Menteri Kesepian

Sepi menyendiri di pantai. Dok: KH.

SEPUTARGK.ID – Dua berita online yang judulnya sangat menarik kubaca pagi ini. Kata “Menteri Kesepian” yang menjadi bagian judul itu seakan menyeret jempolku segera memencet link lalu memelototi isinya. Sebenarnya beritanya telah beredar beberapa hari sebelumnya. Ya kudet-lah aku.

https://www.cnnindonesia.com/…/cegah-depresi-dan-bunuh…

Bacaan Lainnya

https://www.kompas.com/…/cegah-bunuh-diri-jepang-tunjuk…

Singkat berita, Jepang mengalami lonjakan depresi dan bunuh diri akibat pandemi. Jadi, di sana kematian tak hanya soal sakit fisik akibat serangan virus, namun akibat digerogoti emosi-mental yang juga berakibat fatal. Bahkan dicatat pada tahun 2020, ada total 2.153 kematian akibat bunuh diri. Sedangkan angka kematian akibat Covid-19 “hanya” 2.087 kasus. Lho, ini gimana ya?

Jebul di Jepang, pandemi berkawan erat dengan depresi dan bunuh diri. Singkat cerita, akibat isolasi terjadi kesepian yang berdampak pada kesehatan mental. Pemerintah Jepang merespon itu, dan dalam berita disebutkan bahwa “Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga membuat pos kabinet baru untuk mengatasi isu kesehatan mental ini. Dia menunjuk Tetsushi Sakamoto sebagai Menteri Kesepian.”

Kurasa, tak hanya negeri yang ber-etos kerja luar biasa seperti Jepang yang terasa, negeri kita pun tak luput dari rasa kesepian akibat pembatasan-pembatasan. Negeri Kahyangan pun tak luput dari kondisi itu. Suasana perjumpaan ragawi dalam kerja komunal biasanya menjadi salah satu faktor penguat kesehatan mental. Namun perjumpaan itu kini harus dikurangi, khususnya yang sangat dijunjung tinggi nilainya misalnya hajatan plus campursarinan.

Apakah selalu berdampak kesepian? Ya tak selalu sih, namun sekilas nyantol di otakku poin ini memantik siapapun untuk mengelolanya dengan lebih baik. Baik untuk menyempatkan diri menyapu, eh menyapa keluarga, teman dan tetangga. Setidaknya mereka menjadi teladan dalam menerapkan soft skill dalam mengelola hati ini.

Mereka adalah para manusia yang diberi tanggungjawab lebih: pria atau wanita yang jadi tulang punggung keluarga, pemerintah yang diberi kewenangan mengelola kebijakan, dan para alim ulama yang dipercaya menjadi teladan umat.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait