Paradoks Ngendhat Talimurda: Kita Sering Bangga dan Jumawa Ketika Memberi Label Aib Peristiwa Bunuh Diri

Tali ‘mendhong’ pada tempe yang ‘ngagama’, mengikat biji-bijian (kedelai, kara, benguk, mandhing, dll). Di dalam ‘wungkus-godhong’ atau pakaian itu tindak ‘penjamuran’ terjadi untuk kelahiran baru. Swara/WG.

Masyarakat yang menghibur diri, dengan laku menyambangi tempat-tempat yang mampu memberikan keheningan, merupakan ciri masyarakat purwa Gunungkidul atau Nusantara pada umumnya. Laku masyarakat Gunungkidul yang sering menyambangi tempat-tempat suci dan petilasan atau alamiah-keramat tertentu dapat digunakan sebagai dasar penalaran untuk menafsirkan mitos ‘ngendhat tali murda’ (‘pulung-gantung’).

Ciri ‘penghiburan-diri’ dan ‘pencarian-keheningan’ mendasari motif pelaku. Aksi pelaku yang ‘ngendhat tali murda’ adalah aksi penghiburan diri dalam trend positif. Mereka adalah masyarakat ‘kurang-hiburan’ tentang hal-hal yang hening-sunyi, karena kebanyakan dunia sekitarnya serba riuh, serba maya, dan penuh manipulasi.

Bacaan Lainnya

Dengan laku pilihannya itu justru menumbuhkan citraan kemurnian para pelaku yang mempunyai rasa-malu terhadap ‘aib’-nya. Bukan malah sebaliknya, tak memiliki sama sekali rasa-malu terhadap ‘keaiban-keaiban’ yang direproduksi dan tidak-diakui terus menerus oleh masyarakat sekitarnya, yaitu: ‘keoglengan’ (baca: kegilaan), kemunafikan, dan kejumudan yang ‘sebenarnya’ memalukan bagi yang mengaku sebagai manusia bukan hewan.

Pandangan seperti ini, dan turunannya, paling tidak menginformasikan pesan, bahwa ada orang-orang yang sebenarnya tidak (berani) membunuh raganya (sebagaimana berteknik ‘ngendhat tali murda’) — mungkin saya yang menulis artikel ini termasuk di dalamnya, dengan berapologi bahwa bunuh-diri menggambarkan matinya nalar dan batin si pelaku yang tragis.

Ini bukan paradoks, lebih tepatnya ironi. Atau, paradoks ‘negatif’. Para pelaku yang melakukan tindak paradoks dengan ‘ngendhat tali murda’ disebut ironis, eskapis, sementara orang-orang yang sesungguhnya ‘lari’ dari keaiban-keaiban kehidupan yang ditutup-tutupi justru telah mati nalar dan batinnya setiap hari.

Hal ini sangat mungkin menjadikan orang-orang di luar subjek miskin empati. Lebih lagi jika ada orang yang sok merasa menang dalam kehidupannya dibanding para subjek yang dilabeli eskapis dan menyimpang ini. Padahal mereka selalu kalah dengan yang namanya komoditas dan kapitalitas, bahkan oleh nafsu keduniawiannya sendiri terhadap capaian-capaian hirarkial.

Yang sok beragama namun ‘ngidak-idak’ spirit dasar beragama layaknya ‘kehewanan’ di comberan. Yang sok menggantungkan keimanannya pada ‘tali’ Tuhan namun begitu terjerat oleh telikung uang, kewanitaan, dan jabatan, serta dengan tanpa malu mengolok-olok para pelaku.

Mereka, yang mengolok-olok itu, mungkin meyakini bahwa matinya raga adalah akhir yang hakiki. Sementara kematian-kematian, dalam jerat siklus-abadi datangnya ‘badra-naya’ (bulan yang berwajah pucat), tampaknya, hanya stasiun-stasiun pemberhentian sementara untuk ritus ‘regenerasi-sel’. Jalan yang disebut agama itu.

__

[WG]

Facebook Comments Box

Pos terkait