Patung Leluhur Situs Megalitikum Sokoliman

'Patung' Leluhur Kebudayaan Oya; Sokoliman. Foto: WG.

Saya membayangkan Gunungkidul, sebagai sebuah kulawangsa maupun ruang-tampung (‘kundha’) atau persatuan keduanya, memiliki sebuah patung gigantik yang ikonik dan unik pada sebuah taman (budaya) bumi yang natural, yang luas, mungkin diberadakan di antara “giri-giri watu karang” yang sebagian telah ‘dikepras’ dan ‘dikeprus’ itu, bukan hanya di sebuah “taman budaya” mewakili politik-kekuasaan (golongan) tertentu. Bayangan saya ini dalam keadaan saya yang bukan atas-nama siapa-siapa, wong nama yang melekat pada saya saja hanya semu, apalagi atas nama Dinas Kebudayaan atau Taman Budaya yang terbukti (telah) teramat “laras” mengurus hal-hal (mudah) seperti ini.

“Patung” (sebagai gambaran sesuatu yang bisa dibaca) dan “mematung” (sebagai gaya-bahasa sekaligus seni-kriya) sedang ‘trending’. Naik daunnya patung sejalan dengan kebutuhan manusia yang begitu mendesak untuk membuat ‘imitasi-imitasi’ tentang segala, termasuk dirinya beserta keakuannya, kemudian memanfaatkannya (mengakalinya) untuk memenuhi dahaga ‘hasrat’ para penikmat. (Barangkali kerja ini meniru kriya Pencipta yang membuat produk turunan dari ‘diri’nya sendiri).

Bacaan Lainnya

Patung atau patung-manusia menstimulan manusia untuk membayangkan suatu gambaran yang maha luas, melebihi kekuasaan dan kekuatan si pematung di ‘jagad-nyata’ yang kemudian memproyeksikannya untuk spektrum makna seperti maksud awalnya. Sebaliknya, “mematung” menjadi sangat ‘trendy’ karena manusia berlomba-lomba menjadi patung: gambar yang mati, miskin interpretasi dan inovasi, namun tampaknya bukan seperti kerja “mematung” oleh para perupa-patung-Gunungkidul yang “sepi”.

Ya, itu.

Banyak manusia memilih diam laksana patung. Manusia telah tak-acuh pada “alam-pikir” lingkungan-budayanya yang super-giga.

Manusia sering lupa, bahwa alam-pikir dan alam-kerjanya “harus” mewadahi aneka kebudayaan dalam diri lingkungannya. Manusia sering lupa bahwa ada hal-hal lebih fundamental di sekelilingnya yang (telah-sedang-masih) menegakkan (‘ngadeg-njejegake’) aneka segi kehidupannya. Idealnya, menurut saya, manusia harus benar-benar menjadi wadah (‘kundha’) bagi hal-hal fundamental yang mendukung kelestarian kehidupannya. Manusia sebagai “kundha” selayaknya menempatkan (“ngenggonake”, “mungguhake”) unsur-unsur kebudayan arkais-mulabuka-generis yang melekat pada diri dan ekologinya (lingkungan-rumah-tangganya).

Manusia sangat pantas merepresentasikan ‘desa’nya secara menyeluruh; desa sebagai konsep ruang yang terus-menerus mewadahi manusianya, yang “ngembani”, yang “ngemong”, bukan sebaliknya: “melurahi” (baca: menguasai) desanya. “Pamong-desa” itu lahir karena desa adalah ‘pamong’ bagi keluarga manusia. Leluhur desa adalah “pamomong” bagi anak-cucu desa. Seluruh unsur kedesaan yang arkais-purwais sangat pantas memenuhi perasaan dan pemikiran manusianya. Jika demikian, dengan (telah) mewujudnya manusia sebagai “kundha”, maka manusia dapat dengan mudah mendeskripsikan dan menarasikan kediriannya (selfi), atau mengarahkan dan mengorganisasi ideologi-ideologi tentang dirinya itu kepada “liyan” (‘branding’), bahkan promosi-strategi untuk memeroleh ‘nilai-tambah’ seperti lewat jalan-pelitik: pariwisata.

Jika unsur-unsur badaniyah-material manusia ‘dipatungkan’, maka dengan sendirinya manusia menjelma “kundha”, yaitu ruang/wadah bagi “akar” kebudayaannya baik yang teraba-kasar-permukaan maupun teraba-lembut-kedalaman. Saya mengambil contoh seperti halnya ikon “pari sawuli” misalnya, merupakan wadah bagi kebudayaan pari dan swasembada pangan sekaligus pariwisata atau wisata-pari, merupakan wadah bagi oyod budaya tani beserta religinya maupun etik-stilistik swasembada pangan, sekaligus ritus liberasi (‘ruwatan’, pemerdekaan) unsur-unsur kemanusiaannya. Melalui ruang/wadah, yang akan dicari adalah bunyi. Selain menjelma “kundha”, dalam kepatungannya manusia juga berubah menjadi “thuthuk”; laksana kosok bagi rebab, nafas-tutuk atau nafas perut bagi suling, gandhen bagi demung-saron, yang tak lain adalah pemantik bunyi bagi gambar atau teks kebudayaannya. Gerak “thuthuk” ini lah yang menyebabkan “kundha” atau ruang/wadah berbunyi.

Maka, patung, sebagai ruang dan wadah, (seharusnya) menghasilkan bunyi: teks yang berbunyi. Patung, sebagai ikon, adalah ‘agni’. Ia/mereka adalah ‘bra(h)ma’; sesuatu yang diciptakan oleh Brahma bukan yang dihancurkan olehnya. Mereka keluarga keturunan “watu-geni”. Patung sebagai “kundha” adalah “mercukundha”: wadah api, atau “merukundha”: wadah gunung. Sebuah patung gigantik-ikonik “nyri-gunung” mampu mengajak manusia melayang tinggi dan membayangkan aneka pengetahuan dan capaian tertinggi, mampu menyuguhkan kembali mimpi-mimpi kejayaan kuno, mampu memerdekakan dan membebaskan (‘angruwat’) manusia dari penderitaan dan kesakitan kemudian ‘menjanjikan’ kebahagiaan dan kemakmuran masa-depan, mampu menumbuhkan ‘winih’ (benih-benih) semangat, motif, dan etos untuk bekerja, untuk berkreasi, untuk tak kenal henti mengenali, mengelola, dan mereproduksi akan kediriannya sendiri. Patung yang ikonik tentu mampu menggelorakan semangat ketuhanan-saintis-saintifik-nyeni-religius tiada henti.

Tetapi, lagi-lagi, saya hanya membayangkan Gunungkidul, sebagai sebuah masa depan yang purwais, sebagai “kundha-kabudayan” aneka rupa, memiliki sebuah ikon patung (bukan grup vokal para pria yang mengumbar kegenitan dan kekuatan dan kekuasaan) berupa manusia purwa Gunungkidul berkepala banyak: tiga atau bahkan sepuluh, bertangan banyak pula yang masing-masing memegang alat pertanian dan atau teknologi seperti gathul, pacul, arit, pukul, gandhen (tabuh wilahan-saron sekaligus pukul kayu seperti di kandang sapi itu), lambang-lambang seni-musik seni-tari, dan sebagainya dan sebagainya. Sang Patung, yang saya bayangkan, adalah ikon(ografi) persatuan sifat-sifat kedewaan (kelangitan-terbayang) dan kebumian (Gunungkidul-nyata), yang oleh orang-orang pinter digolongkan sebagai religi, teknologi, etnologi, atau apapun itu.

Saya membayangkan sesuatu yang tak akan mungkin terjadi karena saat ini saya menjelma Sang Maha Kuasa: saya berkuasa maha: bahwa seberapa besar kekuasaan-saya tentang bagaimana menggambar/memprodukasi sebuah ikon ataupun menginterpretasi sebuah ikon yang sudah ada sejak leluhur purwa Gunungkidul mengada pasti akan tergilas dan terlibas ‘kekuasaan’ lain.

Sampeyan tak percaya?

Saya yakin Sampeyan tak percaya.

Sebut saja saya megalomania!(WG).

Facebook Comments Box

Pos terkait