuka dan disulap menjadi kota. Hutan yang menjelma kota bukanlah suatu otomatisme.

Makna dan nilai dari menjadinya sebuah kota tak hanya berhubungan dengan realitas-kasar, namun berkaitan dengan sifatnya yang ‘mereproduksi’ tindakan-primordial-mitis sebelumnya, bahkan sebagaimana yang pernah dilakukan di dunia kuno. Benar, membuka hutan bukanlah kerja fisik sederhana; ia semacam ‘persetubuhan kosmos’. Ini mengulang perilaku mitis masyarakat kuno tentang hierogamy.

Wanapawira secara fisik membuka hutan, namun secara mitis ia juga bersatu dengan alam, mengawininya, mewujudkan kelahiran. Ia bersatu dengan Sudarmi, pasangannya di dunia empirik. Ia bersatu dan melahirkan anak-anak peradaban (yang tentu saja diharapkan menjadi civilized) dalam sebuah kota dengan tata perkotaan, baik secara fisik dan sosial.

Apa yang dilakukan oleh Wanapawira juga telah dilakukan oleh manusia-manusia kuno. Ini sebuah proto-tipe mitis. Perilakunya merupakan pengulangan terus-terusan atas sikap yang diawali oleh para leluhur Gunungkidul, leluhur Jawa, leluhur Nusantara, sebagaimana ketika Wisnu mengawini Sri.

Permukiman baru, yang diingini, yang diusahakan, selaras dengan tindakan ‘penciptaan’. Ketika Wanapawira berhasil membuka hutan Nangka Dhoyong dan membuat koloni di wilayah yang sekarang ternamai Wonosari―yang kemudian mulai menempatinya, tindakannya bukan melulu sebagai usaha profan saja. Usaha pembukaan hutan menjadi kota merupakan aksi primordial: perubahan kekacauan (chaos) menjadi ketertiban (cosmos) melalui penciptaan kota.

Dengan membangun sebuah ‘peradaban’ (kota), pada hakekatnya Wanapawira mengulangi aksi para dewa, yang mengorganisasi kekacauan dengan memberi ‘bentuk’ dan ‘norma’. Tantu Panggelaran pernah bercerita tentang ini. Penaklukan sebuah wilayah (hutan) semakin nyata melalui ritual ‘pengambil-alihan kepemilikan’ dari Gadhung Mlathi. Dan, Gadhung Mlathi meminta slametan.

”Baiklah, baiklah!” kata Gadhung Mlathi, ”Jangan kau ganggu aku lagi! Dengarlah permintaanku!” (dan ia melakukan sesuatu ritual, mengeraskan suaranya hingga terdengar oleh pengikut Wanapawira). ”Hai, kalian, Wanapawira dan semuanya, dengarlah sumpahku: kelak, dalam kehidupan kita di sini, akan kuhantui kalian jika kalian tidak menjagaku, membuat sesaji untukku! Namun jika kalian melaksanakannya, aku beserta keluargaku akan menjagamu, sampai kapan pun!”

Tapi tak ada jawaban yang benar-benar terdengar. Hanya, kemudian sesaat itu, orang-orang tambah sibuk bekerja, memperindah kota, menjulangkan kayu-kayu sebagai pelindung tubuh, membuat taman-taman ‘firdaus’, mendirikan pasar, menegakkan gubug pemerintahan, dan mencipta langit yang seperti mengarah semakin cerah. Kemudian, ada upacara perkawinan. Dengan adanya seorang gadis dari papan sayembara memanah babal: Rara Sudarmi. Disusul inisiasi, ‘pengurapan’, abhiseka: seorang ‘bupati’ baru, pemimpin baru.

Namun, agaknya terselip sesuatu, yang bukan termasuk ingatan yang pantas ditulis-tebal oleh masyarakat waktu itu, juga manusia-manusia selanjutnya: tak satu manusia pun dapat sungguh ‘menaklukkan’ si liyan, dalam kemenangan dan kelahirannya yang baru. Ada tanya antara Wanapawira dan ‘penaklukan’, antara pahlawan dan taklukan.

Karena seorang pahlawan adalah wijiling amaratapa. Seorang pahlawan adalah trahing kusuma, rembesing madu. Pahlawan adalah orang yang berjasa pada ‘dunia’ [andana warih]. Pahlawan lekat dengan tanda-tanda yang menunjukkan kesaktiannya.

Namun, adakah yang akan menganggap Gadhung Mlathi sebagai pahlawan, seperti halnya menganggap Durga yang lain sebagai sebentuk Uma yang baik? Atau sathan yang menjadikan manusia selalu ingin ‘beriman’? Barangkali ya, hanya bagi para pengimannya.

(Wage).

Facebook Comments Box

Pos terkait