Mengenal Sistem Pranata Mangsa

Javanese Calendar System. Dok: pinterest.co.uk.

Secara umum, kalender yang paling banyak dipergunakan saat ini didasarkan pada peran penting dua benda langit: matahari dan bulan. Selain itu, pada beberapa kebudayaan mempergunakan kombinasi Solar-Lunar sebagai patokan sistem kalendernya, seperti yang dipergunakan bangsa China serta bangsa Yahudi.

Lantas, bagaimana dengan geliat sistem kalender di Nusantara? Selain kalender yang didasarkan pada pengamatan astronomi, masyarakat agraris seperti petani di Jawa, Bali, Sunda, Sumatra, Sulawesi, Flores, dan lainnya tidak saja berdasar pada bulan dan matahari. Dalam tradisi nenek moyang Indonesia, utamanya yang berprofesi sebagai petani dan nelayan, mereka memanfaatkan pengetahuan baik astronomi, ekologi serta biologi dalam penyusunan kalendernya. Mereka mempergunakan patokan beberapa benda langit yang lain, seperti Pleiades serta rasi Orion.

Bacaan Lainnya

Di samping itu, para nenek moyang Nusantara juga menyesuaikan dengan siklus musim, serta bagaimana juga siklus hidup lainnya. Sistem kalender yang cukup pelik tersebut dikenal sebagai Pranatamangsa, atau dalam bahasa sekarang dapat disadur sebagai Penata Waktu.

Kalender Pranata Mangsa

Pembagi tahunan dalam Pranata Mangsa dibagi dalam periode berdasar pola musim dan siklus alam (seperti kalender Masehi pada suatu tingkatan tertentu). Bagi masyarakat agraris di Pulau Jawa, satuan waktu terkecil adalah hari. Ini ditandai dengan matahari terbit-terbenam. Kemudian, Bulan/Mangsa bervariasi antara 23 sampai 43 hari, ini karena posisi Pulau Jawa  yang berada pada sekitar 7 derajat Lintang Selatan. Kemudian, siklus tahun terbagi menjadi empat Mangsa Utama (Ketiga, Labuh, Rendheng, dan Mareng) yang panjangnya berbeda-beda, dengan pola 6 bulan serta 6 bulan berpola kebalikannya.

Awal Mangsa 1, biasanya dekat dengan Solstice Juni, ditandai dengan Pleiades/Wuluh/Kartika dan Orion/Waluku di Heliacal Rising. Tengah tahun Mangsa 6 dekat dengan Solstice Desember, kebalikannya yang terjadi.

Sistem kalender Pranata Mangsa dalam prakteknya cukuplah rumit, karena tidak hanya mempergunakan panduan benda langit, akan tetapi juga dengan fenomena alam yang menyertainya, meteorologi, ekologi, serta diungkapkan secara sastrawi yang memperkayanya.

Sebagai contoh, awal mangsa, disebut sebagai Kasa (Kartika), yang merupakan mangsa utama Ketiga dan Terang, pada rentang waktu di sekitar 22 Juni  – 1 Agustus (41 hari). Periode waktu ini memiliki Chandra: Sesotya murca ing embanan (Permata berguguran). Biasanya ditandai dengan fenomena alam: Daun-daun berguguran, kayu-kayu mengering, belalang membuat liang dan bertelur.

Bagi petani, periode waktu ini merupakan panduan untuk waktunya membakar batang padi atau jerami atau dami, dan mulai bercocok tanam palawija. Biasanya pada masa tersebut akan memasuki musim kemarau, kondisi curah hujan sekitar 67,2 mm, lengas (kelembaban) udara mencapai 60,1%, suhu 27,4 derajat C, sinar matahari mencapai 76%. Periode ini dinaungi oleh Zodiak: Mesa & Dewa Wisnu, berbintang: Sapigumarah, dan secara astronomi dalam kondisi Wuluh/Pleiades di Heliacal Rising, Matahari terbit ke Utara terjauh.

Kalender Pranata Mangsa dapat juga dipandang sebagai Kalender Orionik atau kalender yang menggunakan rasi bintang, karena kehadiran Orion yang menurut masyarakat agraris dipandang sebagai (Wa)luku atau bajak lebih memegang peranan bagi masyarakat.

Bagi petani di masa lampau, dengan memegang beras pada telapak tangan terbuka, kemudian mengarahkan tangan pada Luku pada rembang petang, maka ketika bulir-bulir beras jatuh dari tangan, itulah saat untuk memulai bercocok tanam.

Praktek penggunaan kalender ini telah dilakukan semenjak sejarah Indonesia belum dibukukan. Patokannya tidak hanya benda langit, tapi juga fenomena yang terjadi di alam: Musim tanaman, perilaku binatang, arah angin, kelembaban, curah hujan; dan kalender ini dipergunakan sebagai pedoman bertani, berdagang, merantau, berperang dan pemerintahan.

Baru pada abad ke-19, kalender ini dibakukan sebagai sistem kalender oleh Sri Susuhunan Pakubuwono ke-VII pada tanggal 22 Juni 1856. Sistem kalender yang dibakukan tersebut juga memasukkan tahun Kabisat.

Kosmografi, Klimatologi, Astronomi, Antropologi & Astrologi

Pranata mangsa memiliki latar belakang kosmografi (pengukuran posisi benda langit), pengetahuan yang telah dikuasai oleh bangsa Austronesia sebagai pedoman untuk navigasi di laut serta berbagai kegiatan ritual kebudayaan. Karena peredaran matahari dalam setahun menyebabkan perubahan musim, maka pranata mangsa juga memiliki sejumlah penciri klimatologis.

Terdapat petunjuk, bahwa masyarakat Jawa khususnya yang bermukim di wilayah sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, sampai Gunung Lawu telah mengenal prinsip-prinsip pranata mangsa jauh sebelum kedatangan pengaruh kebudayaan dari India.

Prinsip-prinsip ini berbasis peredaran matahari di langit dan peredaran rasi bintang Waluku (Orion). Di wilayah ini penduduknya menerapkan penanggalan berbasis peredaran matahari dan rasi bintang sebagai bagian dari keselarasan hidup mengikuti perubahan irama alam dalam setahun.

Pengetahuan ini dapat diperkirakan telah diwariskan secara turun-temurun sejak periode Kerajaan Medang (Mataram Hindu) dari abad ke-9 sampai dengan periode Kesultanan Mataram di abad ke-17. Pengetahuan ini digunakan sebagai panduan dalam bidang pertanian, ekonomi, administrasi, dan pertahanan (kemiliteran).

Dalam hal ‘Astrologi’ atau ‘Horoscope Jawa’ yang bersifat spiritual juga terdapat hitung-hitungan Pranata Mangsa, seperti perhitungan primbon yang menggambarkan kekayaan musimnya dan dipadukan dengan kejeniusan kearifan lokalnya.

Sekolah Pranata Mangsa

Bagi yang ingin memperdalam ilmu dan kelander perhitungan Pranata Mangsa, di bidang pertanian tanaman pangan, telah dikembangkan Sekolah Lapang Iklim (SLI) atau yang dikenal sebagai BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) untuk meningkatkan kemampuan petani dalam memahami berbagai aspek prakiraan cuaca dan hubungannya dengan usaha tani. Kegiatan SLI dimaksudkan untuk membuat petani mampu “menerjemahkan” informasi prakiraan cuaca yang sering kali sangat teknis, sekaligus membuat petani mampu mengadaptasikannya dengan kearifan lokal yang telah lama dimiliki.

Dalam kaitan dengan SLI, pranata mangsa menjadi rujukan untuk berbagai gejala alam yang diperkirakan muncul sebagai tanggapan atas kondisi cuaca/perubahan iklim. Pranatamangsa masih tetap dapat diandalkan dalam kaitan dengan pengamatan atas gejala alam. Kemampuan membaca gejala alam ini penting karena petani perlu beradaptasi apabila terjadi perubahan dengan mengubah pola tanam.

Sistem kalender Pratamangsa asli budaya bangsa ini tidak hanya sebagai penjaga waktu tapi juga mencerminkan kearifan masyarakat agraris pada masa lampau. Pada dasarnya, sistem kalender Pranata Mangsa ini tetap relevan sepanjang jaman.

****

Sumber: http://sabdadewi.wordpress.com/2014/09/27/kalender-pranata-mangsa/

Facebook Comments Box

Pos terkait