Perubahan dan Pemaknaan

Telaga Jonge Semanu. Foto: Iwan.

SEPUTARGK.ID – “Pak, kok tidak ada ulat dan ungkrung ya sekarang ini?” tanya putriku, sambil mengayuh sepeda, pagi ini.

“Oh, iya ya, Mbak?!”

Bacaan Lainnya

“Biasanya kan pating tlolor di belakang rumah?”

Pertanyaan yang hampir sama disampaikan ibunya saat kami perjalanan menuju pantai di Negeri Kahyangan pada awal tahun baru ini. Mata kami melihat daun-daun pohon jati masih utuh. Daun-daun utuh itu berarti mereka aman dari jutaan ulat yang biasanya rakus mengganyang hijau daunnya sampai habis.

Namun kondisi ini mengecewakan bagi ribuan orang, setidaknya penghobi kuliner ekstrem ini. Ulat dan kepompong dari pohon Jati adalah santapan istimewa yang selalu dinantikan setiap musimnya, namun kini tak ditemukan jejaknya.

Kami mengawali pagi pada dua hari di tahun baru dengan keluar rumah melihat indahnya alam. Tentu dengan memakai masker.

Hari pertama 2021 kami mandi di tepi laut dan menikmati ombak kecil dengan santai. Kupikir ini momen sangat baik sambil mengajari anak bahwa tak cukup memotret keindahan titah Tuhan namun baik kalau bisa merasakan dan bercengkerama dengannya. “Yuk, menyeburkan diri di air laut!” ujarku sambil berlari berjinjit ke arah ombak pagi yang ramah.

Kugandeng tangannya supaya keraguan yang menggelayut bisa sirna dengan satu-dua langkah ke depan. Rasa itu pasti akan tergantikan. Kami menyentuh air dan ombak kecil, benar rasa itu tergantikan rasa senang-kagum yang menggelora. Kupikir 2021 bisa seperti itu.

Pagi yang mendung ini kami nggowes di lapangan dan jalan kampung Negeri Kahyangan. Udara segar dan hijau sawahnya sangat membantu menata raga.

Pertanyaan putriku tentang ulat dan ungkrung mengingatkanku akan perubahan. Begini, bagiku, makhluk ciptaan Sang Khalik yang paling tidak indah adalah ulat. Melihatnya akan membuat perutku mual. Ada banyak persediaan energi dari dalam tubuh ini untuk menghindari.

Cah lanang kok wedi uler!!” kata ibu membuliku waktu itu. Memang aku lebih berani menghadapi ular daripada ulat atau “uler“. Iiihhhh jiijik, geli.

Namun itu dulu. Panjangnya perjalanan hidup dan oase-oase yang kupilih sebagai tempat persinggahan membuat pikir-rasaku itu berubah. Aku mulai bersahabat dengan “si mungil” ini di sini, di Negeri Kahyangan.

Jika tahun-tahun awal tinggal ada perubahan kebiasaan dari minum teh anget jadi suka teh panas yang “mak pyarr“, menyantap sayur manis jadi suka sayur lombok yang mengundang keringat, sambil ndulit sambal sambel bawang plus belalang goreng nan menawan.

Bukit Seribu adalah oase yang telah menyediakan limpahan air yang menyuci cara pikir-rasa di banyak area jiwa, Weelhaa! Tiga tahunan lalu aku sudah menahbiskan diri dengan menyantap ulat.

Perubahan diri ini kumaknai. Perubahan diri 180° terhadap cara pikir, kebiasaan, dan lainnya menjadi bagian dari perkembangan seseorang. Begitu pula ketiadaan ulat dan ungkrung yang diganti pandemi yang mengurung seakan menegaskan bahwa perubahan adalah kemestian. Tak perlu kagetan.

Sebaliknya pemaknaan semestinya menghasilkan perubahan. Pandemi perlu dimaknai, tapi pemaknaan mesti dilanjutkan dengan perubahan banyak bagian. Setidaknya bagian kita semua adalah mendudukkan alam bukan untuk ditundukkan.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait