Pengalaman Tak Terlupakan Jaman Sekolah SD

Keceriaan anak-anak SD di Pulau Sabu NTT sepulang sekolah (2013). Foto: Franz.

“Belikan rokok Bentoel ya, Le!” Ia mengulurkan tangan yang dalam genggamannya ada uang 100 Rupiah. Segera kumajukan tangan kananku lalu menerima uang logam itu.

Aku, yang dipanggil “Le” atau “Thole”, bergegas meninggalkan kelas menuju warung Mbok Iro di depan lapangan SD.

Bacaan Lainnya

“Thole” artinya anak atau bocah laki-laki. Kurang dari lima belas menit, aku kembali ke ruangan dengan tiga batang rokok merek Bentoel. Batangan-batangan itu dibungkus plastik bening, maklum belinya eceran 100 Rupiah dapat tiga batang. Segera bungkusan itu kuberikan pada Pak Bandi, dan ia pun menerima barang kesukaannya. Kuselesaikan tugasku dengan riang dan penuh kelegaan plus tanpa beban telah membelikan Pak Guru rokok Bentoel yang bungkusnya biru.

Itulah yang kuingat ‘kelakuan’ dari seorang guru kelas enam sekolah dasarku. Kurang lebih 30 tahun yang lalu. Hampir setiap hari, beliau memberikan perintahnya itu kepadaku. Seorang bocah laki-laki kelas enam SD yang suka duduk di bangku paling depan.

Kisah inilah yang kubagikan pada Kidung tadi malam sebelum tidur, memenuhi permintaannya.

“Pak, malam ini, cerita tentang masa SD bapak ya…,” pintanya.

Aku terdiam sejenak, mencoba mengingat guru-guruku SD: Pak Supri, Pak Giyo, Pak Giyanto, Bu Mujirahayu, Bu Dalini. Namun di antara nama-nama itu yang paling menempel ingatan adalah Pak Bandi “si jambul”. Beliau guru yang dekat dengan murid-muridnya, mungkin karena tak segalak guru SD yang lain di jamannya.

Beliau nyentrik dan berdandan bak Elvis Presley. Laki-laki itu memang selalu rapi dengan rambut klimis berjambul dan memakai celana cutbray. Ia perokok Bentoel dan suka naik Vespa warna silver.

Hampir tiap malam, sebelum tidur, Kidung minta bapaknya cerita. Namun kenyataannya, seminggu dua kali saja aku bisa memenuhi permintaannya. Pada waktu yang pas itu, kubagikan cerita kadang dari buku atau seringkali dari pengalaman bapaknya sendiri.

“Itu, Mbak ceritanya”, pungkasku.

Matanya yang semula kelihatan berat menahan kantuk tiba-tiba terbelalak. Masih di atas kasur, ia menarik ujung bibirnya senyum-senyum.

“Kenapa tersenyum, Mbak?” tanyaku, heran.

“Lho, aku juga pak! Aku juga sering disuruh Bu Eni lho. Kalo aku sering disuruh fotocopy, ya, kadang membelikan lotek di depan sekolah itu!” jawabnya, sangat bersemangat.

Mendengarnya, aku ikut tersenyum. Rupanya guru SD-nya juga sering meminta tolong membelikan sesuatu di luar sekolahan persis nasib bapaknya, dulu.

Aku ketawa.

“Kenapa ketawa, Pak?”

“Ya, ndak apa-apa. Lucu aja, Mbak, kok bisa sama ya!?”

***

Dimintai tolong oleh guru pada masa sekolah itu menjadi sesuatu yang penuh makna. Perintah itu justru menegaskan eksistensi seorang bocah. Kini pengakuan itu perlu terus ditunjukkan orangtua pada anak sesuai perkembangan usia. Tentu dalam bentuk berbeda.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait