Pengalaman Dipanggil Bupati Gegara Penghijauan Gagal

Lahan kritis di kawasan selatan Gunungkidul tahun 80-an. Dok: Kiswanto.

Pengalaman 3 tahun menjadi Petugas Lapangan Penghijauan (PLP) di Kecamatan Panggang waktu dulu ibaratnya berada berada di tengah kawah candradimuka. Jikalau mampu dan kuat melewati artinya lulus, berarti siap menghadapi berbagai tantangan yang sangat besar sekalipun ke depan. Sebaliknya, jika tidak kuat ibarat menyerah sebelum bertanding alias kena pukulan langsung KO (knocked out).

Program penyelamatan hutan, tanah, dan airĀ  disingkat PHTA di wilayah Gunungkidul utamanya kegiatan penghijauan lahan kritis di zona Pegunungan Sewu dinilai memiliki faktor kesulitan yang paling tinggi. Faktor-faktor kesulitan tersebut meliputi: 1) tingkat erosi tanah yang masif dan tinggi yang membuat lapisan tanah olah atau lapis tanah subur di perbukitan sudah hilang, 2) vegetasi tetap tidak ada alias gundul, 3) kemarau panjang, 4) faktor teknis droping bibit, serta 5) perilaku petani belum sebagaimana yang diharapkan maka penanaman bibit tanaman penghijauan rentan gagal.

Bacaan Lainnya

Peristiwa yang sangat mengejutkan saya alami sekitar bulan April 1980. Saya mendapat informasi dari Pak Camat bahwa pada hari Senin pukul 08 .00 WIB, PLP harus menghadap Bupati Gunungkidul Pak Darmakum Darmokusumo. Menghadap bersama Camat Panggang dan Lurah Girimulyo dengan membawa laporan pelaksanaan penghijauan. Berita terkait dengan panggilan menghadap bupati pada waktu itu sempat menjadi isu yang panas dan berkembang di Kecamatan Panggang.

Saya secara pribadi tidak takut, karena selama menjalankan tugas sudah sesuai dengan norma yang berlaku. Hanya ada tanda tanya besar, kenapa dipanggil menghadap Bupati di kantor kabupaten di Wonosari. Sedangkan Pak Camat dan Pak Lurah yang seperti kebakaran jenggot atas undangan panggilan tersebut.

Untuk mempersiapkan diri, kami bertiga mengadakan koordinasi kilat untuk mempersiapkan laporan fisik dan keuangan Proyek Penghijauan, khususnya Desa Girimulyo. Dilakukan pula penyamaan persepsi terhadap pelaksanaan sesuai kondisi dan aturan yang berlaku.

Sepeda motor Honda CB Gelatik teman setia menjadi PLP di Panggang. Dok: Kiswanto.

Hari Senin pagi pagi sekali, saya bersiap menuju ibukota Kabupaten Gunungkidul dengan mengendarai sepeda motor CB Gelatik, sedangkan Pak Camat bersama pak Lurah diantar pengemudi dengan mobil dinas Kecamatan Panggang. Sepanjang perjalanan pikiran tidak tenang, memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Akan marah sedemikian rupakah Pak Bupati kepada kami?

Pada jamannya, yang namanya Bupati Darmakum Darmokusumo sangat terkenal dengan kewibawaannya. Ia memiliki komitmen besar pekerjaan penghijauan di Gunungkidul. Singkat cerita, kami bertiga ditemui ajudan, dan diminta masuk ke ruang tamu sambil menunggu Pak Bupati. Kami bertiga diam. Masing-masing melamun dengan pikirannya sendiri. Tidak lupa berdoa kepada Alloh SWT agar peristiwa hari ini lancar dan selesai dengan baik dan bijaksana.

Pak Bupati Darmakum Darmokusumo keluar dari ruangan menemui kami bertiga dengan senyum dan sapaan lembut. Kemudian menanyai kami satu per satu untuk memperkenalkan siapa dan sebagai apa perannya dalam penghijauan.

Akhirnya, Pak Bupati mengatakan bahwa telah mendapatkan informasi dari Kepala Proyek Perencanaan dan Pembinaan Daerah Aliran Sungai (P3RPDAS) DIY, yang isinya atas dasar evaluasi Proyek Penghijauan untuk jenis kegiatan penanaman Desa Girimulyo dinyatakan gagal.

Kami cukup terkejut, tetapi juga sudah siap laporan serta argumentasinya, kenapa terjadinya kegagalan itu. Urut dari Pak Camat, Pak Lurah, dan saya diminta menjelaskan tugas pokok fungsi dalam proyek, dan upaya apa saja yang telah dilakukan serta kenapa bisa gagal?

Pak Bupati tidak “duko” alias marah besar sebagaimana yang dibayangkan Pak Camat dan Pak Lurah. Hanya konfirmasi, dan ingin informasi secara langsung dari para penanggung jawab program dan kegiatan serta alasan kenapa sampai dinilai gagal.

Pak Camat menjelaskan secara detail dan jelas terkait dengan tupoksinya yang telah dijalankan sesuai pedoman yang ada. Pak Lurah demikian juga termasuk penyiapan warganya petani yang menjadi peserta penghijauan siap mendukung dan melaksanakan sesuai bimbingan teknis petugas katanya. Terakhir saya selaku PLP yang bertanggung jawab di bidang teknis menyampaikan penjelasan sejumlah alasan kenapa proyek dinilai gagal.

Pertama, karena musim kemarau panjang, sehingga saat musim tanam belum ada hujan sama sekali hingga menjelang proyek berakhir. Kedua, droping bibit yang dilakukan oleh P3RPDAS terlambat datang dan banyak yang rusak sampai lokasi.

Kendati kegiatan teknis persiapan lapangan dan petani sudah optimal, namun karena kedua masalah tersebut bukanlah domain dan kewenangan kami, bahkan salah satunya faktor alam, sehingga kami tidak berdaya.

Mendengar penjelasan kami, Pak Bupati tersenyum dan mengangguk pertanda sangat bisa memahami apa yang terjadi, apalagi beliau adalah pakar di bidang penghijauan. Dengan sangat bijak, beliau tidak menyalahkan kami. Beliau justru memberikan motivasi untuk tetap semangat melaksanakan penghijauan lahan kritis di Gunungkidul hingga berhasil walaupun sangat berat.

Selanjutnya akan dijadikan bahan evaluasi dan penyempurnaan kebijakan serta organisasi keproyekan ke depannya, dengan memberikan masukan kepada pihak berwenang dan terkait, khususnya Ditjen Kehutanan Departemen Pertanian.

Kegagalan penanaman bibit penghijauan saat dievaluasi akhir tahun anggaran pada kegiatan proyek menjadi momok PLP selaku penanggungjawab teknis di lapangan. Demikian pula bagi Camat selaku pemimpin pelaksana (Pinlak ) serta Lurah/Kepala Desa selaku pemegang kebijakan di wilayahnya.

Jadi, saat itu sistem keproyekan di Kabupaten Gunungkidul pemimpin proyeknya adalah Bupati, dan Pinlak Camat kepala wilayah dengan bendahara Mantri Tani. Sedangkan PLP adalah petugas proyek di bawah unit organisasi Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan Daerah Aliran Sungai (P3RPDAS) Daerah Istimewa Yogyakarta. Lembaga ini merupakan kepanjangan tangan dari Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (Ditsi), Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian Republik Indonesia yang wktu itu dikepalai Drs Yudastowo Mangunsarkoro.

Jadi, PLP merupakan pegawai pusat (Departemen) yang diperbantukan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gunungkidul sebagai petugas teknis di lapangan.

Agar tidak menemui kegagalan proyek, saya berupaya sekuat tenaga melakukan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada kelompok tani penghijauan. Kegiatan dilaksanakan tidak saja siang hari di gubuk kerja kelompok, tetapi juga malam hari di rumah ketua kelompok tani. Hal ini bisa saya lakukan secara efektif dan efisien, karena lokasi pondokan saya berada di desa yang sama yakni Padukuhan Kadisobo Desa Girimulyo.

Pelaksanaan per item jenis kegiatan dari awal secara runtut dijalankan. Di antaranya penetapan lokasi, pembentukan kelompok, rapat rapat, pembuatan administrasi, pembuatan gubug kerja, pembuatan dan pemasangan ajir, hingga pembuatan lubang tanam 5 x 5 meter sesuai tata waktu yang ada dalam rancangan kegiatan.

Sambil menunggu waktu yang tepat untuk penanaman bibit tanaman penghijauan yang diberikan sesuai kebutuhan, maka momen terpenting dan menentukan keberhasilan adalah saat penanaman bibit yang harus tepat waktu, sesuai teknis dan jumlahnya.

Tahun anggaran 1979/1980, waktu itu dimulai April – Maret tidak seperti sekarang sesuai tahun takwim yang dimulai sejak tahun anggaran 2000, di Desa Girimulyo ada Proyek Penghijauan dengan jenis kegiatan penanaman seluas 25 hektar per hektar 400 batang atau totalnya 10.000 batang bibit tanaman.

Setelah lokasi proyek ditetapkan, PLP bersama perangkat desa dan kelompok tani mengecek lokasi dengan memasang pal batas dari bambu setinggi sekitar 2 meter yang bagian atasnya dicat warna merah. Checking lokasi secara detail mulai blok, nomor persil, nama petani, luas kepemilikannya, jumlah bibit tanaman sesuai dengan rancangan kegiatan yang dibuat instansi berwenang yakni P3RPDAS DIY.

Jenis bibit tanaman untuk kegiatan penanaman merupakan pohon pionir, di antaranya: akasia (accasia auriculiformis), jati (tectona grandis) dan mahoni (swetenia mahagoni).

Saat persiapan lapangan hingga penanaman bibit, PLP nyaris tidak pernah punya waktu luang karena wajib berada di lokasi masuk ke pedalaman yang jauh dari jalan raya sehingga harus jalan kaki.

Ketika semua persiapan sudah selesai tinggal menunggu waktu tanam dengan curah hujan yang cukup serta kedatangan bibit yang baik dan tepat waktu.

Mengingat bencana alam kemarau panjang dan bibit telat tiba di lokasi sehingga saat dievaluasi oleh petugas P3RPDAS DIY mencapai nilai kurang dari 35 % hal ini termasuk kriteria gagal.

Mengutip kata-kata Buya Hamka. “Jangan takut gagal, karena yang tidak pernah gagal hanyalah orang-orang yang tidak pernah melangkah..” Saya memahami, kegagalan saya saat itu tidak perlu diratapi dan disesalkan karena bisa dibilang merupakan sukses yang tertunda.

Saya merasakan, ada hikmah di balik itu semua. Tidak semua PLP diberikan kesempatan bisa ketemu Pak Darmakum Darmokusumo secara langsung dan khusus. Seandainya tidak ada evaluasi gagal, barangkali peluang dapat ketemu sehingga mendapatkan motivasi dan pembinaan sangat kecil bahkan mustahil bagi seorang PLP.

Sewaktu bertugas di Panggang, saya mendapatkan suka-duka. Di antaranya nabrak kirik (anjing) dan jatuh terluka di Siraman Wonosari saat kembali ke Panggang dari Klaten, sehingga alis mata kanan dijahit di RSUD Wonosari.

Pernah jatuh dari motor saat menjalankan tugas di tanjakan antara Bibal – Giriharjo saat jalan belum diaspal sehingga dengkul terluka ringan.

Pernah mengalami ban motor bocor. Saat itu harus mencari tukang tambal ban di Imogori atau Trowono Paliyan dengan melepaskan roda kemudian naik angkutan umum Colt Diesel Engkel.

Pernah berenang di Telaga Legundi yang ternyata jarang dilakukan oleh warga setempat. Akhirnya malah jadi tontonan.

Pernah pula nonton bareng (nobar) layar tancap, dan wayang kulit bersama warga masyarakat saat belum ada listrik masuk desa. Pengalaman ini sungguh menjadi hiburan yang mengasyikkan.

Sewaktu bertugas memberikan penyuluhan kepada masyarakat desa tahun 1980-an. Dok: Kiswanto.

Alhamdulillah… lengkap sudah pengalaman sebagai PLP di kecamatan Panggang 1978 – 1981.

Selanjutnya, saya dimutasi ke kecamatan lainn dan pernah menjadi duta mewakili DIY di ajang nasional. Alhamdulillah bisa turut mengharumkan nama Gunungkidul di bidang penghijauan lahan kritis, hingga banjir penghargaan bergengsi di bidang penghijauan dan lingkungan hidup.

Artikel ini merupakan lanjutan dari kisah sebelumnya Kisah Petugas Lapangan Penghijauan Lahan Kritis di Gunungkidul.

Bersambung ….

****

Klaten , 14-10-2020

Facebook Comments Box

Pos terkait