Belajar dari Kerusakan di Ngrenehan, Baron, Kukup dan lainnya
Setelah terjadi kerusakan akibat tersapu banjir, biasanya segera dilakukan pencatatan apa saja bangunan atau fasilitas yang mengalami kerusakan. Motif mencatat ada bermacam-macam, salah satunya adalah motif untuk membuat laporan pendataan bencana ke pemerintah agar kemudian mendapatkan bantuan dana/material untuk perbaikan kembali.

Meminta bantuan itu tidak keliru, sah-sah saja sepanjang sesuai aturan. Yang tidak kalah penting dan perlu dipikirkan lebih mendalam sebenarnya adalah apa iya akan membangun kembali sama kondisinya seperti sebelum diterjang banjir. Apa iya tidak perlu menata ulang lahan secara keseluruhan dengan memperhatikan status lahan, kebutuhan untuk budidaya, dan kebutuhan untuk pengendalian lingkungan? Mana lahan yang bisa untuk tempat usaha, mana lahan untuk keperluan pribadi, mana lahan untuk kepentingan umum, juga mana lahan untuk mengantisipasi air hujan yang lebat bisa lewat.
Contoh sepele tapi nyata bagaimana kita kurang peduli memperhitungkan kebutuhan alamiah adalah berubahnya area parkir Pantai Baron yang sekejap tergenang air saat hujan deras. Memang tidak ada efek merusak secara drastis, tapi ketiadaan kemiringan lahan dan keberadaan saluran drainase yang memadai adalah faktor penyebabnya. Ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi dan durasi hujan yang cukup lama, maka kerusakan demi kerusakan karena tersapu banjir adalah hal yang wajar terjadi.
Kemudian, hal lain yang tidak kalah penting adalah saat ini kita begitu masif melakukan perubahan tutupan lahan baik di hilir maupun di daerah hulu, di pantai maupun di lahan perladangan maupun hutan. Jujur saja, saat ini kita lebih banyak melakukan penebangan tanaman daripada menanamnya. Entah di kawasan perkotaan maupun perdesaan sama saja. Semakin rajin menebang daripada menanam. Kita begitu rupa giat dan rajin menutup tanah terbuka dengan beton, aspal, plesteran semen, dan lain sebagainya. Kita membuat saluran drainase asal jadi, tanpa memperhitungkan volume air yang bakal lewat secara serius.
Di kawasan hilir, di pantai-pantai yang marak dengan kegiatan wisata, rasanya kita jarang menghijaukan lahan. Tetapi justru giat menebangi tanaman, menebangi perdu, menebangi pandan pantai, membabat rumput diganti plesteran semen juga, membangun warung atau gazebo tanpa mengindahkan fungsi ruang yang semestinya. Ini semua berkontribusi kepada parahnya kerusakan akibat luapan air hujan di luar kapasitas saluran air hujan.
Kerusakan bangunan dan fasilitas yang terjadi di Ngrenehan, Baron, Kukup, Sadranan, Drini, dan lainnya sebenarnya adalah cara alam mencelikkan masyarakat agar tidak rakus menguasai lahan hanya untuk kepentingan dirinya. Alam termasuk air hujan juga butuh ruang agar semuanya seimbang. Dilarang membangun di bantaran sungai sesungguhnya peraturan dasar yang masih tetap relevan sepanjang waktu.