Menelisik Sejarah Perkembangan Tanaman Jati Rakyat di Gunungkidul

Salah satu hutan jati rakyat di wilayah Ngawen. Foto: Kiswanto.

Sebelum VOC datang ke Pulau Jawa, para bupati telah biasa memberikan upeti kepada raja dalam bentuk glondhong pengareng-areng. Saat itu sudah ada istilah juruwana atau juru pengalasan.

Hampir tiga abad (abad ke-16 sampai 19) VOC memperluas hutan jati di Jawa, namun pengelolaannya belum baik karena hanya fokus mengatur penebangan dan pengamanan hasilnya untuk kapal-kapal dagang dan bangunan lainnya.

Bacaan Lainnya

Akhir abad 18 VOC bangkrut, sehingga mengeskploitasi habis hutan di Pulau Jawa dan meninggalkan lahan yang rusak parah. Kemudian pengelolaan hutan jati diambil alih oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang ingin mengembalikan hutan jati seperti semula.

Tahun 1847, Mollier seorang rimbawan dari Jerman diminta Pemerintah Hindia Belanda untuk merancang sistem budidaya jati di Jawa yang menguntungkan secara ekonomis bagi pemerintah, dan yang dipilih adalah sistem monokultur. Sistem inilah yang merupakan cikal-bakal pengelolaan hutan secara modern di Indonesia.

Pertengahan abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda mengembangkan hutan jati pada lahan kurang subur dan curam jauh dari pemukiman penduduk.

Tahun 1865 lahir UU Kehutanan yang isinya menghapus sistem kerja paksa dan membagi tiga kawasan hutan di Pulau Jawa, yakni hutan jati di bawah pengurusan negara, hutan jati tidak di bawah pengurusan negara, dan hutan rimba. Tahun 1874 terbit UU Kehutanan baru yang isinya mencakup pernyataan domein verklaring yakni semua tanah termasuk hutan dikuasai dan diatur oleh negara.

Tahun 1880 hutan jati Pulau Jawa dibagi menjadi 13 distrik hutan jati di bawah Djatibetrijf (perusahaan jati negara). Perencanaan perusahaan pertama selesai dibuat tahun 1890 di bawah pimpinan rimbawan Bruisma. Kemudian 7 tahun berikutnya terbentuklah Houtvestrij pertama dan terakhir sekitar tahun 1932.

Houtvestrij adalah pengelompokan luas hutan tertentu sebagai suatu satuan perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam pohon ke tahap pemeliharaan hingga tahap memanen pohon. Houtvestrij adalah yang dikenal sebagai wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di Perum Perhutani dan Bagian Daerah Hutan ( BDH ) untuk wilayah DIY.

Berpindahnya pengelolaan hutan jati di Jawa dari VOC ke Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1808 tidak menjadikan hutan jati lebih baik kondisinya. Hingga awal abad ke-20, eksploitasi tidak teratur dan kerusakan terus terjadi. Baru sekitar awal abad 20 diletakkan dasar-dasar pengelolaan hutan jati secara modern dengan pembagian atas satuan-satuan wilayah pengelolaan hutan, penataan hutan, pengaturan hasil dan penelitian tentang hutan.

Pasca Kemerdekaan Indonesia, pengelolaan hutan jati di Pulau Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Tahun 1963, Jawatan Kehutanan berubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Perhutani (kecuali DIY tetap dikelola Dinas Kehutanan), kemudian tahun 1972 PN berubah menjadi Perum Perhutani.

Pada saat ini hutan jati ada dua jenis pengelolaan yakni hutan-hutan yang dikelola negara dan yang dikelola oleh rakyat untuk tujuan produksi. Salah satu bentuk hutan rakyat yang dibangun di atas lahan milik dikelola dengan sistem wanatani atau agroforestry.

Kehancuran Hutan Jati di Jawa

Kerusakan parah pada hutan jati di Pulau Jawa terjadi beberapa kali. Selain masa VOC, juga saat pendudukan Jepang 1942 – 1945 kayu jati dikuras tuntas. Tingkat penebangan kayu jati menjadi dua kali lipat penebangan normal sebelumnya. Akibatnya lahan seluas 500.000 hektar (17 % hutan Jawa) rusak.

Jawatan Kehutanan telah berupaya merehabilitasi kerusakan itu namun dengan berubahnya Jawatan menjadi PN Perhutani timbul masalah baru di antaranya: pencurian, pembakaran dan penggembalaan liar terus meningkat, sehingga sering gagal saat penanaman jati baru dan luas lahan kurang produktif meningkat.

Lahan hutan jati Perhutani pernah dijarah habis-habisan pada tahun 1998 – 2001. Demikian pula di DIY, sehingga menyebabkan kerusakan parah dan kerugian besar. Hal tersebut menurut sejumlah rimbawan merupakan puncak pertentangan antara Perum Perhutani dengan masyarakat desa hutan yang tidak leluasa lagi mengelola hutan juga sekaligus akibat adanya momen krisis ekonomi yang melanda.

Pengelolaan Jati oleh Masyarakat

Pengelolaan hutan di Indonesia sebenarnya dulu merujuk warisan Pemerintah Kolonial Belanda yang mana pengelolaan hutan dengan tujuan semata-mata untuk keuntungan bagi negara dari penjualan kayu, sehingga kewenangan pemerintah sangat besar di dalam mengatur dan mengendalikan pemanfaatan hutan.

Di sisi lain, masyarakat menganggap hutan merupakan kekayaan bersama bangsa Indonesia ini. Dengan demikian masyarakat harusnya dapat ikut memanfaatkan hutan secara langsung. Lebih jauh masyarakat selayaknya mempunyai hak untuk ikut terlibat dalam pengelolaan hutan. Apalagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sehingga kehidupan mereka bersinggungan langsung dengan keberadaan hutan.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki sistem lama pengelolaan hutan di Indonesia. Masyarakat dinyatakan punya hak, bahkan kewajiban yang lebih besar untuk terlibat dalam pengelolaan hutan.

Dengan Undang-Undang 41 Tahun 1999 dan melihat pengalaman yang lalu, Perum Perhutani dan Dinas Kehutanan DIY memperkenalkan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, yakni kerjasama antara Perum Perhutani / Dinas Kehutanan dengan masyarakat dalam mengelola hutan dari perencanaan hingga memanfaatkan hasil hutan.

Pengelolaan Hutan Jati Rakyat

Tahun 2005 CIFOR (Badan Peneliti Kehutanan Internasional) mengadakan survei di Jawa melibatkan separuh kabupaten di Jawa termasuk Gunungkidul. Hasilnya minat masyarakat tinggi untuk mengembangkan jati rakyat. Meskipun masa panennya lama namun masyarakat menganggap menanam pohon jati merupakan simpanan masa depan (tabungan). Masyarakat Jawa termasuk Gunungkidul memang sudah sejak lama mengenal jati dan menghargainya dengan nilai yang tinggi.

Usia hutan jati rakyat yang disurvei CIFOR berkisar 6 bulan hingga 40 tahun. Kesimpulan setengah dari jumlah lokasi survei bahwa sebagian besar pohon jati ditanam sesudah 1998, ketika Departemen Kehutanan membagikan bibit pohon jati secara gratis kepada masyarakat.

Demikian pula di Gunungkidul, masyarakat sejatinya telah mengenal dan menanam pohon jati di lahan miliknya sejak lama, bahkan sebagian masyarakat Panggang telah mengenal istilah jati alam untuk bahan bangunan rumahnya. Menurut Troup (1921), keberadaan Jati di Jawa dan beberapa pulau di Indonesia adalah alami (jati alam).

Jika pohon tertua 40 tahun ditemukan saat survei CIFOR, artinya pada tahun 1965-an masyarakat Gunungkidul telah mulai menanam bibit jati kendati belum secara masif.

Proyek Inpres Bantuan Penghijauan sejak 1977 di Gunungkidul diperkirakan merupakan momentum mulai tersebar luasnya tanaman jati di masyarakat. Karena saat itu penghijauan lahan kritis dipilih tanaman pioneer salah satunya jenis jati. Wanagama yang berdiri 1966 juga memiliki peran penting dalam penyebaran pohon jati di masyarakat sekitarnya untuk penghijauan lahan kritis saat itu.

Jadi intensifikasi penanaman jati rakyat di Gunungkidul diperkirakan sudah dimulai sejak lama tahun 1960-an, ditunjang dengan hadirnya Inpres Bantuan Penghijauan 1977 hingga 1990-an dan puncak gerakan keswadayaan masyarakat didukung bantuan bibit jati cuma-cuma dari Departemen Kehutanan tahun 1998.

Tahun 1999 – 2000-an sering terdengar pernyataan bahwa hutan rakyat di Gunungkidul berkembang pesat hingga luasnya jauh melampaui luas kawasan hutan negara.

***

Klaten , 22 – 10 – 2020

* Ditulis ulang dengan bahan dari berbagai sumber.
* Foto hutan jati rakyat di Ngawen dan Tepus Gunungkidul

Facebook Comments Box

Pos terkait