Ada banyak orang yang berpendapat, saat ini kita memasuki hidup di jaman post-truth. Inilah jaman di mana pandangan masyarakat tidak lagi dibentuk oleh fakta dan rasionalitas, tetapi karena sentimen emosi dan kepercayaan.
Post-truth menjadi salah satu varian dari istilah lain yang berprefiks “post”, seperti: post-modernisme, post-strukturalisme, post-religion, dan post-post lainnya.
Kita dapat menelisik, di Indonesia post-truth sendiri semakin populer diperbincangkan setidaknya pada masa Pemilu Presiden 2019 lalu, di mana saat salah satu pasangan capres mengklaim kemenangan sebelum perhitungan resmi yang dilakukan KPU selesai.
Lantas, bagaimana ketika hasil perhitungan akhir menunjukkan paslon tersebut dinyatakan tidak menjadi pemenang pilpres? Paslon dan pendukungnya menyiarkan narasi konspirasi kecurangan Pemilu.
Meski kubu paslon tersebut tidak berhasil menghadirkan bukti, tapi ternyata hal tersebut tidak membuat ragu para pendukungnya. Para pendukung yang jumlahnya tidak sedikit dan di antaranya ada banyak kaum terpelajar justru makin percaya, dan dengan militan membela dengan narasi konspiratif, disebut adanya kecurangan yang TSM (terstruktur, sistematis, masif), dan sebagainya.
Gejala atau fenomena tersebut dinamai banyak orang sebagai era post-truth. Istilah ini memang sangat menarik, secara harafiah artinya: pasca-kebenaran. Istilah post-truth akhirnya menjadi populer untuk merujuk pada gejala atau fenomena aneh: ketidakbenaran yang dipercaya, yang justru marak muncul belakangan ini.
Dalam ranah global, Oxford Dictionary menetapkan kata post-truth sebagai international word of the year pada tahun 2016. Di mana selama tahun tersebut intensitas politik global sedang tinggi dengan peristiwa “Brexit” atau keluarga Inggris dari Uni Eropa, dan fenomena kemenangan Donald Trump dalam pilpres di Amerika Serikat.
Istilah post-truth pertama kali dikenalkan oleh Steve Tesich, seorang penulis keturunan Serbia-Amerika pada Januari 1992 dalam artikel berjudul The Government of Lies di Nation Magazine. Tesich menjelaskan apa itu “The Watergate Syndrome”, di mana semua fakta-fakta buruk yang diungkapkan di masa kepresidenan Richard Nixon malah membuat warga Amerika meremehkan kebenaran. Mengapa? Karena mempercayai kebenaran bukanlah hal nyaman untuk mereka lakukan saat itu. Ia juga menggunakan kata post-truth sebagai refleksinya atas skandal terjadinya Iran-Kontra dan Perang Teluk Persia.
Lebih lanjut, Casper Grathwohl, Presiden Oxford Dictionary menyatakan, bahwa post-truth masih akan menjadi istilah populer dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini karena percakapan dunia bakal didominasi oleh wacana politik dan diskursus yang dipicu oleh meningkatnya pengaruh signifikan media sosial sebagai sumber berita (yang belum senantiasa terklarifikasi kebenaran faktanya). Di sisi lain, terjadi fenomena peningkatan ketidakpercayaan terhadap fakta dan data yang disajikan oleh institusi yang berkompenten maupun media massa mainstream.
Bagaimana Post-Truth dengan Medsos dan Pilkada Gunungkidul?
Tidak ada hal yang salah dan keliru dengan gencarnya pemberitaan para paslon peserta pilkada di media massa cetak, media online, terlebih lagi media sosial. Masing-masing timses, pendukung, dan para simpatisannya memanfaatkan semua saluran media tersebut untuk ikut “promosi” atau “jualan” agar paslon dilirik, diperhatikan. Tujuannya tentu agar dipilih saat coblosan nantinya.
Jika kita mau jujur mengamati, fenomena post-truth telah turut mewarnai dinamika Pilkada Gunungkidul 2020 ini. Ini bisa kita simak lewat saluran media masa mainstream apalagi media sosial masing-masing pihak paslon. Fenomena post-truth bisa dirunut dari hal sederhana, seperti: pemberitaan dan pembuatan profil kandidat yang hiperbolik atau sebaliknya, pemberitaan peristiwa yang sengaja dipelintir dari data dan fakta sesungguhnya untuk menjatuhkan pihak tertentu, dan bermacam hal lainnya.
Jebakan Post-Truth
Apabila masih meyakini bahwa pilkada adalah proses mencari pemimpin daerah yang bermartabat dan menjunjung kemanusiaan, maka fenomena post-truth sesungguhnya merupakan jebakan yang nggegirisi dampaknya. Mengapa? Karena sesuatu yang tidak benar dan berdampak negatif malah mendapatkan dukungan yang besar dari masyarakat pemilih.
Masalahnya, keyakinan personal sangatlah subjektif dan tidak senantiasa mewakili kebenaran. Apa yang menurut keyakinan seseorang benar, belum tentu benar pula bagi orang lain, malah bisa jadi sebetulnya informasi itu memang salah untuk semua orang. Jebakan post-truth pada akhirnya menghasilkan pemimpin daerah yang jauh dari harapan ideal bersama.
Di sisi lain, penggunaan fenomena post-truth secara sengaja dalam berpolitik juga berisiko dapat merugikan diri sendiri. Mengapa? Karena tidak semua masyarakat bisa langsung saja “terhanyut” memilih kandidat yang disorongkan.
Ibarat memilih artis protagonis, ada masyarakat yang tidak begitu saja “anut grubyuk” dengan polesan-polesan artistik agar tertampil postur “satria pinandhita, gagah pideksa, sakti mandraguna, ambeg paramarta, gentur ing amaratapa“.
Sebaliknya, ungkapan sederhana “becik ketitik ala ketara” bisa jadi meruntuhkan fenomena post-truth. Dan jangan lupa, sebagian besar ingatan arketip masyarakat pegunungan Dhaksinarga terwujud dalam kecintaan terhadap sendratari rakyat Kethek Ogleng. Munyuk yang sering kita bully si jelek buruk rupa itulah yang ternyata ksatria-pinandhita yang dicari.
***
Rujukan:
https://en.wikipedia.org/wiki/Post-truth
https://en.wikipedia.org/wiki/Post-truth_politics