Pasar: Tipologi Ruang Desa-Global di Awal-Mula

Pasar Jimbaran, di bawah Kemantren Pasar Ponjong Gunungkidul. Swara/Wg
Pasar Jimbaran, di bawah Kemantren Pasar Ponjong Gunungkidul. Swara/Wg

“Nyai Wisma wus nyukani, sampet paraboting estri, mancapat lima miyarsi, gupuh-gupuh yun ningali.”
[Centhini, Kamajaya]

Bentuk ‘global village’ atau desa-global, dalam hal ini pasar dapat dibaca sebagai ruang perjumpaan dan persatuan antar manusia yang semakin menyempit atau ’melipat’ wilayahnya setingkat desa akibat kemajuan teknologi; bahkan setingkat hubungan interpersonal antara penjual dan pembeli pada suatu ‘ruang-waktu’ sakral yang disepakati bersama; atau sebaliknya.

Bacaan Lainnya

Pasar yang ‘jebles’ dengan konsep ‘pasaran’, tak lain tak bukan merupakan tipologi tata ruang desa saat awal berdirinya (‘kabuyutan’): ‘mancer’ (plasma yang memusati inti) pada suatu ruang profan-sakral yang disebut pasar. ‘Manca-pat’ (ruang yang empat memusat pada ruang yang kelima); ‘keblat papat’ (arah yang empat) ‘lima pancer’ (lima yang pusat); mandala.

Di tata-ruang desa wiwitan, pasar berada di tengah-tengah kerumunan (keramaian) ruang-ruang keliling empat arah, delapan arah, dan seterusnya. Di tengah ‘omah-omah’ (rumah-rumah), di antara kampung-kampung, di pusat kumpulan orang-orang dan kulawarga-kulawarga, yaitu pusat perjumpaan-perjumpaan manusia benda-benda. Meskipun pasar di jaman kini bisa berupa ruang virtual/maya tertentu yang didukung hanya oleh dua subjek virtual/maya, namun traksaksi pada ruang virtual/maya terhadap item/barang yang stereo atau terhadap item/barang hetero pada ruang virtual/maya lain dilakukan oleh banyak subjek virtual/maya.

Konsep ‘global village’ yang menganalisis pasar sebagai ruang menyempit, atau sebagai ruang yang melebar-membesar (mengglobal), menurut penulis, hanya membuktikan, bahwa pasar selalu merubah bentuk dirinya. Perubahan bentuk abadi. Polanya tetap sama. Ruang-ruang dalam skala yang lebih besar dan lebih kecil sama-sama melakukan ritus jual-beli ‘bandha’.

Ada ruang di mana seseorang atau suatu kulawarga menanam, memetik, menambang, atau mengolah ‘bandha’. Ada ruang di mana seseorang berkuasa atas sebuah ‘bandha’. Ada ruang di mana ada yang menjual suatu ‘bandha’. Ruang tempat memonopoli ‘bandha’. Merindukan ‘bandha’. Ada yang ingin merebut kuasa atas ‘bandha’ pada ruang-pasar tertentu. Dan ada ruang ketika ada yang menyediakan ‘bau’ (jasa) terhadap sirkulasi/gerak ‘bandha’; memeroleh keuntungan. Itulah yang terjadi pada pusat ruang yang ditengarai pasar itu.

Pasar merupakan ruang bertemunya unsur ‘dudu-bandha’ dari berbagai arah mata angin (‘mancapat’), disebut ‘bandha-bau’. Orang-orang bertemu di ruang pasar dengan ‘pawitan’ (bermodal) tenaga. Berikutnya berkembang berupa: pemikiran, nasihat, konsultasi-konsultasi, jasa manajemen, dan sebangsanya.

‘Bandha-bau’ ikut serta membangun pasar. Bangunan ruang mitis yang disebut pasar tak bisa tegak berdiri sebagai pohon raksasa tanpa kehadiran ‘bandha-bau’, jasa tenaga-pemikiran, dari orang-orang yang berjumpa bertransaksi di ruang pasar. Alat atau piranti transportasi kepindahan benda-benda amat sangat penting. Para ‘among-dagang’ membutuhkan ‘buruh-gendhong’, ‘buruh-pikul’, agar ‘bandha-bandha’ di, ke, dan dari pasar dapat ditransportasikan (dipindahkan, dijual, dipulangkan).

Begitu halnya dengan bangunan ruang yang disebut ‘omah’ (rumah tradisional), tanpa peran ‘bandha-bau’ tak bisa tegak berdiri. ‘Bau-dhanyang’ adalah kayu yang tertancap pada ‘saka’ (penyangga rumah) dan menyangga ‘blandar’ atau ‘pengered’.

Ruang yang tersebut, Wonosari dan atau wilayah-wilayah kemantren di Gunungkidul lain, yang selalu tumbuh ruang pasar di dalamnya, tak bisa tegak berdiri tanpa kehadiran ‘bau-dhanyang’, yaitu penokohan lembut (‘invisible-hands‘ ala pasar bebas global modern). Gadhung Mlathi: simbok bumi penjaga spirit pasar, melahirkan beraneka hasil bumi yang ditanam, dipanen, diolah, di bumi Wonosari, dan wilayah Gunungkidul lainnya. ‘Bau-dhanyang’ mengunci sirkulasi ‘bandha-bandha’.

Mbah Giyem dari Desa G ‘bakul tempe’; mbok Paijem dari Desa P ‘bakul gudhe’. Mbah Arja dari Desa P ‘bakul gathul’. Pak Atmo dari desa A ‘bakul wedang’. Masing-masing ruang arah mata angin pasar memiliki prototip penokohan yang menjaga dan mendukung tegaknya pasar, ‘nyawiji’-nya benda-benda pasar.

Dulu, pasar lahir di ruang bumi yang awalnya murni. Yang kemudian dikonversi oleh keluarga manusia. Pasar menjelma ruang perjumpaan kemurnian-kemurnian yang walinya melalui proses diturunkan, lantas dipertukarkan. ‘Tempe’ dari Desa G ditukar (tentu lewat transaksi) dengan ‘gathul’ dari Desa P. ‘Gathul’ dari Desa P ditukar dengan ‘janganan’ dari Desa B. ‘Janganan‘ ditukar dari Desa B dengan radio dari ‘kutha’. Kota itu alih ubah desa yang lebih purwa. Begitu seterusnya.

‘Bandha-bandhu’ dan ‘bandha-bau’ dirayakan di ruang pasar. Perayaan-perayaan (hari-jadi, pernikahan, peresmian) di pusat hunian/desa/kota ditandai dengan dibukanya “pasar” atau “pasar malam”. Pasar ‘krempyeng’. Pasar tiban. Bazaar. Perayaan persatuan seorang ksatria dengan seorang putri dilangsungkan dengan ‘pasar’, dengan ‘adol-dhawet‘, dengan ‘pasok-tukon‘. Pasar menyediakan ‘bandha-bandha’ untuk memenuhi dahaga atas hasrat. Hasrat akan makanan, akan kesucian, akan hal-hal yang beraroma kemurnian ‘surgawi’. Benda pasar atau benda ‘tukon pasar’ digunakan untuk upacara-upacara. Ritus-ritus. Untuk peringatan-peringatan. Pesta-pesta. Pemuasan-pemuasan. Penikmatan-penikmatan.

Pertemuan, perjumpaan, adalah perkawinan. Pertemuan-perjumpaan ‘bandha-bandhu’ di pasar (ruang ‘mancapat’) berbarengan dengan pertemuan dan perjumpaan Sang Raja dan Sang Ratu: perkawinan. ‘Batur-tukon’, ‘tukon-pasar’, ‘jajan-pasar’, adalah ‘ubarampe’ yang dipersembahkan kepada orang tua Sang Ratu; mempelai putri; pada waktu sakral pasar.

Pasar adalah ruang yang menyediakan prasayarat persatuan dengan pasangan suci. Ruang di mana keluarga manusia ‘nyawiji’ dengan alam lingkungan tempat tinggalnya. Pasar identik dengan ‘keperawanan’ yang menggoda untuk ‘disunting’. Layaknya benda-benda yang menggiurkan hasrat untuk dimiliki oleh orang-orang tradisional untuk mempermudah aksi kerjanya dan oleh orang-orang modern akibat ‘paksaan’ konsumerisme.

Rara Sudarmi ‘sanja’ (berkunjung) ke Pasar Seneng yang baru saja tumbuh semenjak Utan Nangka Dhoyong ‘dikonversi’ oleh rakyat Piyaman. Kemudian, Seneng menjadi ‘karang-anyar’ (pekarangan baru yang dinamai “wonosari” (wana sari atau asri).

Ruang Pasar Seneng, yang kelak berpindah ruang ke Argasari, beserta produk-produk pasarnya, merupakan telangkai mitis agar Demang Damar menemukan Rara Sudarmi, pasangannya. Kemudian manjing dengannya, yang dibarengi pertemuan mitisnya dengan pasangan abadi dalam peperangan hidup kekesatriannya: Rangga Puspawilaga.

Pesta perkawinan keduanya, kemudian, adalah bentuk pasaran, penyatuan kosmis raja-ratu pada ruang mistik. Estetika benda-benda modern tingkat tinggi semacam mobil serta kecanggihannya serta kekunoan benda-benda pramodern dengan keunikannya selalu memanggil hasrat manusia yang ‘muntub-muntub’ muncul di permukaan agar untuk segera menggenggam kekuasaan seorang raja: memiliki modal untuk membeli, mempersunting.

Pasar adalah ruang yang menyediakan keduanya: kemodernan dan kekunoan. Dua-duanya eksotis, seksis. Pasar adalah ruang pemenuhan hasrat manusia, yang amat modern sekaligus sangat kuno. Pasar ibarat ruang pelaminan. Pasar umpama tempat manusia asyik-masyuk dengan estetika dan seksualitas benda-benda.

Psikoseksual orang-orang pasar dan ruang pasar berhubungan erat dengan pemuasan-hasrat organ seksualnya, di antaranya: ‘oral’, ‘palic’, ‘genital’, ‘anal’, dan sebagainya. Penulis menyebutnya: ruang pusat dorongan seksual terhadap benda-benda tubuh pasar. Jika kategori organ seksual manusia diperluas, maka dorongan pemuasan ‘kenikmatan’ seksual atas benda-benda pasar dan tubuh pasar oleh orang-orang pasar pada ruang pasar bermula dari sifat-sifat dasariyah yang bersemayam di organ-organ tubuh manusia: mulut, mata, rambut, hidung, kulit, bahkan ‘organ’ tubuh yang ‘laten’ semacam hati, pikiran, roh (suksma). Pasar mempertemukaan seksualitas ‘laten’ (lembut) dengan yang ‘ngegla’ atau ‘cetha’.

Psikoseksual orang-orang pasar terkait erat dengan psikososialnya. Orang-orang memiliki hasrat, dorongan, dan mimpi yang sama terhadap benda-benda. Seperti seseorang yang setelah 10 tahunan bermimpi memiliki laptop “apel krowak”, atau seseorang yang begitu kangen ingin menikmati ‘jenang-grendul’, akhirnya ‘terpenuhi’ hasratnya. Atau sebaliknya: melepas benda-benda. Mimpi (roman neurotika) tentang ‘puli-tempe’, tentang ‘sega-tumpang’, tentang mobil klasik, tentang benda-benda futuris, dan tentang tentang yang lain, adalah dorongan seksual purwa-madya-wasana pasar.

Analisis poskolonial tentang penguasaan ‘hak-milik’ pribumi dan tanah-tanah oleh pengkoloni di waktu kini berpindah sudut pandang pada analisis penguasaan benda-benda ‘pribumi’ dan ‘parabumi’ oleh para penguasa pasar yang berkapital besar. Namun, kekuasaan atas benda-benda yang didukung oleh kapital besar pun ternyata tak kuasa untuk membendung kekuatan ‘laten’ pasar yang mampu melahirkan kakacauan (chaos).

Menciptakan siklus dan sirkulasi ‘bandha’ yang baru, terdorong bibit ‘kerusakan’ baru, gangguan-gangguan baru. Karena, terkadang, dorongan seksual manusia kepada pasangan sosialnya (manusia lain, atau ‘bandha’/benda-benda) bukan melulu berpusat pada pemenuhan hasrat menuju puncak kenikmatan bendawiah saja, akan tetapi sangat mungkin berpusat pada usaha terus-menerus untuk menihilkan keriuhannya (‘krempyeng’-nya) dengan hadir dan hanyut di pusat ruangnya; pusat ruang pasar. Dorongan seksual mengawini benda-benda di ruang pasar menggiring ke kesenyapan, ke kedamaian.

Kedamaian di tengah keramaian.

Di balik ruang riuh pasar (‘krempyeng’) bersemayam ruang senyap (‘nyenyet’) pasar. Di balik ruang-pasar ruang-pasar di kanan-kiri yang warna-warni (‘Legi’ yang pethak/putih, ‘Paing’ yang ‘abrit’/merah, Pon yang ‘jene’/kuning, ‘Wage’ yang cemeng/hitam) yang kemudian memuncak-memucuk-memusat-mancapat pada ruang kepenuhan beraneka-warna (‘Kliwon’ yang ‘mancawarna’/beraneka warna) terdapat nir-warna. Di balik ruang yang dapat diindera, diprediksi, tersembunyi ruang yang tak dapat diindera, alih-alih diprediksi.

‘Global village’, desa-global, membesar-mengkerut. Melebar-melipat. Memuncak pada ‘kliwon’ (puncak perjumpaan benda-benda beraneka), memutih pada ‘legi’, menghitam pada ‘wage’. Desa global, dengan demikian, seperti psikoseksual ‘palik’ orang-orang modern terhadap ‘bandha-bandhu’, dan semacam psikososial ‘padinan’ orang-orang desa yang bekerja.

Abadi dalam siklus waktu ‘mata’ (mata) ‘ari’ (hari) yang lima (‘pancawara’) dan yang tujuh (‘saptawara’).

[Wage]

Facebook Comments Box

Pos terkait