Paradoks Ngendhat Talimurda: Kita Sering Anggap Pelaku Bunuh Diri sebagai Objek bukan Sesama Subjek

Halusinasi-prasadar masyarakat praliteral tentang ‘gendhong’ dan ‘tali-pring’ yang mengisolasi kayu-kayu (pralambang manusia-manusia) yang sebelumnya ‘dipulungi’ (dipetik, diambil) untuk dibawa ke suatu ruang/tempat/tujuan sakral tertentu seperti lumbung, omah, dsb. Swara/WG

Di jagad ini diyakini oleh para manusia terdapat suatu Yang-Ada yang maha tak terdefinisikan dengan kata-kata. Ada ‘agama’ yang sering ‘bermasalah’ definisinya oleh si pelaku. Ada pula sains, ada psike, teknologi, filsafat, cenayang, demokrasi, negara, dan seluas kategori ‘yang-ada’ lainnya dalam penanda dan petandanya beserta varian bentukan dan turunannya yang ambigu, rancu.

Menganggap pelaku bunuh diri atau ‘ngendhat tali murda’ melakukan ‘pelarian’, dan meyakininya sebagai pihak yang kalah, yang ‘asor’, yang menyimpang, adalah cara berfikir bahwa mereka (para pelaku) dikategorikan sebagai objek, bukan subjek. Mereka dianggap lari dari kesakitan, keterputusan sosial, dan sebagainya. Mereka diasumsikan berpikiran salah perihal kenyataan hidup yang tidak sesuai dengan ‘kenyataan’ sesungguhnya, dilakukan atas bangun-dasar yang tidak berdasarkan penalaran, yang menggambarkan disfungsi sosial.

Bacaan Lainnya

Anggap saja hal ini logika primitif (tak-sadar), maka orang-orang ‘modern’ yang ber’agama’ pun bisa disebut mengidap ‘skizofrenia’ (baca: ketaksadaran agama). Agama adalah ingatan-ingatan purwa yang terbelah. Yang terfraksi. Yang terpecah. Yang lari. Ada seseorang yang mengatakan bahwa dirinya paham ‘agama’ ternyata justru ia memiliki pribadi-terpecah: menihilkan semangat dasar agama; merusak-memecah manusia lain.

Dalam makna positif, penderita sakit skizofrenia (baca: penyakit jiwa psikosis) justru sebaliknya: tidak menyakiti, tidak memecah, dan tidak meniadakan kulawangsa manusia lain. Para penderita penyakit skizofrenia mengalami kekacauan akan tilikannya sendiri. Ia meracau sendiri. Berhalusinasi sendiri. Ia menanyakan nenek-moyang psike-nya sendiri. Para ‘tokoh-suci’ beberapa di antaranya adalah pengidap skizofrenia. Ia mengembara dengan psike-nya di lorong-lorong ‘bundhet-ruwet’ neurotika-nya sendiri.

Manusia-suci, manusia-terpilih, ‘bocah-angon’, lazim disejajarkan dengan telah mempunyai kepenuhan pengalaman-pengalaman skizofrenik yang ‘tak-lazim’. Lantas, agama oleh beberapa orang diyakini berisi sekumpulan imajinasi dan ide-ide yang ‘ditetaskan’ oleh seorang tokoh unggul dan dimiliki secara kolektif oleh umat manusia serta terekspresi dalam mitologi, cerita rakyat, konsep-suci, wahyu, dan sastra sebagai jalan ekstasi. Menuju apa yang mereka angan-angankan tertuju. Kenikmatan inderawi. Ketenangan. Kesunyian. Kesatuan. Ketiadaan-kesengsaraan. Keterangan.

Dua-duanya, pelaku agama dan penderita skizofrenia, menginginkan kondisi-kondisi ekstasif: menemukan perjumpaan-perjumpaan dengan Yang-Sakral melalui pencapaian kondisi trans (trance), yang bagi analitik psike/kejiwaan lain atau aliran psikologi lain atau cabang ilmu lain terasa ‘menyimpang’. Ini adalah titik perjumpaan ‘realitas’ tak-sadar (‘unconsciousness’) dengan prasadar atau praliteral (‘preconsciousness’) atau ‘kesadaran-purwa’. Yaitu simpangan-semu biji-biji rosario, tasbih, dan ruas-ruas pring wung-wang, atau logaritma-logaritma, fraktum-fraktum fraktur-fraktur, turunan-turunan, dan akar-akaran, yang ditali-eratkan dengan sirkularitas (‘dhadhung’) sembari dirapali mantra, seperti halnya seorang pelaku ‘ngendhat tali murda’.

Mitos-mitos, dengan demikian, memiliki ‘oyod’ (akar) yang sangat jelas. Direproduksi terus-menerus melalui interpretasi tanda-tanda. Mitos menawarkan ruang-ruang kosong yang bisa diisi oleh perjumpaan-perjumpaan mesra dengan kode-kode sosial-arkais yang diyakini ‘mawrat’ (mengandung) nilai, hingga bisa dianggap alamiah dan ilmiah.

[Wage]

Facebook Comments Box

Pos terkait